"Jangan lupa, Pakdemu nanti dijemput..!" pagi-pagi Ayah sudah mengingatkan aku untuk menjemput Pakde Wijoyo di bandara.
Sebenarnya aku rada malas, karena hari ini aku ada rencana mau cari baju buat wawancara minggu depan. Tapi di rumah memang hanya ada aku dan Ayah saja. Ibu dan adikku sedang ke Bandung. Sementara si bungsu lagi ada acara opspek di kampusnya. Jadi aku lah yang 'ketiban' tugas sebagai penjemput Pakde.
Pakde Wijoyo (kami biasa memanggilnya Om Wi') adalah adik Ayah tapi lain Ibu. Sebenarnya usianya jauh lebih muda dari Ayah. Tapi karena Om Wi' lahir dari istri tua Kakek, kami memanggilnya Pakde. Terakhir aku ketemu dia waktu acara keluarga beberapa bulan yang lalu. Waktu itu Om Wi' datang bersama anak-anaknya. Ia memang sangat dekat dengan anak-anaknya sejak istrinya meninggal karena sakit enam tahun yang lalu.
Ada sekitar setengah jam aku menunggu pesawat datang dari Yogya. Wajah Om Wi' akhirnya muncul juga di pintu keluar. Raut wajah dan kumisnya yang khas membuatku gampang mengenalinya. Aku langsung melambai begitu melihat ia agak kebingungan. Senyumnya langsung mengembang. Seperti biasanya, senyumnya ramah dan menyegarkan. Sekilas Om Wijoyo terlihat agak gemukan dibandingkan ketika aku terakhir ketemu dia. Aku langsung salaman dan mencium tangannya. Seperti biasanya, ia langsung memeluk dan mencium keningku. Kebiasaannya setiap kali bertemu dengan keponakan-keponakannya.
"Sini Om..," kataku seraya menggamit travel bag miliknya.
"Bagaimana kabar semuanya?" suara baritonnya mulai terdengar. Cerita Gay http://ceritakita.hexat.com
"Baik!" sahutku singkat. "Om dan keluarga baik-baik juga kan?"
"O ya dong! Kami semua sehat wal'afiat," ujarnya dengan nada bersemangat, diiringi derai tawa renyahnya.
Om Wijoyo lalu mengajakku istirahat sebentar di cafe yang ada di bandara. Kami minum sambil ngobrol berbagai hal.
"Gimana kerjaanmu?" tanya Om Wi' sambil menyeruput kopinya.
"Mau pindah lagi Om," sahutku. "Habis nggak betah kerja kayak gitu."
"Emang kerja kayak apa?"
Aku lalu cerita tentang pekerjaanku di sebuah perusahaan jasa marketing yang kunilai kurang menantang. Sekalian aku cerita tentang rencanaku seminggu lagi untuk wawancara di calon perusahaan yang baru.
"Malam minggu ini Hendro ada acara nggak?" tanyanya ketika kami menuju ke tempat parkir.
"Mau cari baju, Om. Buat wawancara itu."
Kami akhirnya pulang agak memutar jalan. Karena Om Wi' mengusulkan agar aku cari baju sekarang saja. Dan ia bersedia menemaniku ke mall dekat bandara.
"Sudah. Yang itu saja," kata Om Wi' sambil menunjuk baju putih yang ada di tangan kiriku.
Aku lalu memanggil pramuniaganya dan minta nomor baju sesuai ukuranku, lalu segera ke kamar pas. Tidak lama kemudian Om Wi' ikut masuk ke kamar pas yang hanya berpenutup tirai itu.
"Kirain udah dicoba," katanya.
"Baru nyopot kaos..," sahutku sambil mulai mengepas baju dan mulai mematut-matut di depan cermin.
"Tuh, bagus kan?" katanya seolah-olah ingin menegaskan bahwa itu baju pilihannya, sambil tangannya menepuk dan mengusap-usap bahuku dari belakang.
"Oke deh!" kataku mantap untuk memilih baju itu dan mulai mencopoti kancingnya.
"Badan kamu kekar juga ya, Hend," kata Om Wi' setengah bergumam sambil memegang bagian atas kedua lenganku, "Sering fitnes ya?" kali ini tangannya memegangi pinggangku.
"Boro-boro fitnes. Jalan kaki saja jarang," ujarku sambil mulai mengenakan kaosku.
Sepanjang perjalanan ke rumah, Om Wi' terus saja ngomong tentang perlunya menjaga tubuh. Dia memang dari dulu cukup concern dengan yang namanya olahraga dan kesehatan. Menurut cerita Ayah, sejak remaja Om Wijoyo selalu aktif di kegiatan olahraga. Baik di kampung atau di sekolah. Aku sih percaya saja. Apalagi kalau menilik postur Om Wi' yang memang terlihat masih tegap untuk orang seumur dia yang sudah berkepala empat.
Kami tiba di rumah menjelang sore. Rupanya Ayah sedang ada keperluan keluar, sehingga hanya tinggal Pak Hasan, tukang kebun, yang menjaga rumah. Untuk sementara barang bawaan Om Wi' kutaruh di kamarku dulu, sambil menunggu Ayah pulang.
"Silakan Om, kalau mau istirahat dulu," kataku.
"Kamu ini lho, kok menganggap saya seperti tamu saja,"
Tapi ia masuk juga ke kamarku dan istirahat. Bahkan ia masih tidur ketika Ayah sudah pulang. Rupanya Ayah dari stasiun, menjemput Ibu dan adikku yang rupanya mempercepat acaranya di Bandung.
"Pakde biar tidur di kamar depan saja. Nanti Aris dan Bayu biar gabung sama Hendro," kata Ayah sambil menyuruhku memindah barang Om Wi' ke kamar depan, kamar Aris dan Bayu adik bungsuku.
"Sudah, nggak usah repot-repot. Kayak tamu saja," tiba-tiba Om Wi' muncul dari dalam kamarku.
Semua langsung bersalaman dan terlibat dalam cengkerama dan obrolan layaknya keluarga dekat.
"Aku tidur di kamar Hendro saja. Nggak pa-pa kok," kata Om Wi' kepada Ayah. "Lagi pula tanggung, barang bawaanku sudah kubongkar. Nanti malah repot kalau pindah ke kamar Aris. Hendro juga nggak usah pindah kamar. Nanti saya nggak ada yang nemenin ngobrol di kamar." lanjut Om Wi' sambil melihat ke arahku.
Ayah dan Ibu tidak dapat berbuat lain kecuali menuruti apa maunya Om Wi'. Aku sendiri tidak ada masalah. Toh Om Wi' bukan orang asing buatku. Aku memakluminya, apalagi kalau mengingat kedekatannya dengan kami dan memperlakukan anak-anak Ayah seperti anaknya sendiri.
Malam minggu itu aku keluar nonton dengan teman-teman dan pulang sekitar jam sebelas. Di ruang keluarga Ayah masih ngobrol dengan Om Wi'. Aku gabung sebentar dengan mereka dan menjelang setengah dua belas baru masuk kamar. Badanku rasanya capek dan langsung rebahan.
Entah berapa lama aku sempat terlelap, ketika kurasakan ada yang meluruskan kakiku agar posisi tidurku lebih enak. Aku terjaga dan duduk di pinggir ranjang. Om Wi' minta maaf telah membangunkanku. Aku sendiri tadi asal rebahan saja, 'lupa' kalau mulai malam ini aku harus 'berbagi' ranjang dengan dia.
"Ganti dulu pakaiannya, baru tidur," katanya mengingatkanku dengan gaya kebapakan.
Om Wi' sendiri rupanya sudah siap untuk tidur. Ia hanya berkaos oblong dan bercelana kolor saja. Lucu juga melihatnya berpenampilan begitu. Seperti 'bayi sehat', tepatnya 'anak mami'. Aku senyum-senyum saja melihatnya.
"Kenapa?" tanyanya kemudian sambil memperhatikan aku.
"Nggak pa-pa," sahutku enteng.
Selain merasa lucu, sebenarnya aku juga sempat bingung waktu Om Wi' menyuruhku ganti pakaian tadi. Bukan apa-apa, karena selama ini aku punya kebiasaan tidur hanya bercelana dalam saja. Bahkan tidak jarang aku tidur tanpa pakaian bila udara sedang panas.
"Hend, kamu jangan sampai terganggu sama Om lho. Atau, kamu risih tidur bareng Om?" seolah-olah ia tahu apa yang sedang menjadi pikiranku.
"Nggak sih. Cuma.., saya biasanya kalau tidur suka buka baju," kataku sambil nyengir. "Jangan-jangan malah Om Wi' yang risih."
"Ya, ampun! Kamu ini kayak sama siapa saja?" ia tertawa mendengar jawabanku. "Jangan sampai kedatangan Om mengganggu kebiasaanmu. Bahkan kalau mau tidur telanjang di depan Om juga nggak masalah kok." tawanya makin berderai-derai. Aku jadi ikut-ikutan.
Ya sudah, dengan sikap Om Wi' seperti itu aku pun akhirnya memutuskan untuk tidur dengan hanya bercelana dalam saja. Dan tanpa sungkan-sungkan, aku berbaring di sampingnya.
"Kenapa sih Om?," gantian aku yang bertanya ketika menyadari kalau Om Wi' terus memperhatikan aku.
"Kamu ini seperti si Dede," katanya sambil menyebut anak sulungnya.
"Apanya yang sama?" tanyaku.
"Semuanya. Tinggi besarnya, wajahnya, kebiasaannya. Semuanya!"
"Namanya juga masih saudara."
"Makanya. Lihat kamu, Om jadi ingat dia saja," katanya sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Om Wi' kalau di rumah tidurnya juga bareng seperti ini?"
"Ya nggak dong! Sejak Budemu meninggal, Om ya tidurnya sendiri. Anak-anak mana mau tidur sama bapaknya. Mereka kan punya kamar sendiri-sendiri. Apalagi mereka sekarang sudah dewasa."
Di akhir kalimatnya terdengar suara Om Wi' agak tercekat. Sejenak ia menatap langit-langit kamar. Dan, sekilas kutangkap ada yang basah di permukaan matanya. Aku menarik nafas.
"Om sedih ya?" tanyaku sambil berpaling ke arahnya.
Om Wi' menoleh tapi tidak menjawab. Cuma senyum saja. Ia kemudian menggeser tubuhnya ke arahku dan memelukku. Aku diam saja. Bahkan ketika ia mencium keningku. Perlakuan yang hangat seperti itu bagiku bukan sesuatu yang aneh.
"Tidur dulu ya." bisiknya hampir tidak terdengar.
Aku lalu mematikan lampu dan malam itu aku pun akhirnya terlelap tidur dalam pelukan Om Wi'.
Subuh-subuh, seperti kemarin, suara gerimis mulai terdengar turun. Membuatku makin malas untuk bangun. Untungnya sekarang hari Minggu, dan hari libur begini biasanya aku baru bangkit dari ranjang paling cepat jam delapan. Kulirik Om Wi' sudah tidak ada. Bapak-bapak biasanya memang bangun pagi-pagi. Mungkin kini ia sedang ngopi di luar sambil menikmati udara gerimis pagi ini.
Tiba-tiba pintu kamar mandiku terbuka dan Om Wi' keluar sambil menguap dan kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang.
"Kirain udah mandi." kataku sambil berguling menghadap ke arahnya.
"Hujan gini, dingin," katanya sambil bersedekap. "Nggak pa-pa 'kan malas-malasan dulu di kasur?" lanjutnya sambil tersenyum.
Udara memang menjadi agak dingin dari biasanya. Tapi Om Wi' tidak berusaha menarik selimutnya ke atas. Bagian bawah tubuhnya yang hanya bercelana pendek dibiarkan terbuka. Baru kali ini aku dapat memperhatikan kakinya. Pahanya gempal dan terlihat bersih meski ditumbuhi bulu-bulu hingga ke sekujur betisnya. Kakinya tampak masih kokoh. Kelihatan kalau ia suka olah raga.
Tiba-tiba badan Om Wi' berguling ke arahku dan kemudian memelukku. Tapi tidak seperti semalam, kali ini aku segera memutar punggungku dan membelakanginya. Bukan apa-apa, aku risih saja karena baru bangun tidur dan terutama karena kodrat kelelakianku di pagi hari, punyaku sedang tegang! Tapi ia tetap memelukku dari belakang. Lengannya melingkari bahuku dan mendekapku erat-erat.
Dari dulu Om Wijoyo orangnya memang kebapakan dan sering memperlakukan kami seperti anak sendiri. Tapi baru sekali ini aku dipeluk seperti anak kecil begini. Meskipun harus kuakui, aku merasa damai diperlakukan seperti sekarang ini.
"Dingin kan?" bisiknya.
Entah apa maksudnya. Aku terlalu sibuk dengan degup jantungku sendiri, takut ketahuan kalau aku lagi tegang. Mataku sempat terpejam, merasakan dekapan tangan Om Wi' yang kokoh itu. Sejenak kuberanikan diri memegangi lengannya yang melingkar di depan tubuhku itu. Terasa sekali bulu-bulu yang tumbuh di situ. Anehnya, bagian bawah tubuhku kurasakan masih tegang. Bahkan tambah keras saja. Barangkali pelukan Om Wi' di pagi yang dingin ini membuatku lebih nyaman.
"Kamu lagi 'berdiri' ya, Hend?" kata Om Wi' sambil memijit pinggangku.
Tentu saja aku kaget dan menggelinjang, membuat pantatku mendesak ke belakang dan menyentuh sebuah benjolan yang keras! Tadinya aku agak malu. Tapi mengamati sikap Om Wi' sejak kemarin di kamar pas, kemudian kejadian semalam dan sekarang ini, aku mencoba untuk menyikapinya dengan santai.
"Om, lagi 'berdiri' juga kan?" kataku sambil berusaha melepas pelukannya.
Tapi ia malah makin erat mendekapku dari belakang. Bahkan kini pahanya melingkar di pinggulku. Membuatku makin dapat merasakan tonjolan batang kemaluannya yang sedang tegang.
"Laki-laki kalau bangun pagi harus ereksi. Kalau nggak ya nggak normal," katanya mulai berteori tentang kesehatan.
Sejauh ini aku dan keluargaku sudah terbiasa dengan sikap Om Wijoyo yang selalu akrab dan hangat pada kami. Yang namanya memeluk, mendekap dan perilaku akrab lainnya selalu ia tunjukkan di depan kami tanpa sungkan-sungkan. Ia memang terkenal sebagai orang yang ramah, supel dan kekeluargaan. Lebih-lebih sejak istrinya meninggal. Ia menjadi semakin dekat dengan anak-anaknya, termasuk kepada kami keponakanannya. Itulah yang membuatku tidak terlalu heran dengan sikap Om Wi' pagi ini yang memelukku seolah aku guling teman tidurnya. Sepertinya ia sedang sentimentil. Apalagi menilik obrolan kami menjelang tidur semalam, tampaknya Om Wi' tengah gundah, terbawa emosi dan kenangan akan mendiang istrinya.
"Om..," kupanggil namanya karena tiba-tiba suasana menjadi sepi.
Yang kupanggil diam saja. Mungkin ia sudah tertidur lagi. Tapi tiba-tiba kurasakan wajahnya ditenggelamkan di bagian belakang kepalaku dan menciumi rambutku. Ada suara isakan lirih. Om Wi' rupanya menangis.
"Kenapa Om?" kataku sambil membalikkan badanku menghadapnya.
Kulihat mata Om Wi' sudah basah. Nampak sekali ia sedang sedih. Ia menangis, tapi tanpa suara. Tangis laki-laki. Dan aku menjadi trenyuh melihatnya.
"Kenapa sih, Om?" aku bertanya lagi. "Tadi barusan ngomongin masalah ereksi kok tiba-tiba jadi sedih begini," lanjutku dengan nada guyon untuk menetralisir suasana.
Yang kuajak bercanda hanya tersenyum. Dan matanya yang basah lalu diusapnya sendiri.
"Hendro pasti tahu, kenapa Om sedih," kalimatnya masih agak terbata. "Om sekarang merasa makin sendiri saja. Selama ini Om selalu mencurahkan semua kasih sayang untuk Dede dan adiknya. Segalanya. Tapi Om sadar, nggak mungkin bisa memiliki mereka selamanya. Mereka sudah gede, sudah mandiri dan sebentar lagi pasti mereka pada berkeluarga."
Aku diam saja mendengar penuturannya yang kelihatan sekali sangat emosional. Aku jadi punya pikiran, jangan-jangan Om Wi' datang ke sini memang untuk menghindari kesepian atau ingin mencari 'tempat' untuk berbagi rasa. Karena ia memang dekat sekali dengan keluarga kami dibandingkan dengan keluarga Ayah yang lain.
"Makanya, Om main ke sini. Biar Om bisa sedikit mengurangi rasa sepi," lanjutnya seolah-olah menjawab apa yang sedang kupikirkan.
Akhirnya Om Wi' bercerita bahwa sejak kematian istrinya, semua kasih sayang ia curahkan ke keluarganya yang tersisa. Padahal kalau mau, Om Wi' punya banyak kesempatan untuk nikah lagi. Apalagi ia orangnya baik, kaya dan ganteng. Tapi mungkin ia belum bisa melupakan kematian istrinya.
Meskipun Om Wijoyo dapat mencurahkan semua kasih dan sayangnya pada keluarganya, namun menurutnya ada satu hal yang tidak mungkin ia curahkan, masalah pribadi, masalah seks. Bahkan untuk membicarakannya saja rasanya tidak mungkin, meskipun mereka sudah dewasa.
"Tapi kalau sama kamu, mungkin Om malah bisa lebih bebas bicara masalah itu," katanya dengan emosi sudah mulai terkendali lagi.
Aku hanya dapat tersenyum saja mendengar penuturannya. Karena tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sendiri juga merasa tidak bebas bicara masalah seks dengan keluargaku.
"Hendro sudah punya pacar kan?" tanyanya.
Aku mengangguk, "Emang kenapa Om?"
"Seumur gini kamu sudah pantas kawin."
"Kawin apa nikah?"
"Hush..!" Om Wi' terbahak mendengar ucapanku. "Ah, kamu pasti sudah pernah..," kata Om Wi' lebih lanjut dengan nada tertentu.
Aku segera menggeleng untuk meyakinkan dia. Dan rupanya ia memang hanya mau menggodaku saja.
Tiba-tiba Om Wi' menanyakan apakah punyaku masih 'bangun'. Kini gantian aku yang ketawa. Karena punyaku sudah 'reda' dari tadi. Spontan aku melirik ke arah depan celana pendek Om Wi'. Dan ternyata ia masih tegang!
"Maklum, Om kan nggak pernah bisa bicara seperti ini. Jadi langsung terpengaruh," ujarnya seolah minta permaklumanku kenapa punyanya masih 'berdiri'.
"Atau, mungkin sudah lama nggak," godaku.
"Sok tahu! Kayak yang pernah ngerasain saja." sahutnya dengan nada kocak.
"Mendingan sekalian belum pernah, Om. Daripada sudah pernah terus tiba-tiba berhenti, katanya akan," kalimatku terpotong, karena aku merasa sedikit keceplosan.
Dan memang, kulihat Om Wi' diam menunduk begitu mendengar omonganku barusan.
"Maaf Om, saya."
"Nggak pa-pa! Memang begitulah kenyataannya."
Beberapa saat kemudian kulihat Om Wi' malah tersenyum, dan bertanya, "Mau bantuin Om nggak?"
Tapi aku tidak mengerti apa maksudnya. Baru ketika tangannya mengelus-elus bagian depan celananya, aku jadi faham. Tapi aku diam saja, tidak mengerti harus berbuat apa. Sampai akhirnya ia membimbing tanganku untuk memegangnya. Dan anehnya, aku menurut saja, meski masih dengan perasaan gundah.
"Nggak pa-pa kok. Ayo..!" rayunya sambil menggesekkan tanganku pada tonjolan di bagian depan celananya.
Dengan ragu-ragu tanganku pun mulai menggenggam. Semula agak aneh rasanya memegang punya sesama lelaki. Tetapi lama kelamaan aku terbiasa juga. Apalagi ini adalah 'permintaan tolong' dan Om-ku tampaknya 'welcome' saja.
Aku lalu mulai berani sedikit meremas. Om Wi' tersenyum melihat apa yang kulakukan. Dan ketika aku mulai meremas lagi ia pun lalu melepas tanganku seolah membiarkan aku untuk melanjutkan sendiri 'pekerjaan' itu. Ia kemudian berbaring berbantal kedua tangannya sendiri sambil memperhatikan apa yang kulakukan. Pelan-pelan aku pun mulai melakukannya tanpa rasa bersalah lagi. Aku tidak tahu apakah ini karena kedekatanku dengan Om Wi', atau karena ini pengalaman baru, atau karena memang aku mulai menikmati permainan ini.
Gerimis di luar telah berubah menjadi hujan. Di luar kamar masih sepi. Tampaknya keluargaku juga belum pada bangun, apalagi karena ini hari minggu.
Om Wijoyo mulai membimbingku untuk berbuat lebih jauh. Sejauh ini aku hanya meremas-remas batang kemaluannya yang masih tertutup celana pendek. Aku dapat merasakan bahwa Om Wi' ternyata tidak memakai celana dalam, membuat sentuhanku seperti tanpa halangan, kecuali kain tipis celana kolornya itu. Terasa sekali kemaluan Om Wi' telah mengeras.
"Buka saja, Hend..!" bisik Om Wi' terdengar agak serak.
Tapi aku tidak segera menuruti perintahnya. Aku hanya menelusupkan tanganku ke sela bawah celananya dan segera kutemukan sebuah benda bulat panjang yang padat, kenyal dan hangat. Kudengar Om Wi' mulai mendengus. Aku tersenyum melihat reaksinya. Entah kenapa tiba-tiba pagi ini aku menjadi keponakannya yang nakal.
Pelan-pelan aku mulai memilin-milin batang kemaluan Omku. Ia makin gelisah. Dan ketika gerakan tanganku menjadi sebuah kocokan ringan. Ia menggeliat dan mengerang tertahan.
"Buka saja, Hend..!" ia kembali memintaku.
Tapi aku tidak menggubrisnya dan tetap membiarkan tanganku bermain di dalam celana pendeknya. Meskipun dengan begitu aku hanya dapat menebak-nebak seberapa besar punya Omku, seperti apa bentuknya dan selebat apa rambut yang tumbuh di sana.
Erangan Om Wi' terdengar lagi ketika tanganku mencoba meremas kantong pelirnya. Melihat reaksinya itu, aku sengaja memperlama usapanku di sana karena ia tampaknya keenakan bila buah pelirnya itu kuusap-usap.
Tiba-tiba tangan Om Wi' terjulur ke bagian bawah tubuhku. Dan aku baru sadar ternyata milikku juga sudah tegang. Sentuhan tangan Om Wi' pada bagian celana dalamku makin membuat barangku mengeras. Anehnya, aku merasakan sebuah sensasi rasa nikmat yang selama ini belum pernah kurasakan.
Kebutuhan seksualku selama ini memang kupenuhi dengan cara onani saja. Meskipun dulu aku pernah mencoba main dengan pelacur, tapi aku tidak sempat menyelesaikannya karena takut penyakit. Dan sekarang, ini adalah pengalaman seksualku yang lain dan lebih jauh, dibandingkan kalau aku melakukannya sendiri.
Akhirnya Om Wi' lah yang justru melepas celana dalamku. Tadinya aku agak segan. Tapi ketika jari-jarinya mulai merangsang milikku, aku pun membiarkan ia menelanjangiku. Lalu ia sendiri kemudian memelorotkan celana pendeknya, merebahkan tubuhku dan langsung menindihku dalam satu gerakan cepat sebelum aku sempat menyadari semua yang dilakukan. Aku memalingkan wajahku ketika kurasakan dengus napas Om Wi' menerpa leherku. Mataku terpejam. Ini benar-benar pengalaman baru buatku. Masih aneh rasanya badanku ditindih oleh laki-laki, meskipun ia orang yang dekat denganku.
Dengan mata tertutup, aku merasakan tubuh Om Wi' mendesak-desak. Batang kemaluannya yang besar tegang itu sengaja digesek-gesekkan pada kemaluanku yang juga makin mengeras. Aku belum sempat melihat milik Om Wi' waktu ia mencopot celananya tadi. Tapi demi merasakan gesekannya, aku dapat membayangkan besarnya ukuran kemaluan Omku.
Entah sudah berapa lama Om Wi' 'naik-turun' dan bergoyang di atas tubuhku. Aku masih memejamkan mata, dan yang kudengar hanya desahan dan sesekali erangan yang tidak jelas dari mulutnya. Aku sendiri makin lama merasakan rasa nikmat ditindih seperti itu. Bahkan aku mulai merespon gerakannya dengan memutar pinggul dan sesekali menyentakkan pantatku ke atas. Menyadari reaksiku, Om Wi' makin bersemangat menggesekku.
Ketika rasa nikmat makin menjalar ke seluruh tubuhku, kuberanikan diri membuka mata dan kulihat ia sudah tidak memakai kaos oblong lagi. Omku sudah telanjang bulat! Wajahnya basah oleh keringat. Beberapa titik air tampak membasahi kumisnya. Matanya sayu tapi penuh nafsu dan mulutnya terbuka terengah-engah. Tampak sekali ia sedang meresapi rasa nikmat yang mungkin selama ini terhalang untuk disalurkan. Matanya terus menatapku tanpa mengurangi gerakan dan goyangan tubuhnya di bawah sana. Kuberanikan diri untuk memeluknya dan ia menurut saja ketika wajahnya kubenamkan di leherku. Malah ia mulai menciumi daerah di sekitar leher dan dadaku. Membuatku kegelian.
"Jepit ya.. Hend..!" desah Om Wi' tiba-tiba sambil mengarahkan batang kemaluannya ke sela pahaku.
Dan aku pun paham akan maksudnya. Aku pun lalu mencoba mempermudah gerakannya dengan membuka sedikit pahaku. Ia langsung menyodok dan menusuk-nusuk selangkanganku. Terasa sekali gesekan benda bulat panjang yang terselip di pahaku. Ternyata rasanya enak, agak mengganjal dan geli. Sejauh ini gerakan Om Wi' tampaknya lancar-lancar saja. Mungkin karena bagian bawah tubuh kami sudah basah oleh keringat, atau mungkin karena Om Wi' sudah berpengalaman menusuk 'lubang'.
Inilah mungkin 'permintaan tolong' yang ia maksudkan. Ia ingin memasuki sebuah lubang dan butuh 'jepitan'. Dan kini setelah mendapatkannya, ia mulai melakukan gerakan senggama di atas tubuhku, memperlakukan aku layaknya 'istri'-nya. Entah berapa puluh kali ia menjejal-jejalkan batang dan kepala kemaluannya di celah pahaku. Gerakannya kadang lembut, kadang kasar dan sesekali disertai dengan sentakan yang kuat. Kulihat bukit pantatnya yang bulat padat itu bergerak naik turun, bagaikan gerakan lumba-lumba di atas permukaan air.
Akhirnya datanglah puncak birahi Om Wi', setelah sebelumnya ia memelukku erat-erat, mengerang dan membenamkan wajahnya di leherku dengan penuh nafsu. Sejenak kemudian tusukannya menjadi sangat dalam dan kuat. Membuatku agak kewalahan. Apalagi badannya yang gempal itu menindihku dengan tekanan yang lebih kuat dari sebelumnya. Sekilas aku dapat merasakan paha dan pantatku tersiram air hangat dan licin, dalam beberapa semprotan. Aku berusaha menjepitnya lebih ketat, tapi licinnya cairan maninya malah membuat pantat Om Wi' makin lancar bergerak naik turun.
Beberapa saat kemudian gerakan itu makin lama makin pelan, lalu berhenti disertai deru napasnya yang panas di leherku. Suara 'ooh' yang panjang terdengar berkali-kali dari mulutnya. Tubuhnya lalu berguling dan rebah di samping kiriku. Kulihat matanya terpejam dan napasnya satu-satu. Kuamati batang kemaluannya masih setengah tegang dan berlepotan cairan putih kental miliknya sendiri. Sementara kemaluanku masih berdiri penuh dan agak basah.
Beberapa saat kemudian aku duduk di pinggir ranjang, kuraih punyaku dan kukocok sendiri untuk menuntaskan kenikmatan yang tadi sempat mendesak-desak.
"Hend..," tiba-tiba Om Wi' bangun dari telentangnya dan langsung menggenggam punyaku.
Ia lalu mengocoknya pelan-pelan dan menyuruhku agar berbaring kembali.
"Gantian..," katanya dengan mimik lucu sambil tangannya terus merangsangku dengan berbagai cara.
Kurasakan ia mengusap sela pahaku yang tadi berlumuran spermanya dan lalu mengusapkannya ke sekujur batang kemaluanku sebagai pelicin, dan tentu saja membuatku nikmat kegelian. Darahku terasa berdesir-desir. Terutama di sekitar selangkangan. Ada desakan yang makin lama makin sulit kuatasi.
"Enak..?" tanyanya sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk. Aku tidak dapat berkata-kata lagi. Rasanya pikiranku mulai tegang dan hanya berkosentrasi pada rasa nikmat yang diciptakan oleh gerakan tangan Om Wi' di bawah sana. Tidak jarang perbuatannya membuatku menggelinjang dan mengeluh-ngeluh menyebut namanya. Tapi yang punya nama tidak perduli dan terus membuatku gelisah dengan pilinan tangannya di sekujur batangku. Hujan di luar masih deras. Bahkan sesekali terdengar gemuruh. Sementara di kamar ini yang terdengar hanya dengusan nafasku yang diakibatkan oleh perbuatan Omku.
Akhirnya orgasmeku datang tidak terkendali. Dan Om Wi' pun makin memperkuat kocokannya dan terus memilin-milin otot vitalku, begitu tahu aku akan keluar. Lumuran spermanya yang licin tadi telah membantunya mempercepat gerakan tangannya. Dan pertahananku pun akhirnya bobol. Air maniku pun muncrat! Entah dalam berapa kali semprotan. Badanku tersengal-sengal, lebih-lebih tangan Om Wi' bukannya berhenti, tapi malah terus meremas dan meremas. Kenikmatan yang kurasakan sangat intens sekali. Sampai akhirnya aku tidak kuat menanggungnya lebih jauh lagi.
Aku lalu berusaha telungkup untuk menghindari agar Om Wi' tidak terus merangsangku. Karena batang kemaluanku menjadi sangat sensitif sekali. Dia lalu menindih dan memeluk tubuhku yang telungkup dari belakang. Dapat kurasakan batang kemaluannya menempel di bukit pantatku. Ada beberapa saat kami dalam posisi seperti itu. Cukup lama wajahnya menempel di punggungku. Sesekali kurasakan tangannya mengusap keringat di bahuku. Aku diam saja, tidak bereaksi apa-apa.
"Hend.., kamu marah ya?" ia berbisik di telingaku. Aku diam.
"Om minta maaf ya..," lanjutnya kemudian.
Aku masih diam. Dan beberapa saat kemudian dia akhirnya juga diam tidak berbicara lagi. Aku lalu membalikkan tubuhku dan berhadapan dengannya. Kulihat mata Om Wi' agak kuyu dan penuh dengan pertanyaan. Sepertinya ada rasa bersalah sedang berkecamuk dalam pikirannya. Aku berusaha tersenyum untuk mencairkan semuanya.
"Nggak pa-pa kok, Om. Toh kita sama-sama menikmatinya kan?" tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja.
Aku sendiri heran kok aku dapat bicara seperti itu. Om Wi' sampai memegangi tanganku seperti ingin meyakinkan apa yang baru saja kuucapkan. Dan herannya lagi, aku mengangguk meyakinkannya. Tangannya lalu merengkuhku dan mendekapku seperti biasanya. Tapi bagiku pelukan itu sekarang terasa lain.
Ini memang sebuah pengalaman baru dan 'aneh'. Tapi terus terang aku tadi dapat menikmatinya. Mungkin karena kami sudah cukup dekat, atau mungkin Om Wi' tadi dapat memperlakukan aku sedemikian rupa sehingga aku dapat menikmatinya, atau? Entahlah. Mungkin kalau bukan dengan Om Wi' akan lain ceritanya.
Sejauh ini pengalamanku yang agak berbau 'seks' dengan laki-laki hanya sebatas saling lihat-lihatan ketika mandi bareng dengan teman-teman sewaktu piknik atau saling guyon-guyonan saja. Memang, selain cewek-cewek, ada beberapa laki-laki, tentu saja gay, yang naksir aku, baik secara diam-diam atau terang-terangan. Hanya saja, kebanyakan mereka risih, dan membuatku jengah. Tapi peristiwa dengan Om Wi' tadi, kenapa aku dapat terhanyut? Apakah karena ia Om-ku? Apakah karena ia baik? Atau karena ia gagah, ganteng dan bersih? Apakah aku sudah tertarik dengan Om Wijoyo, ataukah dia yang tertarik padaku? Atau..?
"Mandi yuk..!" suara Om Wi' mengagetkan aku.
Aku masih diam saja. Jelas sekali ia mengajakku mandi bersama. Aku bingung. Terus terang kini aku merasa bahwa Om Wi' seperti bukan Pakde-ku lagi. Ia bagaikan orang lain, tetapi dengan kedekatan yang lebih dibandingkan sebelumnya.
Tanpa menunggu jawabanku, tangan Om Wi' kemudian menggelandangku ke arah kamar mandi. Kemudian kami pun mandi berdua, tepatnya ia memandikan aku seperti seorang ayah memandikan anaknya. Dan selama itu sulit bagiku untuk menghindari sentuhannya pada bagian tertentu tubuhku. Aku sendiri melihat kemaluan Om Wi' pelan-pelan mulai bangun lagi. Baru kali ini aku punya kesempatan mengamati lebih jelas tubuhnya dalam kondisi tanpa penutup apapun. Ia memang gagah, tegap dan yang paling menarik adalah ukuran dan bentuk 'meriam'-nya. Besar dan padat. Dadanya bidang, padat tapi tidak berbulu, kecuali sedikit di bagian putingnya. Bulu itu justru tumbuh lebat di bagian pusar hingga ke bawah perutnya. Dan meskipun perutnya sedikit agak buncit, tetapi tetap terlihat proporsional dengan badannya.
Konsentrasiku buyar ketika kurasakan tangan Om Wi' meremas milikku dengan sabun. Aku kegelian dan berusaha menghindari tindakannya lebih lanjut. Tapi ia terus mendesak sampai tubuhku merapat di dinding kamar mandi, membuat wajah kami kini saling berhadapan, dekat sekali. Ia menatapku dengan pandangan dan senyum yang sulit kuartikan. Sementara tangannya di bawah sana terus meremas-remas. Aku diam saja menunggu apa maunya. Nafas kami telah beradu. Dan sesaat kemudian, entah siapa yang mulai, bibir kami bertemu.
Sejauh ini Om Wi' memang biasa mencium kami, entah di kening atau pipi. Tapi kali ini, ia mencium bibirku. Dan ini bukan ciuman kasih sayang. Aku lebih merasakannya sebagai ciuman birahi, penuh nafsu. Lidahnya menjulur dan bermain-main dalam mulutku. Dan anehnya, aku merespon semua itu. Maka akhirnya kami pun tenggelam dalam ciuman yang makin lama membuat birahiku bangkit kembali. Inilah yang membuatku tidak dapat menolak, ketika Om-ku yang ganteng itu pelan-pelan merayap ke bawah dan melahap penisku yang sudah tegang membesar.
Oh, inikah yang disebut oral seks itu? Ada sensasi yang sulit untuk kugambarkan. Hisapan dan gerakan lidah Om Wijoyo di bawah sana menciptakan rasa nikmat yang belum pernah kurasakan. Aku tidak sempat berpikir lagi dari mana dan mengapa Om Wi' dapat melakukan perbuatan itu. Dan aku makin tidak mampu berpikir lagi ketika tiba-tiba tangan kanannya merayap ke belakang, ke bongkahan pantatku dan meremasnya. Lalu pelan-pelan tangan itu menelusuri garis tengah pantatku dan salah satu jarinya mulai menelusup ke celahnya. Semula aku sempat tersentak kaget. Tetapi sebuah kenikmatan yang aneh tiba-tiba menyebar di bagian bawah tubuhku dan tanpa sadar aku melenguh keenakan. Bahkan tanpa kusadari, kedua pahaku pelan-pelan meregang seiring dengan rangsangan tangan Om Wijoyo di celah belakang tubuhku.
"Oommhh.. Omm..!" rintihanku bergema di dinding kamar mandi.
Aku tidak perduli lagi seandainya suaraku sampai terdengar orang lain. Om Wijoyo pun tampaknya juga tidak perduli dengan rintihanku itu. Ia masih terus mengelamuti batang kemaluanku seperti orang kehausan tengah menikmati es lilin. Sementara di sisi lain jari-jari tangannya makin nakal menelusuri lubang kecil di celah pantatku.
Entah sudah berapa menit aku bersandar sambil menggeliat-geliat di dinding kamar mandi karena ulah Om Wi'. Dan ketika aku merasakan sebentar lagi mau mencapai puncak, tiba-tiba ia menghentikan semuanya dan kembali berdiri menghadapku. Kulihat kumisnya berlepotan air liurnya sendiri. Matanya sayu dan nafasnya agak ngos-ngosan. Batang kemaluannya tampak mengacung tegak di depan milikku yang meradang butuh penuntasan. Lucu rasanya membandingkan kedua benda bulat panjang itu. Entah punya siapa yang lebih besar, sulit membandingkannya karena bentuknya yang berbeda. Bagian kepala kemaluanku berukuran lebih besar, sedangkan milik Om Wi' batangnya lah yang terlihat lebih padat. Rambut kemaluannya juga tampak lebih lebat dibandingkan punyaku.
"Hend..," suaranya tiba-tiba berubah tegas. "Kamu harus bisa jaga rahasia ini."
"Kok, Om nanya begitu?" aku agak tersinggung dengan ucapannya.
"Karena Om yang mulai ini semua. Dan Om telah.." ia tak melanjutkan, tetapi memberi isyarat bahwa ia baru saja melakukan oral seks padaku.
"Kok nggak diterusin?" sahutku agak nakal.
Padahal aku sebenarnya nervous sekali dengan hisapan mulutnya tadi.
"Kamu menikmatinya?" tanyanya.
Aku mengangguk, sok yakin.
"Emang kenapa Om?" gantian aku bertanya.
"Oh, nggak. Nggak pa-pa," jawabnya membuatku penasaran. Tapi aku tidak bertanya lagi.
"Kita selesaikan mandinya dulu ya. Nanti Om cerita banyak sama kamu," katanya kemudian.
Dan kami pun lalu mandi. Kali ini benar-benar mandi. Tanpa acara yang 'aneh-aneh'.
Siangnya Om Wi' mengajakku jalan-jalan. Putar-putar kota. Padahal ia hanya bermaksud mengajakku ngobrol. Sepertinya ada sesuatu yang harus ia sampaikan padaku. Dan kami akhirnya memilih sebuah kafe yang terletak agak di pinggir kota. Semua yang diceritakan Om Wijoyo adalah mengenai sisi lain dari kehidupannya selama ini. Kalau saja tidak terjadi peristiwa antara aku dan ia tadi pagi, mungkin aku akan kaget mendengar penuturannya.
Om Wijoyo ternyata seorang biseks. Tapi ia jarang, bahkan sangat jarang, berhubungan dengan laki-laki. Apalagi sejak ia menikah. Katanya, pengalamannya dengan laki-laki dapat dihitung dengan jari tangan. Tidak lebih dari sepuluh kali seumur hidupnya. Namun sepeninggal istrinya, Om Wi' merasa kesepian sehingga kenangan serta kesempatan berhubungan dengan laki-laki kembali mengganggunya.
Siang itu aku hanya jadi pendengar. Aku tidak mencoba untuk berkomentar atau bertanya. Karena aku sendiri akhirnya jadi mempertanyakan tentang orientasi seksualku. Sejauh ini aku merasa wajar-wajar saja, meskipun aku bukan termasuk orang yang menghujat hubungan sejenis. Tapi belum pernah aku terlibat atau melibatkan diri dalam lingkungan seperti itu, hingga kejadian tadi pagi. Dan anehnya, aku tidak merasa bersalah, bahkan cenderung menikmatinya. Kalau pun ada ganjalan, itu lebih karena aku melakukannya dengan Om-ku sendiri.
Tapi sekarang, demi menyimak ceritanya Om Wijoyo, aku justru semakin dapat menerima ia apa adanya. Karena semuanya bukan tanpa sebab dan alasan yang tidak jelas. Om Wi' menceritakan semua permasalahannya padaku. Dan aku percaya padanya. Bukan saja karena ia memang orang yang dapat dipercaya, tapi sepertinya baru kali inilah ia bisa curhat habis-habisan dengan orang lain tentang sisi lain dari kehidupannya.
"Ya baru dengan Hendro inilah Om bisa bicara semua," katanya mengakhiri ceritanya sambil menghela nafas.
Sepertinya ada kelegaan yang mendalam setelah ia mengatakan semua itu. Aku sendiri sekarang jadi kebingungan. Di satu sisi aku masih gamang karena belum mengenal jauh tentang dunia itu. Di sisi lain, sepertinya aku tiba-tiba mulai simpati pada Omku dengan perasaan simpati yang lain. Aneh. Rasanya aku sendiri tidak yakin dapat menolak bila ia kembali mengajakku untuk 'bermain-main'. Ada dua kekuatan yang saling menarik. Dan aku tidak tahu harus bersikap bagaimana.
"Sudah?" itulah kalimat terakhir yang diucapkan Om Wi' sebelum kami meneruskan acara jalan-jalan.
Terus terang, sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Sementara Om Wi' menawarkan diri untuk gantian menyetir mobil. Entah berapa kali ia melirik ke arahku. Tapi aku tetap diam saja, menatap lurus jalanan di depan.
"Sekarang terserah kamu Hend," ia mulai bicara ketika kami berhenti di perempatan lampu merah. "Terserah kamu ingin menilai Om seperti apa."
"Rasanya saya nggak berhak memberi penilaian pada Om," sahutku datar.
"Ya. Tapi masalahnya Om sudah melibatkan kamu. Dan, terus terang, Om suka sama kamu Hend..," suaranya agak tersendat, bukan karena mobil kami mulai jalan lagi, tapi karena emosinya mulai bergejolak.
"Kami semua juga suka sama Om Wi'. Saya juga. Cuma..," aku menelan ludah.
"Maaf ya. Om Wi' sudah mengajakmu berbuat yang nggak-nggak," wajahnya terlihat agak sendu.
"Bukan begitu maksud saya," kataku cepat-cepat. "Saya hanya perlu waktu," lanjutku sambil menatap ke arahnya.
Yang kutatap tidak bergeming. Matanya lurus ke depan dan tangannya terlihat agak tegang memegang setir mobil. Aku lalu memegang dan menepuk-nepuk pahanya untuk menenangkan emosinya. Kutawarkan ia untuk nonton saja, biar kejadian siang ini menjadi cair. Dan ia menyetujui. Namun ia sepertinya masih nervous. Karena sepanjang film diputar, Om Wi' terus menggenggam tanganku, seolah tidak mau melepaskan aku dari sisinya.
Kami kembali ke rumah sekitar jam tujuh malam. Sehabis nonton tadi, kami langsung cari makan di warung tenda dulu. Anehnya, selama makan Om Wi' sudah mulai 'stabil' lagi. Ia mulai bercerita banyak seperti biasanya. Tertawa dan terus melepas plesetan-plesetan khas orang Yogya.
Ibu agak ribut karena kami sudah makan di luar. Padahal di rumah sudah disediakan makan malam kesukaan Omku. Tapi bukan Om Wijoyo kalau tidak berusaha menyenangkan semua orang. Ia pun tetap ikut ketika kami sekeluarga makan malam, sekedar mencicipi masakan Ibu. Aku sendiri malah tidak ikut acara makan malam itu, karena tadi sudah kenyang. Ayah kemudian memintaku untuk menjemput Bayu adik bungsuku yang sedang ikut opspek. Sekitar jam sepuluh aku sudah sampai rumah lagi.
Ketika masuk kamar, kulihat Om Wi' terbaring miring membelakangi pintu masuk. Entah ia sudah terlelap atau belum. Ia tampak berbaring memakai sarungku yang kemarin kusampirkan di sandaran kursi. Sejenak aku hanya dapat memandangi punggungnya. Ada sedikit keringat membasahi kaosnya. Aku kemudian menuju ke kamar mandi.
Ketika urusanku di kamar mandi selesai, kulihat ia masih terbaring seperti tadi. Rupanya ia sudah tidur. Dan aku pun lalu bersiap untuk istirahat juga. Sejenak kulirik kembali Om Wi' sebelum aku berbaring di sampingnya. Kulihat keringat makin banyak membasahi kaosnya terutama di bagian punggung. Padahal udara malam ini tidak sedang gerah. Atau aku saja yang tidak merasa kegerahan, karena saat ini, seperti biasanya, aku tidur hanya bercelana dalam saja. Atau, jangan-jangan Om Wi' sakit?
Kugeser badanku ke arahnya dan kutengok wajahnya. Gerakanku rupanya membuatnya terjaga. Aku jadi tidak enak sendiri.
"Ada apa, Hend?" sambil badannya berbalik menghadapku.
"Ehm, nggak," aku jadi serba salah. "Punggung Om Wi' basah. Kegerahan apa..?" kataku sambil memegang dahinya apakah terasa panas.
Yang kupegang malah senyum. Dan memang suhu badannya kurasakan normal.
"Om cuma kepanasan saja kok," ujarnya sambil menepuk bahuku dan beranjak duduk. Lalu menguap.
"Maaf ya Om, tidurnya jadi terganggu," kataku.
"Justru kalau nggak kamu bangunin, Om bisa masuk angin karena punggung yang basah begini," sahutnya mulai berteori tentang kesehatan sambil menarik lepas kaosnya ke atas, lalu berdiri dan menuju kamar mandi.
Tiba-tiba sebuah perasaan aneh menjalariku, ketika melihat sosok Om Wijoyo yang melenggang ke kamar mandi. Dari arah belakang, tubuhnya yang hanya berbalut sarung itu terlihat lebih gagah dan sexy! Punggung yang putih itu terlihat bidang dan kokoh. Pinggangnya meskipun tidak ramping lagi, tapi tetap berbentuk. Dan dari balik sarung, bongkahan pantatnya tampak bulat menonjol dan padat. Tidak dapat kupungkiri lagi, malam ini ada sebuah magnet yang membuatku terjerat oleh pesona Om Wijoyo.
Dan orang yang tengah memenuhi pikiranku itu tiba-tiba sudah kembali berbaring di ranjang. Tepat di sebelahku. Tangannya langsung terulur, memeluk dan mendekapku. Aku menutup mata dan menarik napas. Tidak ada ucapan apapun yang keluar dari mulut kami. Hanya dengus napas ringan di antara kami berdua. Dan dengusan itu lama-lama menjadi agak berat, seiring dengan degupan yang dapat saling kami rasakan dalam posisi berdekapan seperti itu.
Ketika aku mencoba membuka mata, tiba-tiba wajahnya menutupi wajahku dan sebuah sentuhan mengenai bibirku, membuatku kembali memejam. Sentuhan itu kemudian menjadi sebuah lumatan. Dan lumatan itu menjadi sebuah ciuman yang mengantarku pada hasrat birahi yang menuntut untuk dipenuhi. Apalagi ketika kurasakan tangan Om Wi' sudah menelusup masuk di sela karet celana dalamku. Dan mulai meremas-remas di sana.
Aku pun terpengaruh oleh ulahnya. Kujulurkan tanganku untuk melepas simpul sarungnya. Dan ketika tanganku merogoh ke dalam, dapat kurasakan bahwa Omku tidak memakai apa-apa lagi di balik sarungnya. Maka kuremas semua yang dapat kuremas. Kupilin-pilin layaknya mainan yang terbuat dari karet.
Tangan Om Wi' lalu mencoba merebahkan tubuhku dari pelukannya. Kemudian dengan tanpa meminta ijinku lagi, ditariknya celana dalamku ke bawah. Dan mulutnya langsung menyergap. Membuatku terhenyak karena tidak siap dengan serangannya itu. Sesaat kemudian aku hanya dapat merintih dan memegangi kepalanya yang tenggelam di bawah perutku. Tangan Om Wi' dengan sengaja mencengkeram kuat pangkal kemaluanku, sehingga membuat batang dan kepala penisku makin mengeras, dan menyebabkan bagian itu makin sensitif ketika dihisap.
Malam ini aku pasrah. Aku pasrah dengan apa yang akan dilakukan Om Wi' padaku. Beberapa penggalan ceritanya tadi siang mulai berloncatan kembali dalam ingatanku. Mulai dari pengalaman oral hingga anal seks. Akankah ia memberiku pengalaman itu malam ini?
Pertanyaanku terputus oleh sebuah benda lembut dan basah yang tiba-tiba menyerang tulang periniumku, bagian padat yang ada di bawah kantong pelir. Benda basah itu lalu meluncur dan menjilat-jilat ke bawah dan berakhir di celah bawah tubuhku. Rasa geli langsung menjalar ke seluruh syarafku. Membuat tubuhku melenting dan menimbulkan teriakan yang tidak dapat lagi kutahan. Air mataku sampai keluar merasakan kenikmatan yang tidak terperi ini. Oohh..!
Tangan Om Wi' berusaha menggapai ke atas untuk menutup mulutku agar tidak berteriak. Tapi aku malah melahap tangan itu dan kuhisap jari-jarinya dengan penuh nafsu. Dalam bayanganku aku terasa menghisap punya Om Wijoyo. Dan inilah yang kemudian memberiku inspirasi untuk berbuat lebih jauh padanya.
Kudorong kepala Om Wi' untuk menyudahi kegiatannya di bawah dan kemudian ia berguling lalu telentang di sampingku. Entah sejak kapan sarungnya mulai terlepas. Yang kutahu kini di hadapanku tubuhnya sudah telanjang total. Dan segera kugenggam batang kemaluannya yang tegang membesar itu. Benar-benar besar. Tanganku terasa penuh menggenggamnya. Lalu tanpa sungkan-sungkan lagi mulutku mulai melahap.
Inilah oral seks pertamaku! Not bad! Dan kini aku bagai seorang keponakan yang tengah menikmati es lilin yang diberikan oleh Omnya. Sekujur benda bulat panjang itu tidak sesenti pun luput dari hisapan dan lumatanku. Beberapa otot kulihat menyembul dan melingkar pada batang kemaluan itu. Membuatnya terlihat kokoh dan, tiba-tiba dalam satu gerakan cepat, Om Wi' memutar tubuhnya dan ah..! Ia mengarahkanku untuk bermain dalam posisi yang selama ini hanya dapat kunikmati dalam film porno, sixty nine! Sebuah posisi yang sangat sensual dalam permainan seks. Dan kini, malam ini aku menjalani permainan itu di bawah bimbingan Omku.
Dalam posisi merangkak, aku dapat dengan leluasa menikmati batang kemaluan Om Wi'. Bagian kepalanya yang membulat licin tampak semakin mengkilap oleh ludah dan air liurku yang entah sudah berapa kali terjilat ke sana. Lubang kecil di ujungnya merembes air bening, precum yang terasa asin dan agak lengket. Jumlahnya cukup banyak untuk ukuran precum. Barangkali ia sedang di puncak nafsunya. Atau barangkali karena kuatnya rangsangan mulut yang kuberikan.
Aku sendiri sesekali harus melepas kulumanku, karena konsentrasiku terganggu oleh mulut Om Wi' di bawah sana. Ia tidak hanya menelan batang kemaluanku, tapi juga menjilat dan mengulumi kedua 'telor'-ku, bergantian. Lidahnya yang tebal dan agak kasar itu terasa sekali geserannya, sesekali ditimpali dengan tusukan-tusukan tidak sengaja dari bulu kumisnya. Membuatku merinding karena rasa geli-nikmat yang ditimbulkannya.
Akhirnya konsentrasiku untuk oral seks benar-benar buyar ketika mulut dan lidah Om Wi' mulai merambah sela pantatku. Aku masih dalam posisi merangkak, tapi kepalaku sekarang mendongak demi merasakan apa yang dilakukan lidah dan mulutnya di bawah sana. Aku tidak dapat menceritakan di sini, betapa alat pelepasanku ternyata sangat sensitif dan menimbulkan rasa sangat nikmat bahkan oleh sentuhan lembut sebuah lidah. Aku tidak dapat membayangkan bila yang melakukan adalah sesuatu yang lebih dari sebuah lidah. Inilah 'pelajaran' ke sekian yang diajarkan Om Wi' dalam waktu tidak kurang dari dua puluh empat jam ini. Dan aku memastikan bahwa ia akan memberiku pelajaran baru berikutnya, dan kurasa dengan senang hati aku akan menerimanya.
Ketika dirasa aku sudah siap untuk menerima pelajaran berikutnya, Om Wi' dengan lembut membaringkan tubuhku telentang. Sejenak ia menatapku sebelum menyampaikan sebuah tawaran apakah aku mau 'dimasukinya'. Aku diam, tidak mengatakan apa-apa, tapi aku yakin, dengan sorot mataku Om Wi' dapat menangkap bahwa aku tidak menolak tawaran itu. Maka ia mulai melipat kakiku ke atas sehingga pahaku terkuak cukup lebar dan ia mengarahkan 'meriam' kecilnya ke sana.
"Kalau sakit, bilang..," katanya setengah berbisik sambil tangannya mulai menggelitik dan melumasi celah pantatku dengan air liurnya.
Dan ternyata, aku memang merasa kesakitan ketika Om Wi' melakukan penetrasi. Sebenarnya aku tadi masih sempat merasakan nikmatnya sentuhannya ketika bagian kepalanya mulai menembus. Namun ketika bagian batangnya mulai menelusup, aku merasakan rasa nyeri.
"Sakit Om..," bisikku hampir tidak terdengar.
Dan ia langsung menghentikan tusukannya.
Om Wi' lalu mencabut kepala kemaluannya dan langsung memelukku, seolah ingin meredakan rasa nyeri yang baru saja kurasakan.
"Ya sudah, kalau kamu belum siap. Nggak pa-pa.." sambil menciumi pipiku.
"Sorry, Om," aku merasa kasihan dengan keinginannya yang tidak terpenuhi.
"It's OK," sahutnya sambil menggulingkan badannya sehingga kini aku berada di atasnya.
Untuk beberapa saat kami terdiam saling pandang.
Lalu, "Hendro mau mencoba..?" tanyanya kemudian sambil membelai kepalaku.
Aku agak kurang paham dengan maksudnya. Tetapi ketika ia memberiku isyarat tertentu, aku mengerti apa yang ia tawarkan padaku, aku diminta untuk 'menidurinya'!
Dari cerita Om Wi' tadi siang, ia memang pernah punya pengalaman tidak hanya 'meniduri' pria, tetapi juga 'ditiduri'. Sebenarnya sulit bagiku membayangkan lelaki gagah seperti dia ditiduri oleh sesama lelaki. Apalagi kini ia meminta aku yang melakukannya.
"Gimana? Belum siap juga?" tanyanya lebih lanjut ketika melihatku diam tidak menjawab.
Aku tidak tahu apakah ini juga bagian dari 'permintaan tolong'-nya ataukah ia ingin memberiku pelajaran baru lainnya. Tapi bagaimana pun tawaran itu memang sulit untuk kutolak. Lebih-lebih dalam kondisi seperti malam ini yang penuh dengan atmosfir birahi. Dan aku toh memang sudah 'jatuh cinta' dengan Omku sendiri.
Tawaran Om Wi' tidak kujawab dengan kata-kata, tetapi dengan sebuah ciuman. Ia membalas. Dan kami pun lalu bergumul dengan penuh nafsu. Om Wi' berusaha untuk memposisikan dirinya untuk selalu berada di bawah. Kedua kakinya yang kokoh itu terus membelit dan menjepit pinggulku. Seolah ingin agar aku terus menindihnya.
Om Wi' lalu memintaku untuk merangsang celah pantatnya. Dan tanpa dikomando untuk kedua kalinya, aku menelusupkan jariku ke sana dan mulai merangsangnya dengan bantuan ludahku sendiri. Terasa celah itu memang lebih lentur meskipun aku tidak yakin apakah ukurannya cukup untuk 'ditembus'. Om Wi' sendiri tampaknya masih merasa perlu dipersiapkan, mengingat ia memang sudah lama tidak pernah melakukan itu.
"Pakai jari tengah..," ia terus menuntunku dengan setengah berbisik, sementara tangannya kulihat mulai mengocok-ngocok penisnya sendiri.
Nada suaranya menunjukkan kalau ia sedang menahan gejolak. Ia menahan napas ketika jari tengahku mulai menelusup memasuki liangnya. Mulutnya meringis ketika jariku mulai bergerak memutar dan menggelitik dinding liang yang lembut dan mulai melentur itu. Dalam posisi telentang dan kedua lutut menekuk, ia mulai menggerak-gerakkan pantatnya mengikuti arah gerak jari tengahku. Sementara kedua pahanya makin lama terpentang makin lebar.
Ada beberapa menit aku melakukan rangsangan, dan kemudian, "Masukin sekarang Hend..!" kalimatnya terdengar serak menahan birahi yang sudah memuncak.
Dan aku menuruti kemauannya dengan mulai mengambil posisi berlutut di tengah bentangan kakinya. Pelan-pelan kuangkat dan kudorong pahanya ke depan, sehingga celahnya tepat berada di depan moncong 'meriam'-ku. Lalu kuarahkan senjataku dan pelan-pelan aku mulai menekan. Om Wi' membalasnya dengan menaikkan pantatnya lebih tinggi, seolah tidak sabar ingin segera 'melahap'.
Sementara aku terus memberi tekanan dan kukombinasikan dengan gerakan mengulir, sehingga secara perlahan tapi pasti kepala kemaluanku mulai menembus gerbang kenikmatannya. Dan ia semakin bernafsu untuk membantu usahaku dengan menggoyangkan pinggulnya seolah ingin menyedot yang masih tersisa. Sejenak aku merasakan syaraf kepala kemaluanku berdesir-desir oleh jepitan liang yang lembut dan hangat. Mulut Om Wi' pun kulihat mulai mendengus menikmati tusukan perdana itu. Sejauh ini ia tidak menampakkan kesakitan. Maka aku pun lalu melanjutkan 'pengeboran'-ku dengan konsentrasi penuh.
Dan ketika sepertiga batangku sudah mulai menelusup masuk, Om Wi' mulai sedikit meringis kesakitan. Tetapi ia melarangku ketika aku ingin menariknya keluar.
"Terusshh..," desahnya menyemangatiku.
Dan aku kembali memberi tekanan. Kali ini agak kuat, sambil sesekali bergerak memutar, mengulir, dan akhirnya amblaslah seluruh batangku ke liang pelepasan milik lelaki yang selama ini kupanggil Om. Ringis kesakitan di mulutnya kini telah berubah menjadi senyum kepuasan, karena ia telah berhasil 'menelan' semua punyaku.
Ada beberapa saat kami diam tidak bergerak, menikmati penyatuan yang baru pertama kali terjadi. Kurasakan batang kemaluanku seperti digenggam dan dipijat-pijat oleh tangan sutra yang lembut dan hangat. Ada rasa geli yang amat sangat sehingga kerap membuat badanku bergidik. Apalagi Om Wi' pelan-pelan mulai menggerakkan otot cincinnya, membuat batangku terpijat-pijat keenakan. Ada beberapa saat kami saling mengatur napas masing-masing untuk meresapi semuanya sekaligus bersiap-siap melanjutkan penyatuan ini.
Aku tidak boleh diam dan harus segera merespon semua itu agar dapat mengatasi desiran-desiran yang terus muncul di sekitar selangkanganku. Maka aku pun mulai melakukan gerakan sebagaimana layaknya orang senggama. Dan Om Wi' tampak senang dengan apa yang kulakukan. Ia pun merespon tusukanku dengan goyangan pantatnya.
Sesekali ia mengerang tertahan bila tusukanku berubah menjadi sebuah hujaman. Dan makin lama hujaman itu makin kerap kulakukan, sehingga membuatnya menggeliat tidak terkendali. Aku pun berkali-kali menggelinjang dan merintih-rintih oleh kenikmatan anal seks yang baru pertama kali ini kulakukan.
Ayunan demi ayunan terus kulakukan di atas tubuh Om-ku. Aku tidak perduli lagi apakah ia kesakitan atau kenikmatan setiap kali pinggulku mengayun maju untuk menghujam liangnya. Yang kurasakan hanya aliran rasa enak yang mengumpul di pangkal kemaluanku yang makin lama jumlahnya makin banyak dan pada waktunya nanti pasti akan membludak dan berujung pada sebuah ledakan lahar panas.
Orgasmeku terpaksa harus datang terlalu cepat. Aku sudah tidak tahan lagi menahan semua desakan kenikmatan itu. Om Wi' lalu memintaku untuk mencabut batangku dan mengeluarkannya di luar. Ia pun segera menyambar milikku dan mengocoknya kuat-kuat, dan beberapa saat kemudian cairan putih kental menyembur dari ujung kemaluanku menyemprot dada dan perutnya banyak sekali. Aku hanya dapat berlutut dan menggeliat-geliat merasakan puncak birahi yang sangat nikmat ini, sebelum akhirnya aku tumbang di sisi tubuhnya.
Beberapa saat kemudian kulihat Om Wi' mulai melakukan onani dengan pelumas air maniku yang tadi tumpah di atas perutnya. Aku berusaha membantunya, tetapi ia menolak dan menyuruhku untuk merangsang lubang anusnya saja. Maka aku pun mulai menelusupkan jari tengahku ke sana dan merangsangnya habis-habisan. Sementara ia terus mengocok-ngocok sendiri batang kemaluannya yang terlihat makin kencang dan agak kemerahan.
Kepala kemaluannya tampak mengkilap menandakan banyaknya darah birahi yang mengalir ke sana. Menandakan ia sebentar lagi akan memuntahkan laharnya. Nampak sekali Om Wi' menikmati masturbasinya sambil aku merangsang liang anusnya. Entah berapa kali ia menyentak-nyentakkan pantatnya seolah menginginkan agar jariku menusuk lebih dalam lagi.
Dan akhirnya malam itu kamarku dipenuhi oleh rintihan kenikmatan Om Wi' ketika air maninya muncrat tidak terkendali. Tubuhnya menggeliat tidak karuan sambil memegangi tanganku yang jarinya masih terjepit di liang anusnya. Aku tidak tahu apakah ia memintaku mencabutnya atau justru menahannya untuk tetap tertancap di situ. Tapi apapun yang ia inginkan, aku terus mengulir-ulirkan jari tengahku di sana untuk menambah puncak rasa nikmatnya.
Keringat kini tidak hanya membasahi punggungnya saja, tetapi seluruh tubuh telanjangnya. Dan beberapa saat kemudian aku menindihnya dan memberinya sebuah ciuman yang dalam dan lama. Malam itu kami akhirnya terkapar tidur tidak ingat apa-apa lagi, tidak hirau dengan ranjang, sprei, bantal dan guling yang berserakan. Dan kami juga tidak perduli dengan membanjirnya keringat di tubuh kami, dan membiarkannya mengering dengan sendirinya.
Demikianlah, perkenalan pertama dengan dunia Om-ku, Om Wijoyo. Sepanjang liburannya di kotaku itulah kami selalu menyempatkan diri untuk bermesraan, dan beberapa kali bermain cinta. Dan ketika liburan Om Wi' berakhir, kami harus berpisah, meski untuk sementara waktu. Bagaimana pun ada rasa sedih ketika mengantarnya pulang. Bahkan mata Om Wi' sempat membasah waktu memelukku ketika akan naik ke pesawat. Dia sangat mengharapkan aku untuk main ke rumahnya di Yogya. Entah kapan aku dapat menuruti keinginannya yang kini juga telah menjadi harapanku, karena masih ada satu pelajaran lagi darinya yang aku belum lulus menjalaninya.