Nama panggilanku Jenni. Tahun ini
usiaku menginjak 25 tahun. Di usia
yang masih belum terlalu tua ini sudah
banyak yang bisa diceritakan,
terutama tentang kehidupan
seksualku. Namun sebelum bercerita
lebih banyak, aku ingin memberikan
sedikit info tentang diriku.
Aku kini tinggal di kota S sejak aku
pindah ke Indonesia pada tahun 1988,
dan aku hidup berbahagia bersama
pasanganku yang nama panggilannya
adalah Evil. Kami telah hidup bersama
sejak 1996, dan sejak SMA, aku telah
memutuskan untuk mencintai sesama
jenis, bukan karena apa-apa, tapi aku
memang tidak bisa tertarik secara
seksual dengan kaum Adam. Menurut
banyak orang, wajahku tidak jelek,
dan tubuhku memang tidak 'serba
besar' namun tinggi badanku yang di
atas normal (182 cm) cukup
memberiku nilai tambah.
Aku bukan seorang model, tapi aku
pernah memanfaatkan tinggi tubuhku
untuk berprestasi di sebuah klub bola
basket. Sayang sekali waktu itu aku
bukan warga negara Indonesia,
sehingga aku tidak jadi masuk
pelatda. Well, aku memulai 'kehidupan
bebas'ku sejak aku bekerja sebagai
pramugari di salah satu penerbangan
internasional pada tahun 93-95.
Hampir seperempat bagian bumi telah
kujelajahi, dan di setiap negara, di
setiap persinggahan, selalu
kusempatkan waktu untuk memenuhi
kebutuhan biologisku yang menggebu,
dengan sesama wanita, tentu saja.
Nah, inilah sebagian dari cerita-
ceritaku, plotnya memang
berdasarkan kenyataan, namun
detailnya ada yang dikurangi dan
ditambahi, agar layak dibaca dan tidak
membosankan.
Ruang ganti 1991.
Kisah ini terjadi pada saat aku masih
kelas 2 SMA, di salah satu SMA negeri
di kota S, di Indonesia. Aku mengikuti
ekstra kurikuler bola basket. Aku
bersama 2 temanku Evelline (ia
senang dipanggil Evil) dan Reni,
memiliki tinggi tubuh yang di atas rata-
rata orang Indonesia, sehingga kami
menjadi tulang punggung tim. Waktu
itu kami baru saja dikalahkan oleh tim
SMA lain dengan cara yang menurut
kami sangat curang, padahal itu
adalah partai final di sebuah
kompetisi. Sebagai kapten tim, aku
sudah mendapat semprotan cukup
kasar dari pelatih sekolah, yang juga
pelatih di klub basketku di luar
sekolah. Aku duduk sendirian dengan
mata berkaca-kaca di bangku panjang
di dalam kamar ganti, melihat rekan-
rekan setimku berlalu-lalang dengan
kepala tertunduk dan wajah penuh
penyesalan, mereka mandi, berganti
pakaian, lalu meninggalkan ruangan.
Sampai keadaan begitu sepi dan
senyap, waktu itu pukul lima sore.
Aku melihat kedua rekanku, Evil dan
Reni berjalan masuk ke locker room,
mereka mencoba tersenyum
menghiburku, lalu mereka duduk di
kiri kananku.
Lama sekali kami terdiam bertiga.
Sampai akhirnya Reni memecah
kesunyian, "Hmm.., lupakanlah
pertandingan tadi, it wasn't a great
deal", katanya.
"Yah, kamu bener, ayo kita mandi
terus cari minum", jawabku sambil
berdiri.
"Jen, however, kamu tadi hebat sekali,
lho!", kata temanku Evil sambil ikutan
berdiri. Tingginya yang 186 cm itu
membuatku harus sedikit mendongak
kalau berbicara dengannya di jarak
dekat.
"Terimakasih, Vil, kamu juga hebat",
aku memegang lengannya sambil
menatap matanya.
Sebelum malam itu, aku belum pernah
merasakan hubungan badan, apalagi
dengan sesama jenis, namun saat itu
aku merasakan ada kehangatan yang
'lain' di tatapan Evil. Tanpa kusadari,
wajah kami mendekat. Aku bisa
melihat dengan jelas wajahnya yang
cantik, matanya yang sayu, bibirnya
yang tipis dan indah. Aku
memejamkan mata ketika merasakan
bibir kami berpagutan, saling berkulum
mesra. Aku tidak tahu apa yang
merasukiku, namun aku tiba-tiba
dikuasai oleh hasrat birahi. Aku
mendorong tubuh Evil hingga ia
tersandar di lemari locker, ciumanku
menjadi liar dan menjelajahi leher dan
rahangnya. Ia hanya memeluk
pinggangku erat sambil memejamkan
matanya.
Tiba-tiba aku merasakan dua telapak
tangan merengkuh dadaku dari
belakang. Ternyata Reni. Ia
memelukku dari belakang dan dengan
penuh hasrat mencium dan menjilati
tengkukku. Rasanya begitu geli. Kedua
tangannya meremas dan mengusap
kedua payudaraku lewat kaosku yang
basah oleh keringat. Sementara Evil
terus saja memeluk pinggangku dan
menciumi bibirku. Beberapa menit
kemudian kami melepaskan pelukan,
saling bertatapan, dan tanpa berkata-
kata, kami bergegas masuk ke dalam
kotak shower. Tanpa melepaskan
kaos tim kami, Reni menyalakan
shower, air dingin menyiram tubuh
kami bertiga. Reni segera mematikan
lagi shower itu sambil tertawa nakal.
Kami basah kuyup. Aku tak henti
menatap keindahan tubuh kedua
temanku yang tercetak dengan manis
oleh kaos yang basah itu, namun
tanpa kusadari mereka juga menatap
tubuhku. Aku mengenakan bra sport
tanpa cup, sehingga mereka dapat
dengan jelas melihat warna dari
kedua puting susuku di balik kain
yang basah. Karena baju kaos kami
putih, maka perbedaan warnanya pun
terlihat jelas.
"Jenn, biarkan kami menghiburmu,
ok?", kata Evil sambil sikutnya
menyenggol Reni yang buru-buru
mengangguk.
"Bagaimana?", tanyaku gugup.
"Diam, dan nikmati", kata Evil sambil
menatap mataku. Karena ia adalah
satu-satunya temanku yang lebih
tinggi dan kuat daripada aku, aku
memutuskan untuk diam saja. Lalu ia
memelukku dari belakang, tangannya
naik turun di pinggangku,
menyingkapkan kaos basah, telapak
tangannya terasa hangat sekali di
pinggang dan perutku. Ia juga
menciumi leher dan pundakku,
membuatku terpejam dan menikmati.
Tangannya meremas payudaraku
tanpa menyentuh putingnya, ia
memberi isyarat pada Reni. Reni
memeluk pinggulku dari depan,
mulutnya memberikan ciuman cepat
di bibirku, lalu turun menjelajahi
leherku. Diangkatnya kaosku, hingga
bra sportku yang juga basah kuyup itu
terlihat. Ia membuka kaitan di depan
bra sportku itu. Aku agak merinding
ketika merasakan kedua payudaraku
kini terpampang bebas di hadapan
sahabat akrabku itu. Tanpa banyak
bicara, Reni mengulum puting susuku
yang kiri, membuatku tersentak
kegelian, namun Evil memegangi
tubuhku agar tidak terpeleset. Reni
terus saja mengulum puting kiriku,
menjilat, dan puting kananku
diusapnya pelan, dijentik-jentikkan
dengan jarinya, dan aku tak tahu apa
lagi yang dilakukannya, yang jelas
aku merasakan kehangatan dan
kegelian yang luar biasa mengalir
masuk lewat kedua putingku. Tiap
jilatan dan usapan yang mengenai
putingku terasa begitu indah dan
membuat tubuhku serasa lemah.
Beberapa menit lamanya aku berdiri
dipegangi Evil, sementara Reni
mengulum dan memainkan ujung-
ujung payudaraku. Aku menggeliat-
geliat kegelian, putingku telah
membengkak merah, dan kakiku
gemetar tak kuat menahan beban
tubuhku. Aku merasakan sesuatu
yang hangat mulai mengalir dari
dalam liang vaginaku yang juga
berdenyut-denyut. Evil menurunkan
tangannya dari pinggangku, merayap
turun, menyusup ke dalam legging
yang basah, celana dalam, dan ia
menyentuh kelaminku. Mungkin ia
menjentik-jentikkan jarinya di
clitorisku, atau mungkin memilin-
milinnya, aku tak tahu, tapi aku
merasakan geli dan kenikmatan yang
luar biasa dari bawah sana. Aku
semakin menggelinjang-gelinjang tak
tahan. Reni terus saja mengulum dan
menghisap kedua putingku sambil
meremas dagingnya, sementara jari-
jari Evil beraksi di dalam lubang
kewanitaanku, menusuknya,
menariknya masuk, menjentikkan
clitorisku, dan begitu terus.
Kenikmatan mengaliri tubuhku lewat
kedua puting dan vaginaku,
menguasai sekujur tubuhku. Aku tetap
menggelinjang-gelinjang kegelian
sampai akhirnya tiba-tiba aku
merasakan sesuatu meledak dari
dalam liang vaginaku, aku menjerit
tertahan, tubuhku menegang,
tanganku memeluk tubuh Reni kuat-
kuat. Evil menghentikan gerakan
jarinya di liang vaginaku, sementara
Reni terus menggoyangkan lidahnya
menjilati putingku. Namun aku
merasakan kenikmatan yang tak
terkira. Begitu hangat dan indah.
Tubuhku seperti kejang beberapa saat,
namun kemudian aku merasa lemas
sekali, dan lututku terasa pegal. Aku
terduduk di lantai shower box.
Setengah terpejam oleh sisa-sisa
orgasme hebat tadi. Pandanganku
agak kabur, dan kepalaku terasa agak
pening, namun aku masih dapat
melihat Evil dan Reni berpelukan,
saling mencium, saling membelai.
Keduanya berpelukan erat, saling
memainkan alat kelamin. Sebenarnya
aku ingin melihat lebih jauh, tapi
pertandingan yang tadi, ditambah
orgasme yang begitu hebat telah
menguras tenagaku. Aku terpejam
dan kehilangan kesadaranku sambil
terduduk di lantai shower box yang
dingin itu. Aku baru terbangun setelah
Evil membangunkanku. Ketika melihat
dia dan Reni telah berpakaian rapi dan
bersisir klimis, aku buru-buru mandi,
berpakaian, dan kami bertiga berjalan
menuju tempat pondokan kami di
dekat kompleks sekolah kami.
Sejak itu, aku sering melakukannya
dengan Reni, yang menjadi pacarku
waktu itu. Kami berpisah setelah lulus
SMA. Karena alasan biaya, aku
langsung bekerja di penerbangan
internasional di Singapura, sementara
Reni dan Evil pergi ke negara lain
untuk melanjutkan kuliah.
www.ceritakita.hexat.comKami baru
bertemu lagi di tahun 1998, namun
tentu saja itu adalah cerita yang lain
lagi.
TAMAT