Bercinta dengan orang bule?!? Barangkali tidak banyak kaum gay yang berpikir sampai sejauh itu, atau sekalipun sempat memikirkannya, barangkali itu pun hanya akan menjadi sebuah angan-angan kosong belaka, karena keadaan lingkunganlah yang kurang mendukung. Ibaratnya makanan, engkau bisa memikirkan kelezatan sepiring steak, tetapi jika engkau tinggal di sebuah rumah dimana ibumu tidak bisa memasak steak dan hanya mampu menyediakan tempe dan tahu, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, hanya itu yang dapat kau makan.
Tetapi lain halnya, ketika engkau duduk di dalam salah satu restoran serba ada, kau bahkan bisa memilih berbagai macam steak dan menikmati kelezatannya, berapapun porsi kau inginkan, sampai kau benar-benar merasa puas. Barangkali seperti itulah yang terjadi padaku saat ini. Kini, aku berada di dalam sebuah restoran besar yang bernama Metropolis. Dan aku sangat menyukai steak, aku ingin merasakan nikmatnya steak Eropa dengan kelezatannya yang menggairahkan itu. Sudah sejak 3 tahunan yang lalu, ketika aku merasakan diriku menyukai sesama jenis, mulai timbul sebuah obsesi untuk bercinta dengan orang bule, menikmati kontolnya yang besar, dan permainan ranjangnya yang dahsyat seperti yang aku lihat dalam film-film dewasa sebelumnya.
Semula, niatku datang ke ibukota murni hanyalah untuk belajar, meneruskan pendidikanku ke sebuah sekolah tinggi. Dan tidak pernah terpikirkan olehku untuk menjerumuskan diri ke dalam dunia gelap ibukota. Namun, ternyata hidupku mengalir seperti air, gairah seksku mulai tidak terkontrol lagi sehingga segala sesuatunya itu terjadi dan aku sungguh menikmatinya, pengalaman pertama yang menyakitkan namun mengesankan.
Seorang teman, sebut saja namanya Ical, meneleponku pada suatu sore, ia mengajakku untuk membeli sebuah discman di salah satu pasaraya sekalian jalan-jalan. Kebetulan pasaraya yang dimaksudkan oleh temanku itu juga merupakan tempat berkumpulnya orang bule ibukota yang hobi berburu barang-barang elektronik dan barang-barang lainnya. Kami janji bertemu di tempat itu jam lima pada keesokan harinya.
Jam lima kurang sepuluh aku sudah menunggu kehadiran Ical di depan pasaraya. Di sana, aku mengambil tempat duduk di sebuah kursi panjang sambil memain-mainkan handphone-ku selagi aku menunggu Ical, sesekali aku juga cuci mata melirik kesana kemari, memandangi turis-turis seksi yang tubuhnya hanya dibalut T-shirt dan celana pendek yang lalu lalang keluar masuk tempat itu. Tentu saja yang menjadi pusat perhatianku saat itu adalah para cowok bulenya, yang punya sesuatu yang menonjol di balik celananya.
Sepuluh menit berlalu, tiga puluh menit dan sampai empat puluh menit, Ical belum juga menampakkan batang hidungnya. Setelah itu handphone-ku berbunyi, Ical mengabarkan kalau ia tidak bisa menemuiku saat itu. Betapa kecewanya aku saat itu, seandainya saja Ical memberitahuku tadi siang, pasti aku tidak akan nongkrong dan bengong sekian lama di depan pasaraya seperti cowok-cowok pasaran saat itu. Tapi tak apalah, untuk sebuah persahabatan memang harus bisa saling mengerti dan memaafkan. Aku juga tidak begitu beban sekali harus menunggu sekian lama di depan pasaraya ini, karena aku bisa menikmati pemandangan yang menyegarkan mataku di tempat ini.
Sesudah itu, aku bangkit dari kursiku, aku masuk ke dalam arena pasaraya yang mulai ramai pengunjung itu. Kemudian aku berkeliling stand, sekedar untuk melihat-lihat saja. Maklum budget-ku saat itu sedang pas-pasan. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada seorang lelaki setengah baya yang sedang melihat-lihat barang di sebuah stand, berjarak kurang lebih 15 meter di depanku. Melihatnya, aku lantas teringat pada situs porno yang aku buka semalam, old and boy. Aku menatap lelaki berpenampilan parlente dengan rambut sedikit acak-acakan itu tak berkedip untuk beberapa lamanya, mungkinkah lelaki kurus jangkung itu gay. Kesan itu aku peroleh karena melihat gayanya yang agak aneh, lebih feminin daripada maskulinnya. Tapi aku tahu, kalau lelaki itu pasti berkantong tebal karena barang yang ia borong tidak sedikit.
Cerita Gay http://ceritakita.hexat.com
Setelah puas membuntuti dan mencuri-curi pandang ke arah lelaki itu, aku pun kemudian duduk di salah satu sudut arena pasaraya itu, kakiku rasanya sudah mulai kesemutan. Tidak berapa lama aku duduk di sana, tiba-tiba aku seperti dapat durian jatuh. Lelaki dewasa itu mengambil tempat duduk di tempat itu juga, tepat di sebelahku. Sepertinya ia pun kelelahan. Aku melirik kepadanya, lelaki itu pun balas melirik sambil tersenyum di antara garis-garis mukanya yang sudah mulai keriput itu. Tetapi meski begitu, aku yakin lelaki bermata biru itu adalah seorang pemuda yang tampan tiga puluh tahunan yang lalu, sisa-sisa ketampanan dan keseksiannya masih tampak di wajah dan dadanya yang berbulu itu. Singkat cerita, kami pun berkenalan, lelaki itu yang memulainya. Ternyata dia cukup fasih berbahasa Indonesia karena sudah lima tahun menetap di Jakarta, ia bekerja di sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang perkapalan. Namanya sebut saja Mr. Reene, usianya menginjak 52 tahun dan berkewarganegaraan Perancis. Dan benar dugaanku, lelaki itu juga gay, tanpa basa-basi yang kelewat basi, dia mengakjakku bercinta di apartemennya.
Aku benar-benar merasa kikuk saat itu, aku belum pernah melakukan ini sebelumnya. Sebenarnya aku dihadapkan pada pilihan yang benar-benar sulit bagiku. Sementara itu lelaki itu terus menatapku, menunggu jawaban ya. Setelah terdiam beberapa lama, akhirnya aku putuskan oke. Tapi iseng-iseng aku memasang sebuah tarif.
"Berapa?", tanya bule itu penasaran.
"Tiga ratus ribu rupiah!", sahutku dengan cepat.
Aku tidak tahu apakah harga segitu terlalu murah atau mahal, yang jelas nilai itulah yang terlontar begitu saja dari mulutku. Hitung-hitung, lumayan juga buat tambahan uang saku. Setelah semuanya terjadi barulah kuketahui, kalau harga segitu tidak sesuai dengan resiko yang kudapatkan, lubang anusku sakit selama hampir seminggu.
Bule itu mengajakku ke apartment-nya yang cukup mewah dan luas, dia cepat-cepat mengunci kamarnya dan menaruh barang belanjaannya di atas meja tamu. Setelah itu, ia menghampiriku, memeluk badanku dan mendaratkan ciumannya ke bibirku. Ia melumat bibirku dengan buas. Aku mencoba mengimbanginya, namun tidak dapat. Mr. Reene sangat berpengalaman untuk urusan seperti itu, sehingga dialah yang mendominasi permainan maut itu. Ia mencengkeram lenganku dengan kokoh, membuatku tak berkutik.
Kemudian tangannya mulai meremas-remas batang kejantananku yang sudah tegak berdiri itu, ia menyelusupkan tangannya ke balik celana gombor yang kupakai, menjamah kontol 17 cm-ku yang seksi itu, ia meremas-remasnya dengan pelan dan menggairahkan. Tanganku pun tidak tinggal diam, sudah lama aku ingin memegang kontol bule yang besar dan tidak disunat itu. Aku membuka restleting celananya dan membiarkan celana pendek itu merosot sendiri ketika dilonggarkan. Aku jamah kontol Mr. Reene dengan nafsu membara, jembutnya yang tebal terasa menggelitik di tanganku. Kontol berukuran sekitar 20 cm itu sedang tegang-tegangnya, mengeras seperti batu dengan urat-uratnya yang menonjol keluar.
"Hisap, Damian!", pinta Mr. Reene kemudian, begitu menangkap kalau aku menyukai kontolnya.
Kamipun melepaskan lumatan kami. Mr. Reene kemudian duduk di atas ujung kasurnya, dengan tak bercelana, ia pun melepaskan semua pakaiannya dan pakaianku. Mr. Reene memeloroti celanaku dengan penuh nafsu, sehingga kontolku melesak tegak tepat di depan batang hidungnya. Ia meraihnya dan mengelusnya sebentar.
"Besar juga penis kamu!", puji Mr. Reene yang tidak begitu aku pedulikan.
Karena waktu itu aku ingin cepat-cepat berjongkok saja di depannya dan kemudian mengulum kontol Mr. Reene di mulutku.
Mr. Reene menggelinjang keenakan, begitu kontolnya yang super besar itu masuk ke dalam liang mulutku. Aku menjilati dari ujung sampai ke pangkalnya, ke buah pelirnya sementara Mr. Reene duduk mengangkang di depanku. Kuhisap kontolnya maju mundur, mulutku memang tidak muat untuk sepanjang batang kejantanan Mr. Reene, tapi aku sungguh bergairah menikmati kontolnya yang masih besar di usia senja itu. Aku menyedotnya seperti sedang menikmati orange juice. Perlahan-lahan, Mr. Reene mengubah posisinya, ia makin terlentang di atas kasurnya, kemudian ia menjepit leherku dengan kakinya dan membawaku naik ke atas ranjang pegasnya itu. Ia mengajakku bercinta di atas ranjang menghabiskan malam yang makin larut itu.
Kemudian, Mr. Reene membalikkan badannya dan badanku, sehingga kini dialah yang menindih badanku. Tampaknya ia suka bermain-main dengan anak belasan tahun sepertiku (usiaku baru menginjak sembilan belas). Ia melumat lagi bibirku, menciumi seluruh wajahku, dan menggigit mesra kupingku, kemudian ciumannya turun ke leher, dadaku yang berbulu, kedua puting susuku bergantian dilumatnya, sampai ke sela-sela ketiakku, perut dan pinggulku.
"Achh.. nikmat!!", seruku sambil meremas-remas kontolku sendiri.
Sesudah itu, Mr. Reene melepaskan tanganku yang sedang merangsang kontolku sendiri itu, ia lantas melumat batang kejantananku itu dengan permainan lidahnya yang liar dan makin memanas itu. Aku sudah tidak tahu lagi, bagaimana harus melukiskan kenikmatan yang kurasakan waktu itu, yang jelas aku hanya menggelinjang dan mengerang-erang seperti orang kesurupan, kesurupan birahi yang membara. Buah pelirku yang masih muda itu pun tak dilewatkannya, ia mencoba mencaploknya dengan mulutnya dan kemudian ia menciumi kedua belahan selangkanganku, menjilatinya dengan penuh nafsu. Setelah itu ia mengocok kontolku sambil matanya tak berkedip memelototi barang kesayanganku itu, Mr. Reene sudah basah dengan keringatnya. Tampaknya ia harus bersusah payah mengeluarkan sampai spermaku benar-benar muncrat keluar.
Akhirnya Mr. Reene berhasil mengeluarkan spermaku yang kental itu, tiga kali semprot sekali muncrat. Spermaku itu tumpah ruah di sekitar pusar dan jembut-jembut halusku. Dan Mr. Reene pun tidak menyia-nyiakannya, ia merendahkan kepalanya, mendekati pusarku dan menjilati spermaku sampai ludes tak bersisa. Aku benar-benar kelelahan, untuk beberapa saat gairahku menurun drastis. Nafasku tersengal-sengal tak karuan, degup jantungku berdetak cepat, aku sungguh-sungguh takut dan menyesal saat itu, tapi aku tak mau berhenti, aku telah ketagihan dengan permainan ini.
Setelah itu, Mr. Reene membalikkan badanku, ia menyuruhku menungging di bawah tubuhnya. Dia akan mencoba Doggy Style. Kemudian, Mr. Reene mulai menjamah pantatku, meremas-remasnya untuk merangsang kembali bangkitnya gairahku. Setelah itu, ia mengolesi tangannya dengan baby oil yang ada di ata meja di samping ranjangnya. Lantas, ia mengoleskannya lagi ke seputar lubang anusku. Aku merasakan rasa perih sekali saat itu, aku tidak ingin membayangkan kalau sebentar lagi kontol besar Mr. Reene akan menembus liang anusku. Aku hanya memejamkan kedua belah mataku, mencoba untuk tegar.
Akhirnya apa yang aku takutkan terjadi juga, Mr.Reene mulai menusukkan rudalnya ke dalam lubang anusku, ia mencoba untuk menenggalamkan semuanya, tetapi begitu aku mengerang kesakitan dan mencegahnya, Mr. Reene menurut, ia hanya memasukkan sebagian dari kontolnya itu, tetapi yang justru membuatku tidak terhindar dari kesakitan adalah saat Mr. Reene memaksa untuk menarik dan mendorong kontolnya maju mundur, tetapi perlahan-lahan rasa sakit itu berubah menjadi kenikmatan yang tiada tara. Mr. Reene terus berpacu dengan permainan analnya sambil mengerang keenakan Mr. Reene menumpahkan spermanya di dalam anusku, seketika anusku terasa hangat.
Sesudah itu barulah Mr. Reene berhenti mempermainkan anusku untuk beberapa saat. Sampai keperkasaannya bangkit lagi. Pokoknya, aku ingat, sepanjang malam itu tiga kali Mr. Reene menyodomiku. Setelah itu barulah, ia puas dan memelukku tidur di atas kasunya itu. Aku menginap di sana malam itu. Melayani Mr. Reene yang luar biasa dan sekaligus bekerja sambilan.