watch sexy videos at nza-vids!

Situs Cerita Sex Dewasa




Cerita Dewasa Panas
www.ceritakita.hexat.com

Icip Calon Pengantin Baru

Suatu peristiwa penting dalam hidup
biasanya di abadikan dalam sebuah Video,apalagi peristiwa kalau bisa
dijalani sekali aja dalam
hidup.Mungkin momen ini bisa kita
dapati kalau kita semua sudah
menginjak umur yang matang serta
dibarengi jasmani dan rohani yang
mantap pula”Menikah” sapa tentunya
yang ingin kejadian ini bisa anda
nikmati dalam keadaan yang lancar
dan tidak hambatan,Bila acara
terplanning apik maka hasilnya juga
memuaskan,Biaya untuk resepsi
pernikahan,sewa ini itu hal biasa
kalau akan menikah toh semua demi
kebahagiaan jadi rasanya harga
tinggi masih bisa dijangkau,asal
kebahagiaan itu terpenuhi.Kali ini
saya akan bercerita kembali tentang
perjalanan hidupku yang penuh liku
dengan peristiwa ,saat itu masih
pelajar disalah perguruan tinggi di
Surabaya.Kehidupan kota Surabaya
yang sangat ramai dengan hiruk
pikuk orang-orang yang beraktivitas
membuat kota itu itu dikenal dengan
kota berhawa panas.Menurutku hidup
disana juga harus memerlukan
kondisi yang yang baik jasmani dan
rohani.Ketebalan agama untuk
menjadi pembenteng diri kadang
sering menipis karena berbagai hal
negative banyak dijumpai,Aku hanya
seorang cowok mungkin aku belum
bisa banyak menghilangkan hal-hal
nikmat dunia fana ini.oke aku akan
memulai cerita ku,cerita itu terjadi
kira-kira tahun 1999.pagi itu hujan
tiba-tba mengguyur kota buaya
itu,tampak hal yang beda ku
temui,hawa yang biasanya panas kini
berubah menjadi teduh,sejuk oleh
guyuran air hujan dari langit.Karena
situasi seperti ioni aku tidak akan
menyia-nyiakan aku langsung
bergegas pergi melihat kota
Surabaya dan mengenal kondisi kota
agar lebih leluasa setiap keluar tidak
salah arah.
Aku berkeliling dengan menggunakan
angkutan umum, ke tempat-tempat
favorit dan belum pernah kujalani
sebelumnya. Kali ini aku bersantai di
Galaxy Mall, yang banyak dikunjungi
WNI keturunan. Mataku liar melirik-
lirik wanita putih mulus dan trendy.
Entah kenapa sejak dulu aku
terobsesi dengan wanita Chinese
yang menurut pandanganku adalah
tipikal sempurna dalam banyak hal.
Di lantai paling atas, mataku tertuju
kepada seorang gadis cantik dan
seksi, sedang makan sendirian, tak
ada teman. Dengan teknik yang
biasa kulakukan, kudekati dia. Kami
berkenalan sejenak dan dia
menawariku ikut makan. Aku bilang
aku sudah kenyang. Dia bernama
Nina **** (edited). Kami seumuran
atau paling tidak dia lebih tua dua
tahun dariku. Setelah ngobrol agak
lama, dengan mengeluarkan jurus
empuk tentunya, dia mengajakku
pulang bersama, karena aku
mengaku akan menunggu angkutan
sampai hujan reda.
Akhirnya, aku pun setuju, dan segera
berangkat bersamanya. Di dalam
mobil, aku tak bisa tenang karena
ketika menyetir, aku bisa melihat
dadanya yang montok dan paha
mulusnya bergerak gesit menguasai
kemudi. Tapi dia tidak menyadari itu,
karena aku tahu dia tidak akan suka.
Hal itu kusadari dari pembicaraan
sebelumnya. Dia kelihatannya wanita
baik-baik. Tapi konsentrasiku sangat
terganggu apalagi jalanan di kota
Surabaya yang tidak rata membuat
dada indah yang bersembunyi di
balik bajunya bergoyang-goyang.
Ditambah lagi harum tubuhnya yang
sangat merangsang. Akhirnya timbul
pikiran jahat di otakku.
“Aku pindah ke belakang ya..”
kataku.
“Kenapa?”
“Aku ngantuk, mau tiduran, nanti
turunkan aku di jalan Kertajaya”,
kataku berpura-pura.
Saat itu sejuta rencana jahat sudah
merasuki otakku.
“Ok, tapi kamu jangan terlalu pulas
ya.. nanti ngebanguninnya susah”,
katanya polos.
Di kala otakku sudah kesetanan, tiba-
tiba…
“Jangan berisik atau pisau ini akan
merobek lehermu”, ancamku seraya
menempelkan pisau lipat yang biasa
kubawa. Itu sudah menjadi
kebiasaanku sejak di Medan dulu.
“Don… apa-apaan nihh..?” teriaknya
gugup, karena terkejut.
“Aku peringatkan, diam, jangan
macam-macam!” bentakku sambil
menekan permukaan pisau lebih
kuat.
Aku sudah kehilangan keseimbangan
karena nafsu.
“Jalankan mobilnya dengan wajar,
bawa ke daerah Petemon… cepat..!”
“Ehh.. iiya.. iyahh…” jawabnya
dengan sangat ketakutan.
Tas yang tadi diletakkan di jok
belakang segera kubuka. Seluruh
uang dan kartu kreditnya langsung
berpindah ke kantongku.
“Bawa ke Pinang Inn… cepat!”
bentakku lagi.
Kali ini aku sudah pindah ke jok
depan, dan pisau kutempelkan di
pinggangnya. Sepanjang perjalanan
wajahnya pucat dan sesekali
memandangiku, seolah minta
dikasihani.
“Jangan mencoba membuat gerakan
macam-macam… atau kamu
kulempar ke jalan… mengerti?”
ancamku lagi sambil berganti posisi.
Aku mengambil alih kemudi.
Entahlah, saat itu aku merasa bukan
diriku lagi. Mungkin iblis sedang
menari-nari di otakku. Dia hanya
membisu, dengan tubuh gemetar
menahan rasa takut. Tiba-tiba HP-nya
berbunyi, kurebut HP itu dan
kuhempaskan di jalan sampai pecah.
“Ingat… jangan bertindak aneh-
aneh… kalau masih ingin hidup…”
pesanku sesampainya di parkiran
Pinang Inn.
Mobil langsung masuk garasi, dan
aku menghubungi Front Officer.
Kubayar, lalu kembali ke garasi.
“Keluar…!”
Dengan wajar kugandeng dia masuk
kamar. Kukunci dan kusuruh dia
telentang di kasur yang empuk.
Kunyalakan TV channel yang
memutar film-film biru. Pinang Inn
memang disediakan untuk bermesum
ria. Dia kelihatan semakin ketakutan,
ketika melihatku langsung membuka
baju dan celana. Dengan hanya
menggunakan CD, kurebahkan
tubuhku di sampingnya dengan posisi
menyamping. Pisau itu kugesek-
gesek di sekitar dadanya.
“Agar proses ini tidak menyakitkan,
kamu jangan bertingkah.. atau besok
mayatmu sudah ditemukan di laut
sana… paham?”
“Don.. ke.. ke… napaa.. jadi be.. gii..
ni? Apa.. salahku?” dengan ketakutan
dia berusaha membuatku luluh.
“Salahmu adalah… kamu
memamerkan tubuhmu di hadapan
singa lapar…”
Segera, seluruh bajunya kusobek
dengan pisauku yang tajam. Mulai
dari bagian luar sampai dalamnya.
Kini dia telanjang bulat di antara
serpihan pakaian mahal yang
kusayat-sayat. Dia menagis, mata
sipitnya bertambah sipit karena
berusaha menahan air mata yang
mulai mengalir deras ditingkahi
isaknya yang sesenggukan. Sejenak
aku tertegun menyaksikan keindahan
yang terpampang di hadapanku.
Dada putih mulus yang montok,
tubuh langsing, dan… ups… liang
kemaluannya yang merah muda
bersembunyi malu-malu di antara
paha yang dirapatkannya. Kubuka
pahanya.
“Jangann Don… kumohon jangan…”
pintanya memelas. Aku sudah tidak
peduli.
“Hei… Nin… bisa diam nggak? Mau
mati? Hah…?” ancamku sambil
menampar pipinya. Wajahnya
sampai terlempar karena aku
menamparnya cukup keras.
“Silakan menjerit… ini ruangan kedap
suara… ayo… menjeritlah…”, ejekku
kesenangan.
Segera kulebarkan pahanya, kuelus
permukaan kemaluannya dengan
lembut dan berirama. Sesekali dia
menatapku. Ada juga desah aneh di
bibirnya yang tipis. Aku terus
mengelus kemaluan itu, sambil dua
jariku yang menganggur
mempermainkan puting susunya
bergantian. Dia hanya bisa mendesah
dan menangis. Kudekatkan wajahku
ke sela paha mulusnya. Dengan
perasaan, kukuak liang kemaluannya,
indah sekali. Seumur hidup, baru kali
ini aku melihat kemaluan wanita
seindah itu. Bentuknya agak
membukit mungil, ditumbuhi bulu
yang halus dan lemas. Bibir
kemaluannya kupegang, kemudian
lidahku kujulurkan memasuki lubang
yang nikmat itu. Kujilati dengan
perlahan, mengitari seluruh
permukaannya.
“Shhh… Don… Donhh.. jangaaann…
sshh…” Nina sampai terduduk.
Ada sesuatu yang lucu. Dalam situasi
itu sempat-sempatnya dia
menggoyang pinggulnya mendesak
mulutku, dan menjambak rambutku
sesekali. Dalam hati aku tertawa,
“Dasar wanita… munafik.”
“Ayo… Nin… ayo…” kataku pelan
mengharap cairan itu segera keluar
membasahi kemaluan indahnya. Saat
itu kesadaranku perlahan hadir.
Perlakuanku kubuat selembut
mungkin, namun tetap tegas agar
Nina tidak bertindak ceroboh.
Kali ini lidahku mengait-ngait
klitorisnya beraturan namun dengan
arah lidah acak. Dia makin bergetar.
Goyangan pinggulnya terasa sekali.
“Lho… diperkosa kok malah enjoy…
ayo.. nangis lagi… mana…?” olokku.
“Don… jangannhh.. janganh…”
balasnya malu-malu, berusaha
menggeser kepalaku dari
selangkangannya. Tapi setelah
kepalaku digerakkan ke samping,
malah ditariknya lagi hingga mulutku
langsung terjatuh di bibir
kemaluannya. Aku pun paham, dia
ingin menunjukkan ketidaksudiannya,
namun di lain pihak, dia sangat
menginginkan sensasi itu.
“Nih.. aku kasih bonus.. silakan
menikmati…” kataku sambil
melanjutkan jilatanku.
Sementara tanganku yang kiri
membelai payudaranya bergiliran
secara adil. Kiri dan kanan.
Sementara tangan kananku
kuletakkan di bawah pantatnya.
Pantat seksi itu kuremas sesekali.
“Oghhh… sshhh…”
Nina menggelinjang menahan nafsu
yang mulai merasuki dirinya. Sesaat
dia lupa kalau sekarang dia dalam
keadaan terjajah. “Sshhh…
terrusshh…”
Perlahan lahan, cairan yang kunanti
keluar juga. Secara mantap, lendir
bening itu mengalir membasahi liang
kemaluannya yang semerbak.
“Donnhhh… Donhhh…” Dia berteriak di
sela orgasmenya yang kuhadiahkan
secara cuma-cuma.
“Aduh.. Nin.. yang benar aja dong…”
ringisku karena saat orgasme tadi,
kukunya yang lentik melukai
pundakku.
“Maaf… maaf Donhh…”
Aku berhenti sesaat untuk
memberinya waktu istirahat. Aku
berdiri di samping ranjang. Dia
terkulai lemas. Pahanya dibiarkan
terbuka. Kemaluan genit itu sudah
mengundang batang kemaluanku
untuk beraksi. Namun aku berusaha
menahan, agar pemerkosaan ini tidak
terlalu menyakitkan. Kami
berpandangan sejenak. Dia sudah
tidak melakukan perlawanan apa-
apa, pasrah.
“Don… aku tahu kamu sebenarnya
baik, jangan sakiti aku yah… aku
mau menemani kamu di sini, asal
kamu tidak melukai aku…” pintanya
sambil mengubah posisi telentangnya
menjadi duduk melipat lututnya ke
bawah pantat. Liang kemaluannya
agak tersembunyi sekarang.
“Kamu masih perawan nggak?”
tanyaku ketus.
“Iyah.. masih…”
“Nah.. sayang sekali, kalau mulai
besok kamu sudah menyandang
gelar tidak perawan lagi…”
“Ah…” dia tercekat.
“Don… semua uang tadi boleh kamu
ambil.. tapi mohon jangan yang
kamu sebut barusan… empat hari lagi
aku menikah Don… kumohon Don…”
“Ah… daripada cowok lain yang
merasakan nikmatnya darah segar
kamu, mending aku curi sekarang…”
kataku cepat sambil mendekatinya
lagi.
“Don… jangan… kumohon…”
“Diam!”
“Ingat… pisau ini sewaktu-waktu bisa
mengeluarkan isi perutmu…”
ancamku.
Nina terkejut sekali, karena
menyangka aku sudah berbaik hati.
Padahal aku juga tidak sungguh-sungguh marah padanya.
www.ceritakita.hexat.com
Mungkin karena aku yang sudah terbiasa
berteriak-teriak membuatnya
ketakutan.
“Sekarang giliranmu”, kukeluarkan
batang kemaluanku yang sudah agak
terkulai.
“Kupikir aku nggak perlu
menjelaskan lagi cara
membangunkan preman yang satu
ini…” kataku sambil mengarahkan
kepalanya berhadapan dengan
batang kemalauanku yang lumayan
besar. Sejenak dipandanginya diriku.
Tanpa berkata apa-apa dia
memegang batang kemaluanku dan
mengocoknya perlahan. Dikocoknya
terus sampai perlahan, si batang
andalanku naik.
“Cuma itu?” tanyaku lagi.
Dibuka mulutnya dengan ragu-ragu,
kebetulan sekali adegan di TV
channel juga sedang memperagakan
hal yang sama. Aku sebenarnya ingin
tertawa. Tapi kutahan, karena gengsi
kalau dia tahu. Dikulumnya batang
kemaluanku. Aku berdiri di atas
ranjang. Dia berjongkok dan mulai
menggerakkan kepalanya maju
mundur.
“Ahhh…” aku mengerang merasa
nikmat sekali.
Kulihat matanya sesekali melirik TV.
Biar saja, pikirku dalam hati. Toh ini
demi keuntunganku. Dijilatinya
kepala kemaluanku. Tapi dia tidak
berani menatap wajahku.
“Auhhgghh…”
“Jangan dilepas…” seruku tertahan.
Aku jongkok dengan mengarahkan
kepala ke sela pahanya. Aku
telentang di bawah. Posisi kami
sekarang 69. Sewaktu berputar tadi
dia menggigit kemaluanku agar tidak
lepas dari mulutnya. Lucu memang.
Dengan bibir kemaluan tepat di atas
wajah, kujilati dengan mantap. Kali
ini gerakan lidahku liar mengitari
permukaan kemaluannya. Sesekali
kusedot bukit kecil itu sambil
memasukkan hidungku yang
kebetulan mancung ke lubang
senggamanya.
“Oghhh… Ahhh…” Kami berseru
bersahutan. Kubalikkan tubuhnya.
Sekarang dia ada di bawah, namun
tetap 69. Kali ini aku lebih leluasa
menjilati kemaluannya.
“Augghhh… Donhh… enakkhh…
terusshh…” pintanya.
Lalu kembali menyantap batang
kemaluanku dengan garang. Sesekali
aku merasakan gigitan kecil di sekitar
kepala kemaluan. Pintar juga dia,
pikirku dalam hati.
Lidahku kujulurkan masuk ke lubang
sempit itu dan menari di dalamnya.
Pantatku kugoyang naik-turun agar
sensasi batang kemaluan yang
berada di kulumannya bertambah
asyik. Sambil menjilat liang kemaluan
itu, jari-jariku mempermainkan bibir
kemaluannya.
“Ougghh… Don… enakkhh.. Donnhh..
ahhhh… Donnhh…” serunya dibarengi
aliran hangat yang langsung
membanjiri lembah merah muda itu.
“Sekarang waktunya Nin.”
Aku mengambil posisi duduk di
antara belahan kedua kakinya. Dia
masih telentang. Kugesek lagi kepala
kemaluanku yang sudah mengeras
sempurna beradu dengan klitorisnya
yang menegang. Dia setengah duduk
dengan menahan tubuhnya pakai
siku tangan, dan ikut menyaksikan
beradunya batang kemaluanku
dengan klitorisnya yang sudah
menjadi genit. Batang kemaluanku
itu kuarahkan ke liang kemaluannya.
“Jangann… kumohon Donh… jangan..”
serunya tertatih sambil
mencengkeram batang kemaluanku.
“Aku bersedia memuaskan nafsumu,
dengan cara apa saja, asal jangan
mengorbankan pusakaku.”
“Oh ya? Kalau dari anus mau nggak?”
tantangku.
Tapi sebenarnya aku tidak lagi perduli
karena kemaluanku sudah minta
dihantamkan melesak lubang
kemaluannya.
“Yah.. terserah kamu Don..”
“Nggak.. mau… aku cuma mau yang
ini, ini lebih enak..” teriakku sambil
menunjuk liang kemaluannya.
“Nih.. pegang.. masukin….” Dengan
ragu dipegangnya batang
kemaluanku.
“Don… apa tidak ada cara lain?”
“Cara lain? Ada-ada saja kamu…
Hei… kamu jangan bertingkah lagi
ya… jangan sampai kesabaranku
hilang. Kamu beri satu milyar pun
sekarang aku nggak bakalan mau
melepaskan punya kamu itu
sekarang. Aku sudah nggak tahan…
paham… paham? paham..?” bentakku
dengan nada suara lebih meninggi.
Pisau yang tadi kusembunyikan di
bawah kasur kuacungkan dan
kutekan kuat di dadanya.
“Donn… sakitt.. jangann…” rintihnya
ketika pisau tadi melukai dada
putihnya. Aku terkesiap. Namun tak
peduli.
“Ayo.. dimasukin…” kali ini pisau
kutekan lagi.
Darah segar mengalir perlahan dari
luka yang kuperbesar, walau tidak
begitu parah.
Dengan berat disertai ketakutan,
dipegangnya kemaluanku.
Diarahkannya ke liang kemaluannya.
“Sulit… sakitt.. Don.. ampunn.. Don…”
“Pegang ini”, kataku tidak sadar
karena memberikan pisau itu ke
tangannya. Dia juga tidak menyadari
kalau sedang memegang pisau. Lucu
sekali. Aku hanya bisa tersenyum
kalau mengingat masa itu. Aku
menunduk dan menjilati
kemaluannya. Dia melihatku menjilati
barangnya. Sesekali kami bertatapan.
Entah apa artinya. Yang pasti aku
merasa sudah memiliki mata sipit
yang menggemaskan itu.
Digerakkannya pinggul besarnya
seirama jilatanku. Kuremas juga
susunya yang segar merekah.
“Augghhh… Ahhh…” jilatanku
kupercepat. Cairannya mengalir lagi
walau tidak sebanyak yang tadi. Aku
kembali duduk menghadap
selangkangannya. Tiba-tiba aku sadar
kalau sebilah pisau ada di tangannya.
Segera kuambil dan kulempar ke
lantai. Dia juga baru sadar setelah
aku mengambil pisau itu. Namun
sepertinya dia memang sudah takluk.
“Nin.. ludahin ke bawah.. yang
banyak…” kataku sambil menunjuk
kemaluannya. Kami sama-sama
meludah. Kuoleskan liur yang
menetes itu ke batang kemaluanku,
juga ke kemaluannya. Sesekali dia
juga ikut mengusap batang
kemaluanku dengan air ludah yang
dikeluarkannya lagi di telapak
tangannya. Aku memandanginya
dengan sayang. Dia juga seolah
mengerti arti tatapanku itu. Aku
segera mengecup bibirnya. Dia
membalas. Kami berpagutan sesaat.
Kurasakan batang kemaluanku
bersentuhan dengan perutnya.
“Ayo dicoba lagi..”
Kali ini dipegangnya kepala
kemaluanku. “Ah… Shhh”
Dan.., “Oogghhh… aaahhh… Shh…”
Kepala kemaluanku masuk perlahan.
Sempit sekali lubang itu. Kusodok lagi
perlahan. Dia hanya bisa menggigit
bibir dan mencengkeram tanganku.
Sesekali nafasnya kelihatan sesak.
Namun ada juga desah liar terdengar
lirih.
“Donnhh… aku benci.. kaaamu…”
Kusodok terus, sampai akhirnya
semua batang kemaluanku terbenam
di liang kewanitaannya. Aku tahu itu
sakit. Namun mau bilang apa,
nafsuku sudah di ujung tanduk.
“Brengsek… Donhh.. baajingann..
kamu.. shhh… oghh”,
Aku tak peduli lagi umpatannya.
Yang kurasakan hanya nikmat
persenggamaan yang benar-benar
beda. “Shhh.. shhh… Donhh… Donhh…”
Kupeluk dia erat-erat. Goyanganku
makin liar. Aku hanya bisa
mendengar dia mengumpat. Sesekali
kupandangi wajahnya di sela
nafasku yang ngos-ngosan. Beragam
ekspresi ada di sana. Ada kesakitan,
ada dendam, tapi ada juga makna
sayang, dan gairah yang hangat.
Kulihat titik-titik darah mulai
mendesak lubang sempit yang
tercipta antara batang kemaluan dan
liang kewanitaannya. Seketika
tagisnya meledak. “Donhh…
bajingann.. kamuu… jahatt.. kamu
Don.. ahhh.. uhh…” dia memukul
dadaku keras sekali.
Tangisnya makin menjadi. Aku iba
juga. Kutarik kemaluanku dari liang
kemaluannya. Darah segar mengalir
memenuhi lubang yang memerah
padam dan lecet. Kemaluanku
kukocok sekuat tenaga ketika
spermaku muncrat. “Ahhh… ahh…” Air
maniku memancar keras membasahi
dada dan sebagian wajahnya. Dia
menangis sesenggukan.
“Nikmatnya memek perawan kamu
Nin…” kataku tersenyum senang.
Aku langsung menjilati darah segar
yang sudah membasahi pahanya.
Segera kugendong dia menuju kamar
mandi. Di bibir bak, kududukkan dia.
Kuambil kertas toilet dan
membasuhnya dengan air. Kuusap
darah yang ada di sekitar
kemaluannya dengan lembut. Darah
di dadanya yang sudah mengering
juga kulap dengan hati-hati.
“Kamu puas sekarang… bukan begitu
Don?” ejeknya di sela tangisnya.
Aku terdiam. Aku merasa menyesal.
Tapi mau bilang apa. Nasi sudah
menjadi bubur. Kubersihkan semua
darah itu sampai tidak berbekas.
Kujilati lagi kemaluannya dengan
lembut. Aku tahu, yang ini pasti tidak
bisa ditolaknya. Benar, dia mulai
bergetar. Dipegangnya tanganku dan
diremasnya jariku. Tissue yang
kupegang dibuangnya, malah
jemariku dituntunnya ke sepasang
dada montok miliknya. “Ahhh…
shhh… sekalian ajaa.. Don.. hamili..
aku.. biar kamu.. lebih… puass…”
katanya sambil mengangis lagi.
Aku sungguh tak mengerti. Terus
terang di sana aku seperti orang
bodoh. Tapi dengan santai kujilati
terus kemaluannya. Diraihnya batang
kemaluanku dan dikocok-kocoknya
perlahan. Kemaluanku sudah terkulai.
Lama dia mencengkeram
kemaluanku sampai akhirnya
bangkit. Nafsuku kembali membara.
Kugendong lagi dia, dan jatuh
bersama di ranjang empuk. Kami
berpelukan dan berciuman lama
sekali. Kumasukkan lidahku ke dalam
mulutnya, dan menjilati rongga
mulutnya. Entah berapa kali kami
saling bertukaran air liur. Bagiku, air
ludahnya nikmat sekali melebihi
minuman ringan apapun. Ketika aku
berada di bawah, aku juga menelan
semua liurnya tatkala dia meludahi
mulutku. Terserahlah, apakah dia
marah atau bagaimana. Sepanjang
dia merasa bebas, aku melayaninya.
Hitung-hitung balas budi. Hehehe…
Aku bergerak ke bawah, menjilati
tiap inci sel kulitnya. Lehernya
bahkan kuberi tanda cupangan
banyak sekali, walau aku tahu empat
hari lagi dia akan menikah. Peduli
setan.
“Ahh.. Don… hhhsshh.. yanghh.. itu..
nikhhmatt”, serunya tertahan ketika
putingnya kusedot dan kujilati
dengan bernafsu. Tanganku merayap
ke bawah dan membelai lubang
kemaluannya yang masih basah. Aku
terus merangkak turun, menjilati
perutnya dan mengelus pahanya
dengan nakal. Sesampainya di sela
paha kubuka lagi kedua kakinya,
terkuaklah liang kemaluan yang
kumakan tadi. Kali ini bentuknya
sudah berbeda. Lubangnya agak
menganga seperti luka lecet, namun
tidak berdarah. Segera kujilati lagi
untuk kesekian kalinya. “Donn..
enakhh.. nikmathh…”
Jari telunjukku kumasukkan lembut
ke lubang itu sambil menjilati
kemaluannya sesekali. “Aduhhh…
duh… enaknyaa… Don.. jangan…
berhenti”, serunya sambil
menggelinjang hebat. Pinggul itu
bergerak liar mendesak mulutku.
Kutindih dia dan kuarahkan batang
kemaluanku. “Uhhh… ssshh”, serunya
sesak ketika batang kemaluanku
kuhantamkan ke liang kenikmatan
itu. Goyangan demi goyangan
membuat erangannya semakin
ganas. Tentu saja aku semakin
beringas. Siapa tahan.
“Donhhh… bajiingann!” untuk
kesekian kalinya dia mengumpatku.
Entah apa maksudnya. Kali ini dia
sangat menikmati permainan
(setidaknya secara fisik, entahlah
kalau perasaannya). Kepalanya
terlempar ke sana ke mari dan
nafasnya mendesah hebat.
“Nin… punyaahh.. kamuu… assiikkh..
ahh”, seruku ketika denyutan liang
kemaluannya terasa sekali menekan
batang kemaluanku. Kubalik dia,
sehingga sekarang posisinya di atas.
“Don.. aku.. akan.. bunuh… kamuu..
suatu.. saat..”
“Silakan.. saajahh…”
Kami berdua berbicara tak karuan.
“Oughhh… aihhh.. Sshh”, teriaknya
menggelinjang sambil mencabuti
bulu-bulu dadaku. Aku merasa
kesakitan. Tapi biarlah. Dia sepertinya
sangat menyukai.
“Donh… kamu… kamu…” dia tidak
melanjutkan kata-katanya.
Tiba-tiba.., “Donhhh… Donhhh…
bajingan… ah…” serunya keras sekali,
sambil menggoyang pantatnya
dengan cepat dan menari-nari seperti
kilat. Bunyi becek di bawah sana
menandakan dia kembali orgasme.
Tapi goyangannya tidak surut.
Kucabut batang kemaluanku dan
menyuruhnya membelakangiku
sambil berpegangan pada sisi
ranjang. Kuarahkan batang
kemaluanku dari belakang dan,
“Oughhh… oughhh… oughhh…
oughhh…” tiap sodokanku
ditanggapinya dengan seruan liar.
Kugenjot terus sambil meremasi
kedua susunya yang ikut bergoyang.
Lama kami pada posisi itu, tiba-tiba
aku didorongnya dan dia berdiri di
hadapanku. Aku ditamparnya keras
dan memelukku erat. Ditariknya aku
ke ranjang dan memegang
kemaluanku. Ditindihnya aku, dia
sendiri yang menghunjamkan
kemaluanku ke liang kewanitaannya.
“Rasakan nihhh… bajingan… shhhh”,
teriaknya sambil menari-nari di
atasku. Aku tahu dia akan orgasme
lagi.
“Aduh..Nin..” pekikku tertahan ketika
sekarang dia malah menggigit
punggungku.
“Don… Don…” dia berseru kencang
dan memeluk erat kepalaku di
dadanya. Kupeluk juga dia dan
mengangkatnya. Kami berdiri di
lantai. Dengan posisi ini aku bisa
menyodoknya dengan sangat keras.
Kurapatkan ke dinding, dan kupompa
sekuat tenaga.
“Nin… ahshhh…”
“Donhhh…”
Aku mengeluarkan sperma di dalam
kemaluannya. Dia memelukku erat
sekali. Kami berdua ngos-ngosan.
Kuangkat dia ke ranjang. Kami
terkulai lemas. Kutarik kemaluanku
yang melemah dengan pelan. Kutarik
sprei itu karena sudah berisi noda
darah dan bercak cairan yang
beragam. Kami tergeletak
berdampingan, tanpa pakaian.
“Don… kamu berhutang padaku,
suatu saat aku pasti menagihnya.”
“Hutang apa?” tanyaku.
Dia tidak menjawab. Dengan
perlahan dia memejamkan mata dan
tertidur. Kupandangi wajahnya yang
cantik. Tampak lelah. Hmm…
beruntung sekali calon suaminya.
Kuelus rambutnya yang lurus indah
dengan lembut. Kuciumi keningnya
dan kupeluk dia. Aku membenamkan
wajahku di dadanya dan terlelap
bersama.
Besoknya kami bangun bersamaan,
masih berpelukan. Aku sadar, dia
tidak punya pakaian lagi. Segera aku
keluar dan pergi ke toko terdekat.
Kubeli T-shirt dan celana pendek.
Ketika kembali ke kamar, dia
membisu dan tak mau menjawab
pertanyaanku. Didiamkan begitu aku
tak ambil pusing. Kupakaikan T-shirt
dan celana pendek ke tubuhnya. Dia
masih tetap membisu.
“Ayo pulang…” ajakku. Dia
melangkah lunglai. Kugandeng dia ke
mobil, kududukkan di jok depan.
Setelah isi kamar sudah kurapikan,
aku langsung menyetir mobil.
Sepanjang jalan dia hanya diam
membisu.
“Nin… aku tahu apa yang kamu
rasakan. Tapi, satu hal yang aku
minta darimu… jangan membenciku
untuk apa yang kuperbuat. Bencilah
kepadaku karena aku bukanlah calon
suamimu”, kataku agak kesal dengan
sedikit berdiplomasi. Dia
memandangku dengan gundah.
Namun tetap membisu. Sampai di
daerah rumahnya pun dia tetap diam.
“Oke.. Nin… aku tak tahu apa yang
kamu inginkan. Jika ada yang ingin
kamu utarakan, lakukanlah sekarang
sebelum aku pergi.”
Dia hanya diam membisu.
Dipandanginya aku agak lama.
Karena tidak ada jawaban, kudekati
dia dan kucium tangannya. Dia tidak
bereaksi.
“Bye.. Nin..” Aku segera beranjak
pergi.
Empat hari kemudian aku memang
secara diam-diam mendatangi daerah
rumahnya. Benar, dari informasi yang
kudapat dia memang sedang
melangsungkan resepsi pernikahan di
sebuah Resto mewah di pusat kota.
Tapi aku tidak pergi melihatnya.
Siapa tahu itu hanya akan jadi luka
baru baginya. Pertemuanku terakhir
dengannya terjadi di salah satu kafe
di Surabaya. Saat group-ku
manggung, aku melihatnya duduk di
depan bersama seseorang (mungkin
suaminya).
“Lagu ini kupersembahkan buat
seorang wanita paling indah yang
pernah mewarnai perjalanan
hidupku”, aku pun segera
menyanyikan tembang Mi Corazon
dengan penghayatan yang dalam.
Dia menikmatinya dengan tatapan
syahdu ke arahku. Tentu saja tak
seorang pun pernah tahu, bahwa
sesuatu pernah terjadi di antara
kami.
Sekarang setahun sudah lewat. Dia
pernah juga meneleponku dan bilang
kalau dia sedang hamil tujuh bulan.
Ketika kutanya dimana dia saat itu,
telepon segera ditutupnya. Well,
ternyata aku pun sedang mengalami
pemerkosaan darinya.
1 | 1 | 7832
BACK





Home
Cerita-XXX
Cerita Stim
Cerita Erotis
Sumber Cerita
Thai Stories


© 2009 - 2014 CeritaKita-X
Cerita mesum dan Artikel seks