Segar sehabis mandi, Evi keluar dari kamarnya dan dari teras di depan
kamarnya di lantai 2, ia melihat adiknya, Nita, memasuki rumah dengan
wajah merah kepanasan, namun tampak ceria. Nita baru pulang dari
sekolah, kemeja putih dan rok birunya tampak lusuh. Tak melihat siapa
pun di rumah, Nita langsung naik dan masuk ke kamarnya lalu menyalakan
AC. Ia mencuci muka dan tangannya di kamar mandi dalam kamarnya saat
mendengar kakaknya bertanya, “Hey, gimana pengumumannya?”
Nita keluar dari kamar mandi mendapatkan Evi bersandar di pintu
kamarnya dengan tangan ke belakang.
“Nita diterima di SMA Theresia, Kak!” jawab Nita dengan ceria.
Evi berjalan ke arahnya dan memberikan sebuah kado terbungkus rapi.
“Nih, buat kamu. Kakak yakin kamu diterima, jadi udah nyiapin ini.”
“Duuh, thank you, Kak!” Nita setengah menjerit menyambar kado itu.
Evi duduk di ranjang Nita sementara adiknya duduk di meja belajarnya
membuka kado itu dan mendapatkan sebuah gelas berbentuk Winnie the
Pooh, karakter kartun kesukaannya, sedang memeluk tong bertulisan
“Hunny”. Kali ini Nita benar-benar menjerit, “Aaah, bagus banget!
Thank you, Kak!”
Nita melompat ke ranjang dan memeluk kakaknya erat-erat, dan dengan
tiba-tiba mencium bibir Evi. Evi tersentak, bukan karena Nita
menciumnya, tapi karena getaran elektrik yang ia rasakan dari bibir
adiknya yang basah menyambar bibirnya dan menyebar ke seluruh
tubuhnya. Ciuman yang sebenarnya hanya berlangsung beberapa detik itu
membuat jantung Evi berdebar. Nita melepas ciumannya, namun tak
melepas pelukannya yang erat. Evi tersenyum berusaha menutupi
perasaannya, lalu mengecup bibir adiknya dengan lembut. Nita
meletakkan gelas itu di meja kecil di sisi ranjangnya dan merebahkan
diri. Ia menarik Evi agar berbaring di sisinya, lalu kembali
memeluknya.
“Kak, Nita kangen nih ama Kakak. Sejak Kak Evi pacaran ama Mbak Anna,
kapan kita pernah tidur bareng lagi? Cerita-cerita sampe ketiduran?
Nggak pernah kan?”
“Bukan gitu, Nit,” jawab Evi, “Kakak kan kuliahnya sibuk, bukan karena
pacaran ama Anna.”
Evi kembali merasakan dadanya berdebar hanya karena dipeluk oleh
adiknya yang cantik ini. Ia baru menyadari bahwa ia memang sudah lama
sekali tak pernah sedekat ini dengan Nita.
“Lagian ngapain sih Kakak pacaran ama Mbak Anna? Ntar ketahuan Papa
baru tahu lho!” kata Nita sambil mengernyitkan dahinya seakan memarahi
kakaknya.
Wajah Nita begitu dekat dengan wajahnya, membuat Evi merasa canggung
dan semakin berdebar. Evi berusaha keras meredam ketegangannya dan
menutupi perasaannya dari adiknya.
“Sok tahu kamu,” kata Evi, “Papa kan udah tahu Kakak pacaran ama Anna.
Malah sebelum berangkat ke Jerman, Anna pernah ketemu dan ngobrol ama
Papa. Sekarang Papa udah bisa kok nerima kenyataan bahwa Kakak emang
lesbian.”
Hangatnya hembusan napas Nita di lehernya membuat Evi semakin berdebar
dan ia merasakan panas yang hebat dari selangkangannya. Evi tahu ia
tak mampu menahan diri lebih lama lagi saat celana dalamnya mulai
terasa lembab.
“Sana mandi dulu kamu!” tukas Evi sambil mendorong adiknya, “Kamu bau
matahari!”
“Ngg..” balas Nita kolokan walau tetap melepaskan lengannya yang
melingkari pinggang Evi.
“Tapi Kakak jangan pergi dulu. Nita masih kangen ama Kakak,” kata Nita
sambil berjalan ke kamar mandi.
Evi duduk dan melipat kedua kakinya rapat-rapat di depan dadanya. Ia
memeluk kedua kakinya sambil menyadarkan dagu ke lututnya. Ia menghela
napas dalam-dalam berusaha menenangkan gairahnya.
“Kenapa aku sampai begitu, sih!” ia memarahi dirinya sendiri dalam hati.
“Nita kan adikku sendiri!”
“Mungkinkah karena sudah hampir 4 bulan Anna pergi dan aku kangen pada
pelukan dan sentuhan lembut wanita?” Evi menyelonjorkan kakinya di
kasur dan mulai meraba-raba pahanya. Sambil membayangkan dada Anna
yang montok, tangan kiri Evi meraba-raba dadanya sendiri, sementara
tangan kanannya naik meremas-remas selangkangannya.
Evi tersentak dari lamunannya dan melepas kedua tangannya dari
bagian-bagian vitalnya dan kembali menarik napas dalam-dalam. Ia tak
ingin terlihat bergairah saat adiknya keluar dari kamar mandi nanti.
Tak memakan waktu lama, Nita keluar dari kamar mandi dalam keadaan
bugil. Ia mengambil celana dalam dan daster dari lemari. Evi menatap
adiknya memakai celana dalam, jantungnya yang belum sepenuhnya kembali
normal langsung berdebar lagi melihat tubuh Nita yang langsing namun
berisi itu. Nita tidak mengenakan dasternya, tetapi langsung duduk
bersila di sisi kakaknya di ranjang dan meletakkan dasternya di
pangkuannya.
Evi tersenyum berusaha menutupi gairahnya dan membelai rambut adiknya.
Nita memonyongkan bibirnya seperti orang ngambek dan berkata, “Kak Evi
kok mau sih ama Mbak Anna? Dia kan..” Nita tampak agak ragu sebelum
akhirnya melanjutkan, “Dia kan nggak cantik.” Bukannya marah, senyum
Evi malah berubah jadi tawa, “Kamu nggak boleh menilai orang dari
penampilan fisiknya. Anna kan baik banget orangnya, lembut dan penuh
pengertian. Lagian fisiknya juga nggak jelek-jelek amat. Toket dan
pantatnya kan gede banget, Nit. Asyik banget untuk diremas. Dan
ciumannya jago banget. Dia yang ngajarin Kakak ciuman.”
“Iya sih. Toket Nita nggak gede ya, Kak?” kata Nita sambil memandang
payudaranya.
“Siapa bilang?” balas Evi, “Toket kamu gede lagi! Kamu tuh tumbuh
melebihi orang seumurmu. Waktu Kakak 17 tahun, toket Kakak belum
segede kamu.”
Dengan polos, Nita bertanya, “Emang enak, Kak, diremas ama sesama cewek?”
Belum sempat Evi menjawab, Nita meraih tangan kakaknya dan
meletakkannya di atas dadanya. Evi tersentak, namun membiarkan Nita
menggerakkan tangannya berputar-putar di dada adiknya yang terasa
lembab dan segar itu. “Mmmhh..” Nita mendesah dan matanya setengah
menutup. Gairah Evi yang sudah sulit dikendalikan semakin meledak
melihat reaksi adiknya yang sangat merangsang itu. Evi mulai
meremas-remas dada adiknya dengan lembut lalu memilin-milin puting
dada Nita yang terasa semakin membesar dan mengeras.
“Uhh..” Nita kembali mendesah dan membiarkan Evi meraba dan meremas
dadanya, sementara kedua tangannya sendiri meremas sprei kasurnya. Tak
lagi berusaha mengendalikan gairahnya yang sudah memuncak, Evi meraih
dagu adiknya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya terus
meremas dada Nita dengan semakin bernafsu. Evi menarik wajah Nita dan
mengecup bibirnya yang basah.
“Mmmhh..” reaksi Nita yang hanya berupa desahan itu membakar nafsu
Evi. Sambil meremas dada adiknya dengan bergairah, Evi mengulum bibir
bawah adiknya yang segera membuat Nita membalas dengan mengulum bibir
atas Evi. Kakak beradik ini saling menghisap bibir selama beberapa
saat, sampai akhirnya Evi melepas ciuman mereka. Nita membuka mata
mendapatkan ia dan kakaknya sama-sama terengah-engah setelah berciuman
dengan penuh gairah.
“Ohh, ternyata enak ya, Kak? Nita nggak nyangka deh. Kak Evi juga
enak?” tanya Nita dengan polos.
“Gila kamu, Nit! Dari tadi Kakak udah mau mati nahan gairah Kakak
gara-gara kamu peluk, kamu cium, ngelihat kamu telanjang!” jawab Evi,
“Kamu sih! Ngapain lagi kamu tarik tangan Kakak ke toket kamu?”
Nita tampak terkejut dengan kerasnya kata-kata kakaknya, “Sorry, Kak.
Nita cuma kangen aja ama Kak Evi dan pengen disentuh. Sorry..” katanya
sambil menundukkan kepala.
“Ssstt..” Evi menarik dagu adiknya lagi hingga mereka saling
bertatapan, lalu menampilkan senyumnya yang manis, “Tapi kamu suka
kan?” Nita hanya membalas dengan senyuman yang tak kalah manisnya.
Evi menggeser duduknya di ranjang hingga bersandar pada dinding,
“Sini,” ia menarik lengan Nita agar duduk di sisinya. Mereka duduk
berdampingan, Evi membelai rambut Nita, lalu dengan tangan di belakang
kepala adiknya, Evi menarik wajah Nita mendekati wajahnya, “Nih ajaran
Anna. Kamu nilai sendiri enak apa nggak.” Evi kembali mencium bibir
Nita.
Kendali diri sudah sepenuhnya kembali pada dirinya setelah menyadari
bahwa Nita juga menikmati semua ini, Evi mengatur alur percintaan
tanpa tergesa-gesa. Ia tak lagi meraba-raba adiknya. Kini Evi hanya
mengulum bibir adiknya, kadang seluruh mulutnya, lalu melepasnya, lalu
mengulumnya lagi. Kadang ia biarkan Nita yang menghisap bibirnya
dengan lebih bernafsu, lalu melepasnya untuk melihat adiknya maju
mengejar mulutnya yang sedikit ia buka, memancing gairah Nita.
Evi mendorong adiknya hingga rebah di kasur. Mereka berciuman lagi
dengan penuh gairah. “Kak..” Nita mendesah. Evi menjawab dengan
menyelusupkan lidahnya dengan lembut ke dalam mulut Nita yang sedikit
terbuka. Tenggorokan Nita tercekat saat merasakan lidahnya bersentuhan
dengan lidah kakaknya. Ini perasaan yang belum pernah ia rasakan
sebelum ini. Ia tak menyangka akan merasakan rangsangan luar biasa
sebagai akibatnya.
Jilatan lembut Evi pada langit-langit dan lidah Nita membuat Nita
terangsang, namun menjadi semakin rileks karena merasa semakin menyatu
dengan kakaknya. Nita mulai membalas gerakan lidah Evi dengan gerakan
lidahnya sendiri. Mengetahui adiknya sudah bisa menikmati ini, Evi
membelitkan lidahnya pada lidah Nita sambil menghisap bibir adiknya.
Evi melepas lidahnya dari mulut adiknya, lalu berkata, “Hisap lidah
Kakak, Sayang.”
Kata-kata lembut Evi membuat Nita semakin bergairah, seakan sedang
bercinta dengan kekasihnya. Dengan bernafsu, ia menghisap lidah Evi
yang kembali menjelajahi mulutnya. Mereka berciuman dan bergantian
saling menghisap lidah untuk waktu yang lama. Merasa gairah adiknya
dan gairahnya sendiri semakin membara, Evi mulai meningkatkan
kecepatan percintaan dengan meraba paha dan selangkangan Nita. Nita
mendesah saat merasakan sentuhan di bagian yang belum pernah disentuh
siapa pun itu. Evi melepas bibirnya dari bibir adiknya, lalu mulai
menjilati telinga dan leher Nita. Desahan Nita mulai berubah menjadi
erangan kenikmatan.
Tanpa melepas tangannya dari selangkangan Nita, Evi menurunkan
jilatannya ke dada adiknya yang montok itu. “Ah..!” Nita menjerit
kecil saat pertama kali lidah kakaknya menyentuh puting buah dadanya,
“Ooohh.. aahh.. Kak..” desahnya dengan penuh kenikmatan. Nita membuka
matanya menyaksikan Evi menjilati puting dan payudara Nita dengan
semakin cepat dan bernafsu, membuat putingnya membesar dan mengeras.
Kadang Evi menggigit puting Nita membuat Nita menjerit kecil dan
memaju-mundurkan pantatnya seirama dengan gerak tangan Evi di
selangkangannya, sehingga tangan Evi terasa semakin menekan dan
meremas di selangkangannya yang kini sudah basah kuyup.
Bangkit dari dada Nita, Evi menduduki adiknya dengan selangkangan
tepat di atas selangkangan adiknya. Evi menarik kaosnya lalu
melemparkannya ke lantai. Kedua tangan Nita meremas dada kakaknya saat
Evi sedang berusaha melepas BH-nya. Evi melempar BH-nya dan Nita
semakin bernafsu meremas dada dan puting telanjang kakaknya. Mereka
saling menghujam selangkangan hingga saling menekan. “Hhh..” desah Evi
yang menikmati remasan adiknya pada dadanya yang telah membesar dan
mengeras itu. Tak tahan lagi untuk segera merasakan adiknya, Evi
bangkit membuka celana pendek sekaligus celana dalamnya, lalu menarik
celana dalam Nita hingga terlepas, menampilkan setumpuk kecil bulu
tipis yang menutupi kemaluan yang telah membengkak penuh gairah. Bau
seks menyebar dari vagina Nita, membuat isi kepala Evi serasa berputar
penuh gairah tak tertahankan.
Evi meraba bibir vagina adiknya yang telah berlumuran lendir gairah.
“Ohh, Kakaak!” Nita tersentak merasakan nikmatnya sentuhan di titik
terlarang itu. Tak tahan lagi, Evi segera menjilati bibir vagina Nita
dengan bernafsu, menikmati manisnya lendir vagina Nita. “Ah! Ah! Kak!
Ah!” Nita menjerit-jerit tak tertahankan, tubuhnya menggelinjang
merasakan kenikmatan yang tak pernah terbayangkan olehnya.
Dua jari Evi membuka bibir vagina Nita, menampilkan klitoris yang
telah membengkak keras dan teracung keluar. Lidah Evi menari pada
klitoris adiknya sambil tangan kirinya naik meremas-remas payudara
Nita, membuat Nita terpaksa mencengkeram sprei untuk menahan gelinjang
tubuhnya yang semakin sulit dikendalikan. Ini tak membantu menahan
jeritannya yang semakin keras “Aaagghh! Aaagghh! ohh, Kakaak! Nikmat,
Kaak! Jangan berhen.. aagghh!” Nita telah terlontar ke dalam dunianya
sendiri.
Memang tak berniat berhenti, lidah Evi masuk ke dalam vagina Nita dan
menjilatinya tanpa ampun. Nita meluruskan kedua lengannya di sisi
menopang tubuhnya ke posisi duduk mengangkang, menyaksikan kepala
kakaknya di antara kedua pahanya. Tak mampu mengendalikan kenikmatan
seks yang terus meningkat ini, Nita menghunjamkan selangkangannya ke
wajah kakaknya berulang kali, sementara lidah Evi semakin cepat
bergetar di dalam vagina Nita, sambil menikmati lendir vagina adiknya
yang terus mengalir ke dalam mulutnya.
Hunjaman selangkangan dan gelinjang tubuh Nita yang semakin kasar dan
tak terkendali membuat Evi tahu bahwa adiknya tak akan tahan lebih
lama lagi. Ia semakin bernafsu menjilati adiknya, di dalam vagina,
bibir vagina serta klitorisnya. Tepat dugaannya, tak lama kemudian
kedua paha Nita menghentak kaku menjepit kepala Evi, tubuh Nita
bergelinjang semakin kasar dan liar, sementara vaginanya berkontraksi
dan memuncratkan gelombang demi gelombang lendir seks yang tak mampu
lagi ia bendung.
“Aaakk.. aahh.. ahh Kakk..” jerit Nita tak peduli lagi pada dunia,
hanya kenikmatan orgasme pertamanya ini yang berarti baginya. Evi
membuka mulutnya, mengulum seluruh vagina adiknya dan menenggak lendir
orgasme yang membanjiri seisi mulutnya hingga sebagian menetes dari
bibirnya ke dagu dan lehernya.
Orgasme demi orgasme melanda Nita selama semenit penuh, hingga
akhirnya ia merasa begitu lemah sampai tubuhnya jatuh ke kasur dengan
penuh kenikmatan dan kepuasan. Evi menjilati lendir yang lolos ke sisi
selangkangan dan paha adiknya, lalu memanjat tubuh adiknya dan
menindih tubuh adiknya. Sambil terengah-engah, ia menyaksikan Nita
yang memejamkan mata penuh kepuasan. Evi mengecup bibir Nita, membuat
Nita membuka matanya dan tersenyum. Ia memeluk tubuh telanjang Evi,
lalu membalas kecupan kakaknya dengan ciuman penuh pada mulut Evi.
Lidah mereka terpaut, Nita menghisap lidah kakaknya, lalu
melepaskannya untuk menjilati wajah, pipi dan leher Evi yang
berlumuran lendir orgasmenya sendiri. Lendir seks ini terasa nikmat
dan manis baginya.
Nita tahu Evi terengah-engah bukan hanya karena habis memakan
vaginanya dengan brutal, namun juga karena gairahnya yang telah
memuncak. Nita melorotkan diri di bawah tubuh kakaknya, menggesekkan
payudaranya pada payudara Evi. Wajah Nita tiba di depan payudara Evi
saat Evi mengangkat tubuhnya dengan menopangkan dirinya pada sikunya.
Tanpa ragu Nita mulai menjilati puting payudara kakaknya hingga napas
Evi semakin tersenggal-senggal menahan gairah yang semakin melonjak
dalam dirinya. Selangkangannya semakin memanas dan lendir seksnya
meleleh keluar dari vaginanya, menetes-netes di paha Nita.
“Ohh, Sayang! Kakak nggak tahan lagi, Sayang!” erang Evi.
Memahami maksud kakaknya, Nita melorotkan tubuhnya kembali hingga
wajahnya tiba di depan vagina Evi, dan tanpa menunda lagi, Nita
langsung menyusupkan lidahnya ke dalam vagina kakaknya.
“Aaahh! Ahh! Sayaang!” Evi menjerit selagi Nita sibuk menjilati
vaginanya dari dalam hingga ke klitorisnya berulang-ulang.
Dengan bernafsu, Evi menduduki wajah adiknya, lalu menaik-turunkan
tubuhnya, menghujamkan vaginanya ke wajah adiknya berulang-ulang.
Sambil meremas pantat Evi, Nita meluruskan lidahnya hingga kaku dan
menghujam wajahnya seirama dengan gerakan pantat kakaknya ini. Lendir
gairah meleleh ke wajah dan pipi Nita saat ia memaikan kakaknya dengan
lidahnya. Tak lama Evi mampu bertahan setelah gelombang rangsangan
bertubi-tubi yang telah ia nikmati, puncak kenikmatan pun meledak dan
Evi tersentak kaku di atas wajah adiknya dalam kepuasan orgasme demi
orgasme yang menyemprotkan lendir panas ke dalam mulut Nita berulang
kali.
Nita berusaha keras menghisap dan menelan seluruh lendir orgasme Evi
yang memenuhi mulutnya. Begitu banyaknya lendir kepuasan yang Evi
tumpahkan ke mulut adiknya, sebagian terpaksa mengalir keluar ke pipi
Nita. Dari kaku, perlahan-lahan tubuh Evi mulai melemas dan jepitan
pahanya pada kepala Nita pun mulai mengendur, hingga akhirnya Evi
jatuh terbaring lemas di atas ranjang. Nita mendekati wajah kakaknya
yang menantinya dengan tersenyum, lalu mencium bibir kakaknya. Mereka
berpelukan dan berciuman beberapa saat. Evi membelai rambut adiknya,
sementara Nita meremas pantat kakaknya. Lelah berciuman, Evi menghela
napas panjang sebelum akhirnya mengatakan, “Aku cinta kamu, Sayang..”
Nita hanya tersenyum dan mereka terus berpelukan hingga tertidur dalam
rasa lelah yang penuh dengan kepuasan.