Aku terdiam untuk beberapa saat lamanya dengan gagang telepon yang masih kugenggam erat, jelas belum ada ide siapa yang harus aku ajak ke undangan Dito untuk menginap di villanya pada akhir pekan nanti, sebuah villa terpencil milik ayahnya yang terletak di tepi telaga di sebuah dataran tinggi di Bali.
Dito adalah salah satu tetangga dekatku, rumahnya hanya berjarak tak lebih 50 meter dari tempat kos yang kutempati sekarang. Dito tinggal berdua di rumah besar itu bersama dengan seorang adik perempuannya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD, dan juga ada seorang pembantu dan seorang tukang kebun yang masing-masing menempati sebuah kamar di belakang rumah. Papanya adalah seorang diplomat yang sering berkeliling ke berbagai negara.
Berkenalan dengan Dito juga terjadi tanpa sengaja, ketidak sengajaan yang menguntungkan. Perkenalan kami bermula ketika pada suatu pagi aku dan Dito bertemu di depan rumah kosku. Dito ternyata sudah banyak mengenal teman-teman kosku, karena sifatnya yang supel itu. Hanya aku saja yang barangkali baru mengenalnya.
Dito sendiri waktu itu baru kelas 1 SMU, dua tahun lebih muda daripada aku. Anaknya berkulit sawo matang, matanya bulat, bulu matanya lentik, berhidung mancung, berpenampilan cool dan trendy, suka pakai celana jeans gombor dan yang pasti wajahnya cukup tampan. Tetapi kuakui, sekalipun usia Dito lebih muda dariku, entah kenapa aku merasa agak segan ketika berdekatan dengannya. Sepertinya, Dito punya karisma yang kuat di depan mata orang-orang yang berhadapan dengannya, dia tampak jauh lebih matang dari usianya ketika berbicara.
Dito suka sekali fitness, jadi wajar saja jika badannya terbentuk bagus, berotot, belum lagi lekuk-lekuk perutnya yang membuatnya makin terlihat seksi dan jantan. Baru kuketahui hobbynya itu ketika pertama kali aku berkesempatan main-main ke rumahnya pada suatu siang, sepertinya angin baik telah menuntunku di waktu yang tepat. Seperti biasa, rumah besar itu kelihatan sepi, aku pun lantas memencet bel yang terletak di balik pintu beberapa kali sampai seorang wanita usia tiga puluhan melongokkan kepalanya, wanita yang masih terlihat bahenol dengan bokong yang besar. Aku mengenalnya bernama bi Trini, pembantu Dito.
Bi Trini mempersilahkan aku duduk di ruang tamu, katanya ia akan memanggil Dito di loteng. Tetapi setelah cukup lama menunggu, Dito ternyata tidak kunjung muncul juga. Aku pun lantas nekat naik tangga ke lantai dua, kamar Dito ada disana, aku pikir dia sedang ada di kamarnya, mungkin sedang tidur. Aku membayangkan melihat Dito yang tidur terlentang dikasurnya dengan hanya bercawat (Tentang kebiasaan Dito yang satu itu, aku ketahui dari obrolan teman-teman kosku yang pernah menginap di rumah Dito), jika memang demikian, aku akan langsung naik ke kasurnya, menidurinya, tenggelam di dalam satu selimut bersamanya dan merampas keperjakaannya saat itu juga. Selama ini aku sudah banyak beronani dan berfantasi tentang dia, aku tidak sabar ingin cepat-cepat mengocok kontolnya yang sudah pasti besar itu. Aku perkirakan lebih dari 16 cm. Tetapi ketika aku menengok ke dalam kamar pribadinya lewat pintu yang terbuka itu, Dito tak ada di dalam.
Jika sedang tidak di kamarnya, kemungkinan besar Dito berada di ruang fitnes. Benar saja, waktu itu Dito memang sedang fitness di ruangan khusus di seberang kamarnya. Di dalam ruangan yang berukuran sekitar 5 x 6 meter itu, tidak kurang ada enam macam alat fitnes yang aku lihat. Aku sih nggak begitu yakin dengan jumlah alat-alat fitnes itu, karena yang jadi pusat perhatianku waktu itu hanya sesosok badan yang tengah telentang di atas barbel set hanya dengan kaos dalam ketat warna merah dan celana hitam yang kelewat minim. Bahkan karena saking minimnya celananya itu, CD yang dipakai Dito kelihatan dari kedua celah celananya dengan paha putih mulus di sekelilingnya. Kakinya tidak begitu berbulu.
Cerita Gay http://ceritakita.hexat.com
Seputar celana itulah yang menjadi pusat perhatianku kala itu, sungguh tak dapat kubayangkan betapa nikmatnya seandainya jari-jemariku kususupkan melewati celah-celah celana kolor itu dan kemudian meremas-remas kemaluan Dito, untuk kemudian membangkitkan syahwatnya menuju puncak kenikmatan. Kontol Dito memang sedang tidur, tetapi hati siapa yang tak akan tergetar ketika melihat tonjolan besar yang padat di balik celana seksinya itu, atau tidak lantas bangkit gairah seksnya untuk mengulum dan melumat serta menikmatinya. Terkecuali mereka yang frigid tentunya.
"Loh, Mas Ferry. Sudah lama datangnya?" sapa Dito begitu melihatku ada di dalam ruangan itu.
Fantasiku seketika buyar karenanya. Sehabis itu, Dito bangkit dari barbel set-nya lalu mengalungkan handuk kecil di lehernya. Dito mengelapi seluruh bagian atas badannya dengan handuk itu, aroma keringatnya yang dekat sekali dengan penciumanku, membuatku makin terangsang, tubuh Dito wangi, seperti bau minyak zaitun murni. Yang jelas Dito tidak mungkin memakai parfum murahan, ia punya uang lebih dari cukup untuk membeli parfum sekelas Guess atau CK atau bahkan yang jauh lebih mahal dari itu. Dito melepaskan kaos yang dipakainya, memamerkan dadanya dan perutnya yang berisi itu tepat di depan mataku, seluruh badannya basah dengan keringat, mulai dari ujung rambut panjangnya yang hitam mengkilat sampai ke betisnya yang padat.
Dito mempersilahkan aku duduk di salah satu alat yang ada dalam ruangan itu, ia sendiri lantas duduk di atas barbel setnya, setelah memandang berkeliling untuk mencari tempat duduk yang nyaman, akhirnya ku pikir kenapa tidak duduk di samping Dito saja. Menurutku, justru tempat itulah yang paling menyenangkan dari sekian banyak tempat di ruangan itu apalagi tempat itu hanya memadai jika kami merapatkan badan satu sama lain. Aku pun lantas duduk di samping Dito.
Setelah duduk disebelahnya, aku kemudian merampas handuk Dito dengan tangan kananku, sementara itu tangan kiriku mendekap punggungnya, Dito pikir aku mengajaknya bercanda. Ia mencoba merebut handuknya kembali, tapi tidak dapat, kemudian mukanya ia jatuhkan tepat di atas kontolku, ia tertawa sebentar kemudian tak lama tawanya itu berhenti, Dito tertegun untuk beberapa saat lamanya di bawah sana. Aku tak begitu mempedulikannya, semoga saja ia kagum dengan "barang" kesayanganku yang baru diciumnya itu.
Sementara itu handuk yang kupegang, aku usapkan ke seluruh badannya, mengelap seluruh keringat yang membasahi tubuhnya itu, perlahan Dito mengangkat lagi kepalanya. Dito makin memanjakan dirinya, membiarkan aku mengelap seluruh badannya, tak apalah sesekali berlaku seperti seorang pembantu asalkan bisa memperoleh apa yang disebut sebagai kenikmatan itu. Sungguh, aku benar-benar terlena menikmatinya meskipun sikap Dito masih tampak begitu dingin saat itu, padahal aku sudah mencoba memberi rangsangan sentuhan ke bagian-bagian sensitif di seputar leher dan dadanya dengan usapan handuk, bahkan semua ilmu pamungkasku dalam bidang usap-mengusap sudah aku keluarkan saat itu.
Setelah cukup lama tertegun, Dito mengangkat kepalanya kembali. Tiba-tiba matanya menatap aneh ke arahku, mungkin saja ia telah terhipnotis oleh kontolku, jadi kupikir tak apalah jika usapanku tak berhasil.
"Mas Ferry nggak pakai CD yah, burungnya lagi berdiri tuh!" bisik Dito di dekat telingaku dan kemudian secara spontan, tangan Dito langsung menjamah dan meremas-remas kontolku, memijit-mijitnya dengan pijatan seks.
Aku memang sedang tidak pakai CD waktu itu, aku terkadang memang tidak memakainya, khususnya jika sedang di berada di rumah atau memakai celana karet gombor seperti yang kupakai saat itu. Kontolku makin tegak saja dengan keperkasaan penuh seperti rudal yang siap meluncur, aku bersyukur karena aku tidak impoten dan dikaruniai kontol yang seksi dan besar yang membuat orang yang memegangnya tidak akan bisa membedakan antara kontol dengan terong bangkok. Aku lantas menurunkan handuk yang kupegang perlahan, Aku merasakan sensasi nikmat yang luar biasa, dengan birahi yang membara.
Aku menggeliat dan mendesah, menggigit-gigit bibir bawahku. Merasakan nikmat tiada tara dengan aksi tangan Dito yang makin liar meremas-remas kemaluanku itu. Aku pun makin mendekatkan kepalanya ke atas dadaku, mengacak-acak rambutnya yang lurus terion itu. Aku mendekati telinganya dan membisikkan kepadanya, apa yang aku inginkan ia perbuat selanjutnya, layaknya seorang guru yang mengajar anak didiknya. Karena saat itu Dito tampak masih canggung untuk memelorotkan celanaku dan melihat secara langsung batang kejantananku.
"Hisap dong Dit!" permintaan itu seketika keluar dari mulutku, terdorong oleh nafsu membara yang ada di dadaku saat itu, aku sungguh tak lagi merasa segan pada remaja belasan tahun itu.
Saat itu, aku ibarat sebuah tanggul yang rapuh, yang segera akan patah terbawa aliran badai nafsu. Dito pun beranjak dari tempat duduknya, ia berjongkok di antara kedua selangkanganku, kemudian dibukanya simpul tali celanaku, merenggangkannya, lalu menariknya dengan cepat, saat itu juga kontolku langsung melesak keluar dengan keperkasaannya.
Tanpa babibu lagi, Dito mendaratkan serangan bibirnya yang pertama ke kontolku yang panjangnya 17 cm itu, langsung menghisapnya dengan liar, menyedotnya seperti ketika menikmati orange juice, sesekali ia melepaskan hisapannya, dan menjilati kontolku dengan penuh birahi, birahi seorang remaja 15 tahunan yang baru sekali itu menikmatinya. Dito ingin menanggalkan celanaku seluruhnya, Aku pun menurut saja, membiarkannya bermain dengan sensasinya sendiri.
Aku mengangkat pantatku, mengangkang di depan mukanya, sehingga Dito lebih mudah melepaskan celanaku. Sesudah Dito melepaskan semua celanaku, ia kembali memainkan kontolku, mengocok dan mengulumnya secara bergantian.
"Argh! Terus Dit!" erangku keenakan.
Dito makin mempercepat tempo permainannya, ia bertambah buas saja dan tidak terkendalikan lagi, Dito menghisap kuat kontolku dan kemudian memompanya naik turun keluar masuk mulutnya, untung saja giginya tidak terlalu besar, kalau tidak, pasti kulit kontolku lecet semua bergesekan dengan giginya atau bahkan bisa saja terluka. Ternyata Dito sangat ahli dalam perkara hisap menghisap kontol, langsung jago tanpa perlu diajari.
Aku membungkukkan badanku di atas punggung Dito yang sedang menelungkup di atas seputar kemaluanku, lalu kuciumi seluruh kepala bagian belakangnya, menyibakkan rambutnya dan mengecup ubun-ubunnya, kemudian perlahan turun ke leher, dan ke punggungnya, yang membuat Dito mengerang-erang dengan desahan yang persis aku lihat di blue film. Semula aku pikir Dito terlalu berlebihan kalau meniru film, tapi tak apalah, desahan Dito malah membantu mempertahankan libidoku di puncak yang stabil.
Di tengah-tengah permainan yang seru itu, tiba-tiba spermaku muncrat, menyembur di muka Dito. Aku bermaksud mengelapnya, tetapi Dito malah meraih tanganku, mencengkeramnya erat dan ia malah menjilati dan menghisap jari jemari tanganku, sebelum ia membersihkan spermaku dengan lidahnya.
Sesudah itu, aku mengambil alih kendali, kesabaranku sudah habis untuk melihat seberapa besar dan seksinya kemaluan Dito dan bagaimana menikmatinya lewat sedotan mautku. Aku lantas merebahkan badan Dito yang bongsor di atas barbel set, membiarkannya terlentang di hadapanku seperti yang aku lihat tadi, tentu saja kini Dito tampak lebih seksi dengan hanya memakai celana pendek yang super minim sebagai penutup tubuhnya.
Dito memejamkan matanya, sementara itu kontolnya makin mengembang dan memenuhi celananya yang super ketat itu, sehingga seakan-akan celana itu tidak lagi muat untuk menampungnya. Aku iba melihat kontol Dito yang terjepit di dalam celananya itu, aku rasa sungguh alangkah baiknya jika kulepaskan saja ia dari dalam sangkarnya.
Aku pun langsung menindih badan gempal Dito di atas barbel set itu,
dan mulai menyerangnya dengan ciuman-ciuman mautku ke setiap lekuk tubuhnya sambil tanganku menggerayanginya di sela-sela badan kami yang saling menindih, menjelajah sampai menemukan barang yang aku cari yaitu kontol Dito, kemudian kumasukkan tanganku ke balik celana sport-nya, juga ke balik CD-nya yang terasa licin itu.
Busyet, ketika aku menjamahnya, aku merasa seperti sedang memegang pentungan Pak satpam, It is very big size! Aku gesek-gesekkan tanganku ke kontol Dito yang besar dan super seksi itu, lagi-lagi aku beruntung bisa meremas batang kejantanan cowok seganteng Dito. Sesudah itu kuangkat sedikit pantatnya ke atas, dengan posisi tetap menindih tubuhnya, lantas aku pelorotin celana Dito dan sampai ke CD-nya sekalian. Hitung-hitung, biar tidak perlu kerja dua kali. Kemudian aku daratkan ciuman-ciuman pipinya dan seluruh mukanya yang bersih dan imut itu sambil sesekali mengecup lehernya, kedua puting susunya secara bergantian, perutnya, sekeliling pusarnya, dan wouw..batang Dito pas di depan mataku sekarang. Ternyata ukurannya lebih besar dari yang aku duga, sekitar 16 cm/3 cm.
Aku menelan air liurku begitu memandangnya, Aku pun langsung menghampirinya dengan bibirku, membiarkan batang kejantanan Dito itu tenggelam di dalam kulumanku untuk beberapa lama, dengan sensasi hisapan yang liar, sesekali aku menjilat ujung penisnya yang coklat mengkilat itu, menjilatnya sampai ke lubang kencingnya.
"Argh! jangan disana mas, perih!" seru Dito sambil kemudian menggigit bibir bawahnya begitu lidahku menjilat-jilat di sekitar lubang kontolnya itu.
Cukup lama juga aku memainkan kontol Dito, dan ia pun makin menggelinjang keenakan sampai-sampai barbel set yang dijadikan alas rebahannya hampir saja roboh, sekalipun bobotnya berat. Aku pun kemudian berdiri, kutarik lengan Dito dan dan mengajaknya meneruskan di floor. Aku membaringkan tubuh Dito yang berkeringat itu di atas karpet merah, aku tindih lagi, Tetapi Dito lebih cepat menyerangku dengan ciuman-ciumannya yang makin mengganas ke bibirku yang sama sensualnya dengan bibirnya.
Kami bergumul di lantai sekian lama, berganti-ganti posisi, kadang aku di atas, kadang Dito yang di atas, menindih tubuhku dengan tubuhnya yang agak berat. Hampir sejaman kami bergumul di atas lantai dan saling mencumbu, dan selama itu Dito cukup perkasa bisa menahan spermanya supaya tidak keluar, barulah saat di detik-detik terakhir ia mengeluarkan lahan putihnya, empat semprotan sekali muncrat, kental dan nikmat. Padahal, selama itu aku sudah ejakulasi sebanyak tiga kali. Aku menjilat habis sperma yang tumpah ruah di atas perut Dito itu, aku tidak mau menyia-nyiakannya, jika harus menunggu muncratan yang kedua, paling tidak aku harus menunggu sekitar sejaman lagi.
"Ah, nikmatnya!" gumamku begitu melakukan jilatan terakhir sperma Dito. Bahkan yang masih menempel di ujung kontolnya pun, tak tersisa juga oleh jilatanku. Dito pun seketika itu juga langsung lemas, kontolnya terkulai kelelahan. Dito masih saja telentang di bawah badanku, nafasnya tersengal-sengal dan jantungnya berdegup kencang.
Kemudian aku memutar posisi menjadi posisi 69. Ku hisap lagi kontol Dito sambil sesekali diselingi kocokan, pokoknya semua cara yang bisa aku lakukan agar kontol Dito tegak lagi. Sementara itu, Dito yang masih aku tindih juga melakukan hal yang sama, setelah rasa capainya berangsur-angsur pulih. Dito menjilati kontolku yang menggantung tepat di atas bibirnya, sesekali Dito mengangkat sedikit kepalanya untuk meraih dan menjilat buah pelirku juga sambil tangannya berpegangan pada punggung atau pahaku. Kami berdua sudah sama-sama basah dengan keringat bercampur sperma, paha Dito yang licin dengan keringat malah menambah gairah seksualku, belum lagi ujung-ujung jembutnya yang basah seperti ketetesan embun itu. Aku menjilatinya dan sesekali kuhisap selangkangan Dito dari keringatnya yang berasa asin dan horny itu.
Kuciumi kedua belahan selangkangannya yang membuat Dito kegelian dan menggelinjang, berputar-putar menggeser badannya di atas karpet. Kemudian dia berhenti berputar, mengangkat kepalanya, dan, "Aouw!" tiba-tiba saja Dito melumat kontolku dengan agak kuat di bawah sana, Aku pun menjerit dengan sedikit tertahan. Bukan karena kesakitan, tetapi karena Dito begitu mendadak melakukannya, ia meneruskannya dengan mengulum buah pelirku. Setelah itu, kontolku diempotnya naik turun, dijilatnya seperti es krim vanila.
Setelah puas dengan gaya 69, aku pun terlentang di atas karpet di samping Dito, mencoba mengatur nafasku kembali. Dito sempat mengecupku berulang kali di seputar wajahku sambil tangannya meremas-remas kontolku membuatnya berdiri lagi. Kemudian, Dito memandang dalam-dalam ke arahku dan tersenyum.
"Enak ya, mas! Dito suka, coba tahu dari dulu!" kata Dito dengan lugunya. Aku hanya nyengir mendengarnya.
"Kamu bisa main seks di umur 15 tahun aja, itu sudah hebat. Seharusnya, untukmu itu masih terlalu dini!" kataku dalam hati.
Mulai hari itu Dito dan aku sering menikmatinya bersama, bukan untuk sebuah komitmen. Tetapi hanya untuk kesenangan belaka, untuk melepaskan gairah masa muda!