To Surabaya With Love
“Menjadi Straight itu sulit, tapi menjadi gay itu lebih sulit.”
Kubuka
kisah nyata aku dengan kata yang selalu menguatkan hati aku untuk
bertahan dalam dunia yang keras ini. Kisah ini adalah kisah nyata yang
aku alami sendiri. Ada beberapa hal yang memang aku ganti, ada pula yang
aku tambahkan berdasarkan apa yang aku rasakan waktu itu. Semoga dari
kisah aku ini, pembaca bisa mengambil hikmah dan hidayah.
Sebelum
mengalami kejadian ini saya selalu berfikir bahwa cerita-cerita gay
porno yang ada di internet itu bulshit banget. Coba kita fikirkan dengan
matang: mana ada orang ketemu sekali langsung ML? kayaknya nggak masuk
akal banget mengingat kita hidup di Indonesia. Apalagi jika seorang pria
bertemu dengan pria, sejenak setalah mereka saling pandang, mereka
tersenyum simpul seperti telah menandatangani kontrak bergharga. Dan
setelah itu mereka dengan sigap mengerjakan kontrak itu di mana mereka
suka. Di hotel, motel, rest room, toilet terminal atau bahkan di kursi
penumpang bus? Can you imagine that? I cant. It doesn’t make anysenses.
Tapi
setelah mengalami kejadian ini, aku percaya semua itu bias terjadi di
tanah kelahiran kita. Bahkan di kota kecil tenmpat kita singgah sebentar
untuk melanjutkan perjalanan lebih jauh. Ini benar-benar terjadi pada
saya. Aku masih belum bias percaya ini terjadi, but inilah kenyataan.
Kisah
ini terjadi ketika aku berangkat ke Surabaya setelah satu bulan liburan
akhir semester di kampong halaman. Mendung menggantung di ufuk barat
menutupi kepergian sang matahari. Sementara angin terus menghembuskan
nafasnya menyusup ke sela-sela jaketku hingga menusuk ke sumsum tulang.
Air langit belum turun, tapi bau hujan sudah tercium olehku.
Kucium
tangan bapakku yang kasar karena bekerja keras. Entah kenapa akhir-akhir
ini aku begitu khawatir dengan salah satu orang yang kuakungi ini.
Semakin beliau kaya, semakin keras beliau bekerja. Bahkan terkadang
beliau pulang maghrib dan melupakan shalat ashar. Aku memandangnya
dengan muram menahan kegundahanku. Beberapa hari yang lalu kami hampir
bertengkar masalah haji dan qurban. Dengan kekayaannya, kurasa bapak
sudah mampu untuk berhaji bersama ibu. Tapi nyatanya? Bapak masih enggan
dengan berbagai alas an. Begitu pula ibu. Ketika kutawarkan alternative
lainnya yaitu Qurban, mereka juga menerima dengan enggan. Ah entahlah.
Kereta
yang akan mengantarkan aku ke Surabaya ternyata sudah berangkat satu
jam yang lalu. Kereta berikutnya berangkat satu jam yang akan dating.
Hah… kupandang bapak dengan harapan beliau mau mengantarku ke stasiun
kota Sidoarjo yang lebih besar dari stasiun Tanggul Angin. Di stasiun
itu ada kereta lain yang akan menuju Surabaya. Tapi ketika kulihat ufuk
barat yang semakin gelap, aku jadi tidak tahan untuk meminta beliau
mengantarkan lebih jauh. Sebulan yang lalu beliau sakit gara-gara
kehujanan saat menjemputku beliau kehujanan. Akhirnya dengan lapang
dada, kulepas kepergian bapak sambil terus memandangi ufuk barat yang
semakin menggelap.
Setelah bapak menghilang ditelan jarak, aku masuk
ke ruang tunggu dan melihat jadwal kereta dengan lebih teliti. Aku
berharap aku salah lihat jadwal dan ada kereta yang akan segera
mengantarku ke Surabaya. Tapi … ah itu hanya harapan kosong. Kereta
selanjutnya tetap berangkat satu jam lagi. Tanpa sadar, kebiasaan
burukku ketika sebal muncul. Aku berteriak tertahan sambil
menghentak-hentakkan kaki. Beberapa orang melihat ke arahku, aku sadar
dan jadi salah tingkah. Salah satu diantaranya adalah seorang pemuda
yang lumayan … em cute.
Dia memandangiku dan tersenyum. Aku semakin
salah tingkah. I am fly away. Tanpa sadar aku membalas senyumannya
sambil melepaskan transmitter gaynergik (beberapa orang lebih suka
menyebutnya gaydar). Dan aku merasa tidak bertepuk sebelah tangan. Dia
juga tertarik. Dengan sedikit malu-malu dan jaga image, aku duduk di
sebelahnya dengan jarak kursi kosong diantara kami. Aku melirik ke
arahnya, menunggu apa yang akan dilakukannya. Kalau dia memang tertarik,
pasti dia akan mengajakku ngobrol. Dan seperti yang kuharapkan, dia
menoleh ke arahku dan mualai membuka percakapan.
Awalnya cuma say
hai, lantas berlanjut tentang banyak hal. Dia menceritakan tentang
dirinya dengan nada minta dikasihani. Aku jatruh iba, tapi timbul
curiga. Dia menceritakan bahwa dia akan ke Surabaya untuk mencarai
pekerjaan. Pekerjaan apa yang bias ia harapkan, wong SD aja dia nggak
lulus? Aku semakin iba melihat kenyataan negeri ini. Ternyata masih
banyak rakyat yang belum bisa merasakan yang namanya pendidikan dasar.
Hah kalau sudah seperti ini, siapakah yang paling disalahkan selain
mereka yang duduk di kursi rakyat?
Namun rasa ibaku berasngsur hilang
beranti curiga. Ngapan dia tanya2 tentang HP dan ringtone segala?
Katanya belum punya pekerjaan? Kecurigaanku berpusar bangkitkan waspada.
Langsung aja kukeluarkan mushaf mini yang selalu kubawa. Kuloantunkan
pelan surah an-Naba’. Sesekali dia menanyaku. Sesekali aku berhentyi
melantunkan mushafku dan menjawabnya seperlunya, lalu kulanjutkan.
Pertanyaannya semakin kacau dan mengundang curiga.
Seorang bapak
duduk di antara kami. Alhamdulillah, mungkin Allah mengirmnya untuk
menyelamatkanku. Sayangnya dia membawa mudharat lain yang tidak kalah
bahayanya: ROKOK. Aku paling tidak suka dengan perokok. Egosi dan
merugikan banyak orang. Pernahkah mereka berfikir bahwa kita hidup
bersama manusia lain yang harus menghirup oksigen bersih? Dasar perokok!
Untuk
menghindari asapnya yang bau saya keluar ruangan menuju bangku dekat
rel kereta api. Dara atau tidak, Aku kembali menebarkan transmitter
gaynergeik. Dan si cowok tadi langsung bisa menangkap transmitterku
dengan gayceptornya. Dia mengikutiku dan duduk di sampingku. Aku
tersenyum dalam hati, lupa bahwa tadi aku curiga dan paranoid padanya.
Dia
melancarakan serangan terbukanya. Tanpa malu-malu dia meraba tengkukku
dan membelainya. Aku kembali dilanda bingung: senang, takut, nikmat,
curgia. Ah entahlah. Aku lebih memutuskan untuk menikmatinya.
Serangannya semakin terarah. Dia mendesahkan nafasnya di kupingku. Aku
melayang ke awing-awang.
“gimana? Mas bisa Bantu saya?” tanyanya tanpa menghentikan belaiannya.
“Bantu apa?”tanyaku menahan nafas.
“saya ingin ngina di tempat mas!”
“ooo boleh. Tapi saya tinggal di Asrama. Saya harus izin ke pengurus dulu”
“ntar kalo ditanya siapa saya, mas jawab apa?”
“ya saya jawab seadanya, teman baru kenal di stasiun”
“koq gitu sih, yang?” dia memanggilku YANG, emang gu moyang lu?
“kamu saying nggak sama aku?” tanyanya semakin kacau.
“sebagai apa?” jawabku diplomatis, kalo dijawab sebagai sesame manusia ya jelas aku sayanglah. Tapi kalo sebagaio ….
“kekasih” deng dong! Dia kacau banget!
“Maksud lo?” aku jadi kesal. Anak ini aneh banget! Atau justru aku yang aneh?
“udahlah
yang, nggak usah boong. Aku tahu koq kalau kamu juga sayang aku dari
pertama kali kamu lihat aku.” Door! Aku tertembak tepat di jantungku.
Aku nggak bisa ngelak kalo emang aku tertarik ma dia sejak pertama kali
lihat dia. Tapi bisakah itu disebut sayang? Bisakah pertemuan kami yang
sekejap ini menjadi sebuah ajang berkasih-sayang?
“kalo kamu sayang
ama aku, kamu boong aja ama pengurus. Bilang aja aku adekmu, sepupu atau
apalah” bau gelagat tidak baik yang kiucium sejak awal kini makin
menguat. Aku terdiam menatap angkasa. Apa sih yang dia inginkan? Aku
harus waspada.
“lingsir wengi, sliramu tume….” Dia menembangkan lagu
jawa. Aku menoleh ke arahnya. Kami bertatapan. Matanya teduh seperti
danau dengan arus bawah yang kuat. Tak terlihat beriak di permukaan,
tapi bisa menyeretmu tenggelam ke dasar hingga mati kehabisan nafas.
Ditambah lagi lagu jawa yang ditembangkannya, seolah mantra yang
menyedot jiwamu.
Dia mendekatkan wajahnya. Nafasnya yang seirama
dengan tembang jawa yang ia lantunkan menerpa wajahku. Aku terbuai
nikmat dunia. Aku mulai tersert arus matanya. Nafask tertahan, beradu
dengan nafasnya. Tangannya terus membelai tengkukku sambil sesekali
mengusap pipiku. Aku tidak bisa tidak menikmatinya. Aku semakin terseret
semakin dalam hingga Allah kembali mengirimkan bantuannya.
Angin
berhembus kencang, membawa uap dingin yang tertahan di awab. Gerimis
mulai menggelontorkan percikan airnya. Satu dua mengusap wajahku,
membawaku kembali ke darat.
Kami kembali ke dalam ruangan. Duduk di
pojok menunggu kereta Penataran yang akan mengantar kami ke Surabaya.
Dia melanjutkan serangannya. Aku mulai terseret kembali ke tengah lautan
kenikmatan. Tapi kali ini aku tidak tinggal diam. Allah dah terlalu
baik dengan mengingatkan dan menolongku dua kali. Kini saatnya aku
melawan arus pesona ini. Dia hanya memberikan hidayah, selanjutnya
terserah kita mau menerimanya atau tidak. Bagi orang-orang yang menerima
dengan mata, telinga dan hati terbuka, maka keberuntungan yang besar
sudah siap menantinya. Tapi bagi yang menolak, celakalah dia. Dan aku
tidak mau jadi orang yang celaka. Maka kukuatkan hatiku untuk melawan
arus kenikmatan ini.
Kurapalkan 3 surat terakhir berkali-kali untuk
melawan arus ini. Istighfar membasahi bibirku. Hanya kepadaNYAlah aku
bisa bergantung dan memohon pertolongan.
“mau nggak kamu ML dengan
aku?” tanyanya blak2an. “mau ya, aku tahu kamu sebenarnya mau. Setelah
sampai di Surabaya kita ke SAhid. Oke?” dia terus menceracau tidak
karuan. Aku terdiam merapalkan mantra keselamatan: “kul audzu
birobbinnas ….”
Dengan tegas kukatakan “TIDAK!”
“lho kenapa? Kamu sudah punya kekasih ta?”
“YA!”
“siapa?”
“perlu kusebutkan namanya? Andai kusebutpun kau tidak akan tahu.”
“siapa? Cewek atau cowok?”
“C
O W O K! kujawab dengan tegas.” Ya aku emang punya kekasaih seorang
lelaki, lelaki terindah di jagat raya hingga seluruh bersholawat
untuknya.
“lupakan deh cowokmu, sebentar aja.” Bagaimana bisa aku
melupakannya? Sedangkan setiap malam aku berharap bersamanya kelak.
Bagaimana aku bisa tidak mencintainya walau sedetik padahal seluruh alam
ingin memeluknya.
“kayaknya kamu salah orang!” kukakan dengan ketus.
“mendingan kamu tobat deh sebelum semuanya terlambat. Kiamat dah
terlalu dekat.” Aku meninggalkannya, aku berlari menuju kereta yang
sudah siap mengantarku ke Surabaya.
“dasar munafik! Gue tau elo
sebenarnya mau sama gue!” teriaknya. Aku tidak peduli. Aku terus berlari
dan melompat masuk ke dalam kereta.
Satu jam kemudai aku sudah
sampai Surabaya dengan selamat tanpa kurang satu apapun. Tapi dasar aku
yang emang badung, aku berusaha mencarinya. Bukan dia yang kutemukan, eh
malah ketemu teman yang mau berangkat ke Bayuwangi. Ngobrol sebentar
dan akupun melupakan cowok tadi.
Prolog
Musuh terbesar
seseorang adalah dirinya sendiri. Di dalam dirinya ada nafsu yang terus
bergelora, takkan pernah mati. Kita takkan bisa membunuhnya, tapi kita
bisa menundukkannya.
FIN
Tips buat teman-teman yang ingin bertahan sebagai Straight man:
1.
selalu kuatkan pendirian kita bahwa memang sangat sulit berjalan di
jalan yang lurus, tapi jauh lebih sulit berjalan di jalan yang benkok.
2.
setiap kali keluar rumah jangan lupa berdoa mohon keselamatan. Apabila
ada bahaya yang mengancam, baca tiga surat terakhir berkali-kali, insya
Allah selamat.
3. tolak dengan tegas jika ada yang ingin mengajak
untuk ML. tetap tolak dengan tegas walopun dia mengancam. Jangan
sekali-kali merengek dan memohon belas kasihan dengan mengatakan “jangan
bang … jangan bang!” itu hanya akan memuaskan mereka dan membuat mereka
semakin berani kepada kita.
4. jangan ragu berteriak “tolong!” jika emang benar-benar terdesak.
5.
bila menunggu kendaraan di tempat umum jangan menyendiri di pojokan,
berusahalah membaur dengan orang lain. Tapi jangan pula berada di
pusaran keramaian, itu tempat paling asoy untuk para kriminil.
6.
sebagai jaga-jaga, sebaiknya ikut bela diri. Itu lebih bermanfaat dari
pada fitness yang justru mengundang mata untuk melihat tubuh kita.
7. terakhir, jangan sekali-kali menebar transmitter gaynergik!
© 2009 - 2014 CeritaKita-X Cerita mesum dan Artikel seks |