watch sexy videos at nza-vids!

Situs Cerita Sex Dewasa




The Bitches

Dua hari lagi Mas Adit pulang. Pagi itu aku sedang menyirami bunga saat Surti, sekretaris Pak Anggoro meneleponku. Dia berkata bahwa dia sedang berbelanja di Carrefour dan dia ingin mampir ke rumahku pulangnya nanti, dan dia menawarkan sekedar oleh-oleh untukku. Hubungan telepon yang singkat dari Surti tadi ternyata mengawali lengkapnya perselingkuhan seksualku selama ditinggal Mas Adit bertugas ke Kalimantan.

Surti sering berhubungan dalam urusan pekerjaan dengan Mas Adit. Aku cukup dekat mengenalnya karena beberapa kali dia ke rumahku karena ada urusan dengan Mas Adit. Dia biasa memanggilku dengan "Mbak Marini" atau "Mbak Mar". Orangnya sangat anggun, cantik, sensual, ramah, jangkung dan atletis dengan tinggi hampir 180 cm, oleh karenanya dia termasuk yang terpilih sebagai pemain bola volley di kotanya, Salatiga, Jawa Tengah.

Surti berusia sekitar 28 tahunan, hampir sama dengan usiaku. Tetapi untuk gadis secantik itu, sampai sekarang dia belum juga menikah. Bahkan menurutnya pacar pun dia tidak punya. Hobbynya mirip hobby lelaki. Naik gunung, terjun payung, arung jeram, menyelam di laut dan lain sebagainya. Aku selalu merasa senang jika berada di dekatnya. Dia senang berseloroh denganku. Dan biasanya dia juga suka memegang-megang bagian tubuhku, baik itu buah dada, bokongku dan lain-lainnya. Dia selalu memuji kecantikanku. Dia bertanya tentang bagaimana caraku merawat muka, buah dada maupun kelangsinganku. Sedangkan dia sendiri sebenarnya sudah sedemikian cantik, langsing, pantatnya seksi dan indah. Ah, mungkinkah dia hanya tertarik dengan wanita? Aku tidak ingin berfikir negatif.

Akhirnya dia datang. Kulihat mobil Surti diparkir di halaman rumah. Dia turun dengan kantong plastik besar dari Carrefour. Buah dadanya yang besar nampak berayun saat dia menggerakkan tubuhnya atau saat sedang berjalan.
Pahanya yang nampak kokoh sintal membayang dari celananya yang berbahan sifon lembut yang ketat. Dengan memakai blus kembang-kembang warna ceria, Surti tampil layaknya seorang artis bintang sinetron yang sedang naik daun. Berkesan "smart", seksi dan sekaligus sangat sensual.

Kujemput dia. Selintas parfumnya menerpa hidungku. Dia berikan oleh-oleh untukku. Ada buah-buahan, daging sirloin kesukaanku, makanan kecil dan sebagainya. Dia berkata bahwa di kantor sedang suntuk. Banyak urusan yang tidak selesai-selesai. Dia ingin membolos dulu. Dia hanya telepon ke kantornya bahwa ia sedang terkena infuenza dan akan ke dokter.

Setelah kubuatkan minuman untuknya, kami duduk mengobrol di ruang tamu. Tiba-tiba ekspresinya nampak serius.
"Mbak Marini, udah 3 hari ini temen-temen deket Pak Adit membicarakan Mbak lho. Mereka bilang telah tidur sama Mbak di villanya Pak Anggoro di Bogor. Tadinya aku pikir pasti fitnah. Tetapi hari Sabtu kemarin, ketika tanpa sengaja aku mendengar telepon Pak Anggoro ke Mbak, kemudian karena sifatku yang ingin tahu, aku mengintip Pak Anggoro ke Dome untuk menemui Mbak, dan berikutnya aku mengintip Mbak Mar bersama Pak Anggoro memasuki President Suite di Grand Hyatt, maka aku jadi berpikir kalau ternyata bener juga kata temen-temen kantor itu".
Sampai di sini dia berhenti, memandangku dengan penuh selidik. Terus terang informasi ini membuatku takut, gelisah dan khawatir. Khususnya yang berkaitan dengan hubunganku dengan Mas Adit. Dan lebih dari itu adalah harga diri Mas Adit. Aku berpikir, siapa sebenarnya yang jadi biang keladi dari semua ini. Mau apa dia setelah menerima kenikmatan dariku?

"Aku sih nggak terlalu menganggap serius, Mbak. Ah, hal seperti itu khan biasa dalam kehidupan ini. Satu naksir yang lain. Kemudian mengayuh kenikmatan bareng. Ya khan, Mbak".
Surti memberi kesan bahwa baginya, itu sama sekali bukan hal perlu dikhawatirkan.
"Masalahnya Mbak, kalau Pak Adit nanti datang, dan denger yang macem-macem itu, terus bertanya kepadaku, lalu apa yang mesti kujawab. Di kantor dia hanya mempercayaiku untuk masalah-masalah begini. Aku memang biasa polos apa adanya".
Aku masih juga belum mengerti arah dan tujuan Surti menceritakan hal ini. Sampai saat ketika dia mendekat padaku..,
Dia menyentuh payudaraku, mengelusnya, kemudian jari-jarinya meraih putingnya, memainkannya sambil berbicara.
"Tapi jangan khawatir Mbak, aku akan membantu Mbak agar Pak Adit tidak mempercayai gosip-gosip itu".
Oh, rupanya persoalan masih belum selesai. Aku jadi tahu sekarang, rupanya di kantor Mas Adit juga ada serigala betina yang kelaparan.

Dan aku tak punya pilihan. Aku percaya hanya Surti yang bisa menolongku. Dia akan mengusahakan setiap orang, dalam hal ini Rendi, Burhan, Wijaya dan Basri agar tutup mulut. Surti cukup disegani karena posisinya sebagai sekretaris Pak Anggoro.
"Mbak, aku sungguh naksir Mbak deh. Sudah lama aku naksir Mbak. Mbak cakep banget sih".
Selama ini ternyata dia memendam birahi padaku. Dan dengan adanya kasus villa Bogor itu, dia melihat kesempatan.
Aku masih bengong dan belum bisa berpikir jauh saat dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Makin dekat, makin dekat. Dan tahu-tahu bibirnya dengan lembut telah menyentuh bibirku.
"Mbak", Surti mencium bibirku.
Tangannya mendorongku ke sandaran sofa dan bibirnya mulai melumat bibirku. Selintas parfumnya menyergap hidungku.
Terus terang aku tidak siap dengan apa yang sedang berlangsung ini. Surti yang sangat cantik ini tiba-tiba datang dan menceritakan kasusku di villa Bogor, dan sekarang bibirnya telah melumat bibirku. Dan aku masih bengong saat libidoku kembali mendesak bibir dan lidahku untuk membalas lumatan Surti.

Begitu aku membalas lumatannya, Surti mendesah.
"Mbbaakk.., oohh.."
Aku jadi tergetar. Dan aku sendiri sejak merasakan nikmatnya berhubungan seksual antar sesama perempuan dengan Indri tetanggaku itu, aku sering atau bahkan hampir selalu juga mengagumi sesama perempuan secara erotis, khususnya yang jangkung, sintal dan seksi seperti Surti ini. Dan saat Surti kembali memelukku dengan erat, aku pun meresponsnya. Aku juga mengelus punggungnya, aku juga membelai rambutnya. Kemudian Surti melepas pelukanku.
"Oocchh.., Mbak.., aku bahagia sekali Mbak Adit mau menerimaku".

Dia menunjukkan ekspresi betapa bahagia dan gembiranya bahwa obsesi birahinya padaku akhirnya kesampaian juga. Kemudian selekasnya pula Surti kembali memelukku. Bibirnya mendekat. Tepian bibirku digigitnya dengan lembut. Kemudian dilumatnya seluruh bibirku. Ahh.., alangkah bedanya ciuman lelaki dengan ciuman sesama perempuan. Perempuan mencium perempuan lain dengan penuh kedalaman perasaan. Lumatannya mengalirkan ludahnya yang kurasakan seperti madu di lidahku. Aku membalasnya. Kami saling bertukar lidah. Aku melenguh pelan. Kemudian Surti mendadak menjadi liar. Dia menghujaniku dengan ciuman-ciumannya di telinga, di leher dan di bahuku yang terbuka. Dia merangkul pinggangku dengan penuh nafsu. Dimasukkannya tangannya ke balik blusku dan meraba-raba dan meremas-remas punggung, belikatku dan pinggulku. Aku menggelinjang.

Didorongnya aku hingga tergolek ke sofa. Dia berlutut ke lantai. Dibukanya kancing blusku. Dia benamkan wajahnya ke payudaraku. Dia keluarkan payudaraku dari balik BH. Dia sedot puting-putingku. Aku mendesah. Dia lepaskan rok bawahku hingga tinggal tersisa celana dalamku. Dia elus lembut pahaku dengan tangannya. Dia benamkan wajahnya ke perut dan pusarku. Bibir dan lidahnya terus menyedot dan menjilati bagian-bagian sensitifku. Aku merintih. Sambil memeluk pahaku, dia terus bergerak ke arah selangkanganku. Dia benamkan wajahnya ke selangkanganku. Hidungnya mengendus celana dalamku kemudian mendesak ke tepiannya. Lidahnya menjilat-jilat mencari bibir vaginaku. Aku menjerit kecil sambil meraih kepalanya dan menjambak rambutnya. Nafasku menyesak. Aliran darahku memacu dengan cepat.

Surti beringsut kembali ke arah dadaku. Dilepasnya BH-ku. Kemudian tanganku diraih dan dibawanya ke atas kepalaku. Kini ketiakku terbuka. Dibenamkannya wajahnya ke lembah ketiakku. Bibir dan lidahnya mengecup dan menjilati seluruh sudut-sudut sensual ketiakku. Dengan tangan-tangannya yang seolah berlaku sebagai kemudi, bibir dan lidah Surti merambah seluruh tubuh bagian atasku, baik sebelah kiri maupun kanan. Kemudian dia kembali memagut bibirku. Lumatannya menjadi sangat memabukkanku. Aku tak mampu lagi menahan desahan maupun rintihanku sendiri. Kenikmatan birahi telah menenggelamkanku dalam gelombang nafsu yang dahsyat. Aku menikmati kepasrahanku padanya. Kubiarkan Surti menumpahkan obsesinya dan memuaskan birahinya atas tubuhku. Aku menjadi sandera dan tawanannya karena perilaku teman-teman kantor Mas Adit. Aku hanya dapat melenguh dan sesekali merintih menanggung siksa yang sangat nikmat.

Surti berbisik di telingaku, "Mbak, ke ranjang saja, yuk".
Ah, ide yang menarik, pikirku. Aku bangkit dan menuntun Surti menuju peraduanku. Selama 6 hari terakhir, aku telah melakukan selingkuh dengan melayani 3 orang teman Mas Adit di peraduanku ini. Ranjang yang semestinya hanya untuk aku dan Mas Adit, telah kunodai. Hari ini, Surti yang kutuntun ke ranjang ini, dia dengan ganasnya langsung menggelutiku. Dia perosotkan celana sifonnya yang lembut hingga lepas dari tubuhnya. Badan Surti yang jangkung dan kini setengah telanjang terpampang di depanku. Kecantikan dan sensualitas terpancar dari semua detail-detail tubuhnya yang sintal dan atletis itu. Rupanya inilah hasil dari hobbynya memanjat gunung dan mengarungi jeram riam. Aku terpesona. Aku tergolek di ranjang menunggu dengan pasrah. Surti melemparkan celananya begitu saja ke lantai, kemudian merangkaki tubuhku. Kami kembali saling melumat. Kudengar kini desahannya.
"Mbak Marinii, aku sudah lama sekali mengimpikan saat-saat seperti ini".
Kembali dia membenamkan diri di ketiak, dada, payudara, puting payudara, perut bahkan pusarku. Dia buka celana dalamku. Dia cium dengan lembut bulu-bulu halusku. Dia jilat memekku. Digigitnya dengan lembut bibir vagina dan kelentitku. Aku menjerit karena nikmat.

Kemudian dia merangkaki kembali tubuhku dan kembali bibirnya menjemput bibirku. Kali ini dia melumat-lumatku sambil tangan kanannya mengelus vaginaku. Dia mainkan jari-jarinya pada bibir vagina dan kelentitku. Kemudian jari-jarinya mulai berusaha menembus lubang kemaluanku. Aku tahu, ini akan menghasilkan kenikmatan bersama yang tak terperikan.
Saat jari-jarinya telah masuk menusuk, vaginaku di putar-putarnya. G-spotku yang merupakan titik pusat saraf-saraf peka birahi dalam lubang vaginaku menerima sentuhan jari-jari indah Surti. Aku tak kuasa untuk tidak menggelinjang. Pantatku menjadi gelisah dan meliar. Kunaik-naikkan pinggul dan pantatku untuk menyongsong jari-jari Surti.

Aku mulai dapat merasa akan timbulnya "pipis enak". Dari dalam vaginaku, keinginan kencing ini mendesak-desak keluar. Kutarik kepala Surti yang masih terus menggeluti bibirku. Kudorongnya ke bawah, ke memekku. Aku ingin agar Surti memainkan jari-jarinya dalam kemaluanku di barengi dengan ciuman dan jilatannya pada bibir vaginaku. Surti cepat memahami. Tanpa melepaskan jari-jarinya dari lubang vaginaku, Surti melepas bibirnya dari bibirku untuk kemudian meluncur ke dada, perut, ke pusar ke jembut dan akhirnya menuju vaginaku.

Dengan meluruskan badannya agar berada di antara pahaku, dan dengan jari-jarinya yang terus menari-nari merangsang G spot-ku, Surti mendaratkan bibirnya ke vaginaku. Dia menciumi, menyedot dan menjilat-jilat bagian atas vaginaku.
Rasa ingin kencingku akhirnya meledak. Aku mendapatkan orgasme dari perilaku Surti yang sangat obsessive dan liar itu. Banyak sekali cairan birahi yang tumpah dari dalam vaginaku dan mengalir keluar. Untuk melampiaskan emosi birahiku, kutangkap kepala Surti, kuremas-remas rambutnya hingga dandanan rambutnya berantakan. Surti menjadi semakin liar saat menyedot cairan birahiku. Kepalanya digeleng-gelengkan dan ditekan-tekannya ke selangkanganku. Sedemikian bernafsunya bibirnya menyambut cairan kemaluanku. Seperti orang makan buah semangka yang merah ranum hingga kudengar mulut Surti mengeluarkan bunyi. Mulutnya yang indah menjilati dan meminum semua cairan birahiku yang meleleh keluar. Agar dapat lebih banyak menyedot cairan lendir itu, lidahnya menyeruak mengorek seluruh isi liang vaginaku.

Setelah orgasme, aku merasa lemas sekali. Seakan otot-ototku dilolosi dari tubuhku. Aku lunglai. Sebaliknya dengan Surti, yang dengan meminum semua cairan birahi dari lubang vaginaku, nafsunya bahkan semakin memuncak. Dia membiarkanku lunglai di ranjang, tetapi dia sendiri tidak menghentikan serangan nafsunya pada tubuhku. Ciuman dan lidahnya merambati seluruh permukaan pahaku. Dia tinggalkan cupang-cupang sedotannya pada pahaku. Sedotan-sedotannya terasa pedih pada kulitku, hingga terkadang kuangkat kepalanya dan menariknya untuk melepaskan bibirnya yang terasa seperti vacuum cleaner yang menancap di pahaku. Kemudian tanpa ayal dibalikkannya tubuhku agar tengkurap.

Dia benamkan mukanya ke celah bokongku. Dia cium habis-habisan bokongku. Dia masukkan lidahnya ke celah belahan pantatku. Dia berusaha menjilati duburku hingga aku sangat kegelian. Rasa lunglaiku jadi hilang. Birahiku pelan-pelan kembali timbul. Dia angkat pantatku hingga aku tertungging. Dengan posisi itu, di hadapan Surti kini telah terpampang pantatku dengan analnya yang menguak terbuka. Kubayangkan lubang pantatku yang kuncup dilingkari garis-garis lembut kemerahan menuju titik pusat lubang duburku. Tak ayal lagi hidung, bibir dan lidah Surti langsung merangsek pantatku untuk meraih kenikmatan. Aku bergetar dan merinding. Nafsu Surti menjadi sangat binal. Dia mendesah dan mendengus-dengus seperti anjing yang rakus saat menghadapi makanannya hingga tidak mau ada anjing lain yang mendekat karena khawatir akan merebut makanannya itu.

Sementara itu aku mulai kembali terbakar birahi. Lidah Surti yang terus menjilat duburku dan menusuk lubangnya membuatku diserang kegatalan erotis yang amat sangat di seluruh tubuhku. Surti sangat pintar mendongkrak libidoku.
Dengan menggerakkan tanganku ke belakang, aku berusaha meraih kepalanya. Saat akhirnya kudapat, kuremas kembali rambutnya yang memang sudah teracak-acak olehku sejak tadi. Kutekankan wajahnya ke analku. Aku ingin agar Surti lebih dalam lagi melahap duburku. Rupanya saat ini dia sedang menapaki puncak birahinya, racauan mulutnya tak henti-henti.

"Oohh.., oh, ohh, enakk.., enhakk.., Mbak Marinii..".
Kulihat, entah dari mana, tangan kirinya telah menggenggam plastik bening panjang, semacam pipa padat. Itu adalah dildo. Dia tusukkan dildo itu pada lubang vaginanya. Dia mencium dan menjilat analku sambil membayangkan kontol lelaki yang menusuk memeknya. Nampak tangannya mengocok-ngocokkan dildo yang besar dan panjang itu ke vaginanya sendiri. Rintihan dan desahan erotis yang menandakan derita dan siksa nikmat sedang melanda sanubari Surti. Aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantunya, kecuali dengan ikut mengerang dengan suaraku yang histeris.
"Teruss Surtii.., teruuss.., Surtikuu".

Saat puncak itu datang, Surti menjepitkan dildonya di antara kedua kakinya yang dirapatkan. Kemudian seakan sedang menyetubuhi kontol lelaki yang telentang di ranjang, dia naik turunkan pantatnya untuk membenamkan dildo ke memeknya. Sementara itu tangannya merengkuh erat-erat pinggangku untuk memantapkan posisi wajahnya hingga bibir dan lidahnya terus menciumi dan menjilati duburku. Dia meremas dan menancapkan kuku-kukunya ke bukit pinggulku ketika orgasmenya datang. Dia menjerit dengan keras. Tanganku memperkeras jambakan pada rambutnya untuk membantu mendorong birahinya ke puncak yang paling tinggi. Kemudian Surti rubuh, demikian juga denganku. Aku telentang menghela nafas. Untuk beberapa menit kami saling diam. Sunyi.

"Terima kasih Mbak Marini. Mbak cantiik sekali".
Masih dalam keadaan telentang, Surti mengeluarkan suara sambil melepas senyumnya dan menengok ke arahku. Aku sambut dengan tanganku yang meraih tangannya. Kami saling bersentuhan dan saling meremas.
"Aku lapar, Mbak", kata Surti.
Aku berusaha bangun. Aku sendiri juga lapar dan haus. Kami bersama-sama bangkit dari ranjangku. Dengan kain dan handuk seadanya yang kusambar dari kamarku untuk menutupi tubuh kami, kami menuju dapur dan membuka lemari es.
Kuambil juice orange dingin. Kutuangkan segelas untuk Surti dan segelas untukku sendiri. Kami beristirahat dan minum. Surti lalu mengeluarkan bungkusan dari kantong plastik Carrefour yang dibawanya. Ada kue kering yang siap saji. Dia buka dan kami melahapnya.

Pada kesempatan itu kamu kembali saling pandang dan saling melempar senyum. Kulihat Surti mengamati bagian-bagian tubuhku. Dan aku juga mengamati bagian-bagian tubuhnya. Kami saling mengagumi. Kami saling meraba bagian-bagian tubuh pasangan kami dengan penuh semangat birahi. Aku sangat mengagumi pahanya yang sangat sintal itu. Sebelum bergerak terlalu jauh dan menyadari bahwa badan kami harus tetap tampil segar, kami sepakat untuk makan dulu. Kami beranjak melihat bahan makanan yang tersedia. Melihat oleh-oleh Surti, kami sepakat untuk membuat sirloin steak kesukaanku. Kunyalakan kompor untuk menumis bumbu dan sayuran pelengkapnya. Surti merendamnya dalam saus daging steak kemudian membakarnya. Dengan 2 gelas red wine, 2 gelas juice apple yang kutemukan masih tersedia di lemari es, kami melahap sirloin steak 200 gram kami hingga kenyang. Sebagai penutup kusediakan irisan buah mangga dingin seporsi besar. Kami tertawa, mengingat betapa rakusnya kami di ranjang maupun di meja makan. Surti mengatakan kalau dirinya makan banyak masih masuk akal. Tetapi kalau dia melihatku juga makan sebanyak yang dia makan, dia merasa heran, kemana saja makanan yang telah kutelan hingga perutku tetap langsing?
"Atau di sini, ya?", kelakarnya sampil tangannya meraup nonokku yang memang montok menggembung.
Aku tertawa. Kami saling berseloroh. Usai makan dan puas berseloroh, Surti berdiri dari kursinya menuju ke belakang kursiku dan kurasakan saat hidungnya mencium kepalaku.

"Sayang, aku ingin lagi, sayang..", sambil tangannya turun ke dadaku meremas payudaraku dan terus memilin-milin puting-putingku.
Aku melenguh pelan. Aku mendongakkan wajahku ke belakang hingga menghadap wajahnya. Wajahnya langsung menjemput wajahku hingga bibirku bertemu bibirnya. Kami saling mencium. Tangan kanannya turun ke selangkanganku untuk meremas nonokku yang menggunung itu, sementara tangan kirinya tetap meremas payudaraku. Aku menggelinjang kembali. Birahiku terbit kembali. Ciuman Surti yang semakin penuh perasaan dan mendalam semakin mendongkrak libidoku. Suara desahan kami saling bersahutan.

Kini aku ingin mengekspresikan diriku. Aku ingin mengekspresikan obsesiku. Aku ingin meraih sendiri kenikmatan madunya Surti. Aku ingin menciumi buah dadanya yang nampak sangat ranum di balik blusnya itu. Aku juga ingin menciumi ketiak, perut, pahanya yang sangat sintal, selangkangan, celana, kelentit maupun vaginanya. Aku jadi terbakar. Aku berdiri dari kursiku. Kembali kubimbing Surti ke peraduanku. Aku tak tahan lagi menahan gejolak libidoku sendiri. Aku ingin menumpahkan seluruh obsesiku.

Kodorong dia agar telentang di tempat tidur. Dia langsung memahami keinginanku. Dia menunggu. Tanganku menarik lembaran handuk yang membungkus tubuhnya. Tubuh jangkung indah itu kini telanjang bulat di hadapanku. Aku meneguk air liurku. Aku merangkaki tubuhnya. Kulumat bibirnya sepenuh perasaan. Kunyanyikan "gita cinta" dari gebu birahiku. Kutenggelamkan wajahku ke buah dadanya yang besar. Lidah dan bibirku dengan liar mengecup dan menjilat bukit-bukit sensual milik Surti itu. Kuhisap-hisap puting payudaranya. Dia kini mendesah dan menjerit kecil. Dia angkat kedua tangannya ke atas hingga nampak ketiaknya yang terbuka. Dia menginginkanku agar menjilati ketiaknya. Aku menyambutnya dengan sepenuh geloraku. Kubenamkan wajahku ke lembah ketiaknya. Bau kecut alami ketiaknya seketika menyergap hidungku.

Surti mengeluarkan desah dan rintih yang sangat mengundang birahi. Kemudian aku mulai merayap ke bawah. Kujilat perutnya yang langsing. Pusarnya kuhisap-hisap. Ludahku kuyup menutupi dataran perutnya yang lembut itu. Aku turun lagi hingga kurasakan jembut halusnya pada lidahku. Aku turun lagi kemudian bangkit. Aku ingin memulainya dari yang paling bawah. Aku turun ke lantai. Kuraih kakinya. Inilah kesukaanku. Kujilati kaki-kakinya, jari kakinya, telapak kakinya. Kemudian aku merayap naik menjilati betisnya. Kusedot pori-porinya. Kubuat agar kuyup dengan ludahku.
Aku terus naik ke pahanya. Aku serasa menghadapi lapangan luas untuk bibir dan lidahku bermain. Paha si jangkung yang sangat sintal kini terpampang bebas di hadapanku. Aku merebahkan diri di situ. Aku mulai mencium dan menjilatinya. Aku tak ingin satu titikpun terlewat dari kecupan dan jilatanku. Aku bergetar dan menggigil. Aku menikmati lembah birahi yang sangat kudambakan. Saat wajahku sampai di selangkangannya, aroma dan semerbak wangi vaginanya demikian menusuk hidungku. Aku terus menjilat dan mengendusnya.

Kini kutemukan kemaluannya yang menggelembung indah di antara selangkangannya. Bibirku langsung merasakan demikian getas kemaluannya. Bibir-bibirnya merekah keras menahan darah yang mengalir di sana. Kelentit atau itilnya juga mengeras. Itilnya yang besar dan kencang itu kukulum. Lidahku menembus lubang vaginanya. Kembali Surti mendesah dan merintih dengan sangat menggairahkan. Dia menggelinjang. Tubuhnya menggeliat kuat-kuat hingga aku sering terlempar. Pantatnya terangkat menjemput lidahku agar menjilat lebih dalam lagi ke nonoknya. Tangannya meremasi bantal.
"Ampun Mbak Mar.., ampun Mbak Mar..", hanya itu yang dia racaukan berulang-ulang.

Dan kini kubalikkan tubuhnya. Dia telah tengkurap. Aku merangkaki punggungnya. Kujilati kuduknya hingga dia menjerit kecil. Kujilati punggung dan kedua belikatnya. Dia mengaduh. Kemudian kujilati pinggulnya hingga dengan liarnya dia menggelinjang. Dan saat kujilati bukit bokongnya serta kumasukkan lidahku ke belahan bokongnya, dia tak mampu lagi menahan diri. Dia ingin agar aku menjilatinya lebih dalam lagi. Dengan kepalanya yang masih bertumpu pada bantal, dia mengangkat pantatnya tinggi-tinggi hingga seluruh pantatnya terbenam ke wajahku.
"Mbak Marinii.., jilati iniku Mbaakk.., jilati pantatku Mbakk.., jilati lubangnya Mbakk.., ayoo Mbakk.., jilati Mbakk.., aku mohon mbaakk".

Ah, Surti nampak sangat menderita. Sangat tersiksa. Dia merintih. Dia memohon padaku untuk menjilati pantatnya. Menjilati lubang duburnya, seperti saat dia menjilati lubang duburku tadi. Rupanya dia juga memintaku untuk melakukan hal yang sama sebagaimana dia telah melakukannya padaku. Aku segera memahaminya. Dan bagiku, hal itu adalah bentuk kepasrahan Surti yang dipercayakannya padaku. Surti ingin membagi kenikmatan birahi bersamaku. Aku tenggelam dalam deritanya, dalam siksanya, dalam rintihnya. Aku larut dalam permohonannya. Aku terseret dalam alun birahinya.

Kujilati dubur Surti hingga birahiku langsung melonjak. Sambil kujilati pantatnya, tanganku meraih nonoknya dan kuelus, sambil jari-jariku menusuk lubang vaginanya. Rupanya kombinasi kenikmatan yang kulimpahkan padanya membuat Surti benar-benar tak mampu bertahan. Dengan serta merta dia berbalik bangkit, kemudian tangannya meraih dildo yang berkepala dua.
"Ayoo Mbak. Mbak masukin ke nonok Mbak. Aku yang di sebelah sini".
Maksudnya adalah agar aku bersama dengannya menggunakan dildo untuk saling bermasturbasi. Aku belum berfikir panjang saat dia langsung memeluk, melumatku dan dengan tangannya langsung memasukkan dildo itu ke memeknya. Dan berikutnya dia mendekatkan batang dildo yang sama ke memekku dari ujung yang lain. Ah, biarlah aku mencobanya.

Kemudian seperti layaknya pasangan jantan dan betina, dia mulai memompa. Dia melakukan gerakan memompa dengan dildo berkepala dua itu. Dan efeknya padaku sungguh mempesona. Aku serasa mendapatkan pelukan yang demikian cantik dan lembut, sekaligus mendapatkan rasa kontol yang besar dan panjang. Aku ikut mengayun. Kegatalan vaginaku tak lagi mampu kubendung. Aku ingin pipis yang teramat sangat. Nafasku memburu. Nafas Surti juga memburu. Pompa dan ayunan kami semakin cepat. Akhirnya, aku dan Surti meraih orgasme bersamaan. Kami mengeluarkan air mata karena nikmat tak terkira ini. Kami masih saling berpelukan dan melumat hingga cairan-cairan kami betul-betul tuntas mengalir keluar. Selera dan nafsu biseksku semakin subur sejak bertemu Indri, tetanggaku yang istri pelaut itu. Dan aku sungguh merasakan kebahagiaan pada saat bertemu Surti ini. Aku tidak sendiri. Aku ingin memenuhi harapan Indri. Suatu saat nanti, aku akan berkumpul bertiga untuk bersama-sama mengarungi kenikmatan ini.

Akhirnya, seperti kebiasaan rutin di kantornya, Surti pulang tepat pada pukul 5 sore dari rumahku. Kami memiliki banyak rencana untuk mengarungi kenikmatan bersama di hari-hari nanti. Seharian bersama Surti ini sangat menggairahkan dan merupakan kenangan indah yang tak akan pernah kulupakan.

Sebelum beranjak pulang dia berpesan bahwa aku tidak perlu khawatir mengenai masalahku dengan Mas Adit. Dia menjamin bahwa segalanya akan beres. Aku sedang menonton TV saat Bu Retno Anggoro, istri boss besar suamiku, meneleponku. Aku agak terkejut, jangan-jangan ini masih juga berhubungan dengan affairku dengan suaminya kemarin di Hotel Grand Hyatt itu.
"Selamat malam Jeng Marini, apa kabar, Jeng?",
"Baik Bu, apa kabar?",
"Begini Jeng, besok khan kita ada arisan ibu-ibu di rumah. Ingat, khan?".
"Saya mau minta bantuan nih, kalau Jeng Marini nggak ada acara. Untuk membantu mempersiapkan macam-macam untuk acara yang jam 4 sore besok. Kalau bisa, tolong Jeng Marini ke rumah agak lebih awal. Maksudku sekitar jam 9 pagi gitu lho. Nanti makan siang di rumah saya saja. Bisa, khan, Jeng?".

Wah, kalau istri boss besar yang minta tolong seperti itu, bagaimana aku akan bilang tidak. Ini adalah acara rutin. Untunglah, ini bukan soal suaminya yang selingkuh denganku. Para istri dari kantor Mas Adit memang secara rutin sebulan sekali bertemu di rumah ibu boss untuk berbagai acara khas ibu-ibu antara lain, arisan, nonton demo alat masak, demo kosmetik dan berbagai acara yang sesuai dengan kegiatan ibu-ibu pada umumnya. Aku senang saja dan menikmati acara-acara seperti itu. Terutama saat berkumpul, ibu-ibu biasanya saling mengamati satu sama lain. Aku merasa bahwa di antara mereka, akulah yang paling cantik.

Ibu-ibu banyak bertanya bagaimana caraku merawat tubuhku, apa merk kosmetikku, aku minum jamu apa dan sebagainya. Khususnya Bu Retno. Beliau jika menanyakan hal-hal semacam itu sambil mengamati jawabanku dengan penuh antusias. Dan setiap kami pulang, dia selalu memeluk dan mencium pipiku dengan penuh kesan, seakan aku adalah putrinya sendiri. Bu Retno adalah putri Solo. Orang tuanya masih berdarah keraton. Walaupun usianya sudah menjelang 48 tahun, tetapi kecantikan alami Bu Retno ini rasanya tak akan pernah luntur. Beliau ini pantas memakai apa saja. Kebaya, ayu. Rok, cantik. Seragam oleh raga, sangat seksi. Celana jeans, yang sesekali juga dipakainya saat santai, sangat sensual. Intinya, banyak ibu-ibu yang selalu berdecak kalau melihat Bu Retno pada kesempatan apapun.

"Baik, Bu. Saya akan berusaha datang jam 9 pagi ke rumah Ibu", aku menjawab permintaanya tanpa reserve.
Aku membayangkan akan bertemu Pak Anggoro lagi. Harus bagaimana nanti sikapku kalau bertemu Pak Anggoro. Bagaimana aku harus bersikap agar seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa antara kami di depan istrinya nanti. Ah, nanti bagaimana sajalah. Besoknya, saat aku masuk ke rumahnya, seorang pembantu mempersilakanku untuk langsung masuk ke kamar Bu Retno di lantai 2 rumahnya yang besar itu. Bu Retno telah menungguku. Aku tidak berjumpa dengan Pak Anggoro. Mungkin dia telah berangkat ke kantornya. Aku mengetuk pintunya yang masih tertutup. Beberapa detik kemudian pintu dibuka lalu Bu Retno menyambutku dengan penuh kehangatan. Aku diajaknya duduk di sofa kamarnya yang besar. Kamar Bu Retno terdiri dari 2 ruangan yaitu ruang kerja beliau dan kamar tidurnya yang saling terhubung. Kami duduk di ruang kerjanya.

"Mau minum apa, Jeng?",
"Sudah Bu, jangan repot-repot. Biar nanti saya ambil sendiri".
"Oo, baiklah. Ini lengkap lho, Jeng. Ada teh celup, coklat instant, orange juice dingin. Bebas ya, Jeng. Pilih saja sendiri, ya", ujar Bu Retno sambil menunjukkan lemari es dan meja minumnya.
Setiap kali aku berhadapan dengan wajah Bu Retno ini, aku selalu teringat dengan Michele Yeoh, bintang laga yang cantik dan sangat cerdas dari Malaysia itu. Hari ini Bu Retno tampil dengan pakaian santainya yang sangat menunjukkan kecantikan alaminya. Dengan celana pendek "hot pan" cossy-nya, paha dan betisnya nampak sangat sensual dan indah. Dengan blus "u can see"-nya sesekali Bu Retno menunjukkan pesona ketiaknya yang berbulu tipis itu saat beliau menunjukkan sesuatu hal atau berbicara sambil memberikan contoh-contoh yang mengharuskan tangannya bergerak lebih tinggi dari kepalanya.

Bahunya yang bidang, yang mulai nampak sejak pada batas blusnya, begitu mempesona pula. Bagian ini sering menjadi obyek sentuhan awal saat seseorang yang dekat padanya ingin mengungkapkan hal-hal yang hanya perlu dibisikkan dalam suara yang lembut yang sangat pribadi sifatnya. Dan tidak jarang pula, bahu seseorang juga seakan mencerminkan tingkat inteligensinya. Dari akhir bahu itu, nampak awal lengan tangannya yang bersih mulus, padat sintal dan sangat terawat pula. Jari-jari tangannya yang lentik dengan kuku-kukunya yang tak pernah absen dari salon perawatan manicure langganannya mengingatkanku pada keindahan dewi Aphrodite dari Yunani. Rambutnya yang panjang dan lurus lebih sering di lepas ke bawah, dalam ikatan bando di kepalanya, layaknya seorang model yang sedang memperagakan shampoo. Sepintas, mungkin orang akan menebak bahwa usia Bu Retno masih berusia 35 tahunan, beberapa belas tahun di bawah usia sebenarnya.

"Jeng Marini", begitu duduk Bu Retno langsung mulai bicara.
Tentunya untuk rencana acara nanti sore, begitu pikirku.
"Saya tahu, Jeng Marini bersama Bapak di Grand Hyatt hari Sabtu dan Minggu kemarin".
Dia melihatku dengan tenang berikut semburat senyum manis di bibirnya. Aku langsung serasa seakan disambar geledek.
Pandanganku nanar. Aku tak kuasa menahan diri. Seketika aku limbung. Aku jatuh ke pangkuannya. Aku menangis dalam perasaan malu, ketakutan, kekhawatiran dan penyesalan. Aku merasa berdosa pada Bu Retno yang selama ini selalu baik padaku. Kurasakan tangannya yang mengelus rambutku.

"Sudah, Jeng, sudah. Saya nggak apa-apa, kok. Bahkan saya senang kalau Bapak bisa mendapatkan kesenangan dari Jeng Marini. Dia telah banyak berbuat untuk keluarga. Dia berhak untuk mencari kesenangan di luar rumah. Saya sangat rela. Sudah, Jeng, jangan khawatir".
Akhirnya dia mengambil minuman untukku. Kuminum sedikit untuk menenangkan diri. Mataku masih terasa merah berkaca-kaca oleh air mataku. Bu Retno meraihku agar bersandar di dadanya. Duh, baiknya ibu ini. Aku yang telah berselingkuh dengan suaminya tidak membuatnya marah atau benci. Dia menghapus air mataku dan kembali mengelus rambutku.
"Saya Jeng, sebenarnya tidak khawatir dengan Bapak. Justru yang saya khawatirkan adalah saat Pak Adit nanti pulang dari tugasnya di Kalimantan. Jeng Marini tahu khan kalau karyawan Bapak ini baik-baik semua, termasuk Pak Adit".
"Mereka kalau pulang dari mana-mana biasanya tak lupa kemari, membawa sekedar tanda mata atau oleh-oleh.".
"Saya mesti bicara bagaimana seandainya Pak Adit menanyakan berbagai hal yang dia dengar tentang Jeng Marini, termasuk hal-hal yang saya dengar juga dari Samin penjaga villa kami di Bogor itu".

Matilah aku. Bu Retno ini ternyata telah tahu semuanya. Jadi, apakah dia memanggilku supaya datang lebih awal dari jadwal acara bersama ibu-ibu nanti sore ini hanya untuk menyampaikan masalah ini padaku? Aku mencoba berfikir keras, tetapi air mataku kembali merebak dikarenakan berbagai hal yang sangat krusial ini. Aku kehabisan nalar untuk menghadapi hal ini. Aku jadi teringat para serigala itu. Yang telah menikmati tubuhku tetapi tidak berusaha membelaku. Kurasakan tangan Bu Retno makin mendekapku. Aku mendengar suara jantungnya yang berdegup semakin kencang. Aku menerawang ke kejauhan. Ke awang-awang. Melihat kemungkinan apa yang akan terjadi.

Yang kurasakan hanya tangan Bu Retno yang kembali mengusap air mataku. Dan tiba-tiba terasa ada seperti tiupan nafas yang halus dan ada sesuatu yang lembut sekali menyentuh bibirku. Bukan, bahkan bukan sekedar sentuhan. Sentuhan lembut itu berlanjut dengan lumatan pada bibirku dengan cara yang lebih lembut lagi. Dan lumatan itu tak kunjung berhenti. Kurasakan lumatan itu disertai dengan sedotan yang halus pula. Aku jadi terhanyut. Refleksku merespons lumatan itu. Aku merasakan betapa menyejukkannya. Aku merasakan betapa teduh dan nikmatnya. Nikmat yang sungguh tak terperi manakala paduan aroma alami dari bibir seseorang yang menerpa hidung dan lidahku merasakan sesuatu yang manis dari bibir lembut yang melumat bibirku itu.

Aku baru tersadar saat kudengar pula suara desahan halus. Aku membuka mataku. Aku melihat dari dekat. Aku melihat wajah Bu Retno dengan sangat jelas. Ternyata Bu Retno telah sepenuhnya memelukku dan mencium serta melumat bibirku.
"Jeng Marinii.., oohh Jeeng.., Jeng Marinii, kamu cantik sekali.., saya sangat merindukanmu Jeeng.., saya selalu merindukan Jeng Marinii".
Aku kini baru sadar sepenuhnya. Rupanya kungkungan serigala-serigala lapar dari kantor suamiku tak kunjung habis-habisnya. Dan kini aku berada di pangkuan serigala betina tua yang sangat kelaparan. Yang mampu memainkan peranannya dengan sedemikian hebat hingga aku terjatuh di pangkuannya sebagaimana yang sedang berlangsung saat ini. Dan tiba-tiba aku kembali merasakan getaran libidoku yang tak mampu kutahan.

Aku sangat menikmati lumatan bibir Bu Retno yang sangat lembut ini. Bu Retno, dekaplah aku lebih erat lagi. Aku juga selalu mengagumimu selama ini. Aku selalu terpesona akan kecantikan dan kelembutanmu. Dengan penuh kesadaran, kini tanganku meraih kepala Bu Retno dan menekan lebih lekat bibirnya ke bibirku. Aku membalas lumatannya dengan penuh birahi. Dan bermenit-menit kemudian kami saling melumat dan mendesah-desah. Tak ada lagi air mata. Tak ada lagi rasa malu, kekhawatiran dan ketakutan. Kini yang ada adalah dua anak manusia berjenis kelamin perempuan yang sedang bersama-sama mengayuh kenikmatan birahi sesaat untuk mendapatkan kepuasan biologis seksualitasnya.

"Bu Retno, aku juga selalu mengimpikan saat-saat seperti ini bersama Ibu. Aku selalu memendam birahi pada Bu Retno yang selalu tampil cantik, Bu".
Bu Retno tidak menjawabnya dalam kata-kata. Tangannya langsung menyusup ke blusku, meremas payudaraku dan memainkan jari-jarinya pada putingku. Aku menggelinjang menerima kenikmatan darinya. Aku cenderung menyerahkan diriku sepenuhnya untuk memenuhi kehausan birahi Bu Retno.
"Jeng, ampuunn nikmatnya Jeng Marinii.., oohh..", Racau Bu Retno sambil tangannya seakan dikejar setan mulai melucuti seluruh blusku.
Dan secepatnya pula dibenamkannya wajahnya ke dadaku. Bibir dan lidahnya menyedot dan menjilati payudaraku beserta putingnya yang kemudian juga merambah terus hingga ke lembah ketiakku.

"Jeng Marini, kamu cantik sekali.., aku rasanya bersedia jadi budakmu Jeng Marini.., biarkan aku memandikan Jeng Marini dengan lidahku. Aku akan sangat menikmati keringat-keringatmu Jeng. Ooohh..".
"Aku bersedia menceboki nonok dan pantat Jeng Marini setiap hari selesai membuang beban pagimu, sayang..".
Begitulah Bu Retno meracau tak karuan sambil terus menjilati putingku. Tangan kanannya bergerilya ke pahaku. Dielusnya pahaku dengan penuh kegemasan. Kemudian berpindah ke selangkanganku. Dicari-carinya celana dalamku. Dielusnya celana dalamku yang lembab oleh keringat. Dia gosokan tangannya seakan hendak memindahkan lembab celana dalamku ke tangannya itu. Kemudian dia cari tepiannya. Dia susupkan jari-jarinya agar menjangkau kemaluanku. Aku tergetar dengan hebat saat jari-jarinya menyentuh bibir vaginaku. Aku mendesah.

"Bu Retnoo, aku merinding..".
Bu Retno memandangku nanar penuh arti.
"Jeng, kita pindah ke ranjang, yuk".
Dia membimbingku untuk pindah ke ranjangnya yang indah itu. Aku didorongnya hingga tergolek diatas seprei sutra yang sangat lembut di ranjangnya yang besar. Bu Retno langsung menindihku. Kembali dia melumat bibir, leher, dada, puting dan bahkan ketiakku. Birahiku menyala terbakar berkobar-kobar. Aku menikmati kepasrahanku untuk melayani hausnya nafsu Bu Retno. Kenikmatan ini membawaku melayang terlempar dalam alun birahi samudra lepas. Aku menutup mataku sambil merasakan Bu Retno yang sedang melucuti rok, BH maupun celana dalamku hingga aku benar-benar telanjang bulat. Kemudian Bu Retno juga melucuti pakaiannya sendiri.

Kami saling memeluk dan bergulingan tanpa pakaian selembarpun yang menghambat. Saling sedot, saling gigit, saling cakar dan saling menjilat. Kurasakan betapa rakus dan binalnya perempuan ini. Umurnya yang hampir 2 kali umurku sama sekali tidak mempengaruhi semangat birahinya untuk meraih kepuasan seksualnya.

Dia sekarang merosot ke selangkanganku. Dia sangat obsessive dalam mencium dan menjilati nonokku. Lidahnya berusaha agar sejauh-jauhnya menjilat ke dalam vaginaku. Diangkatnya pantatku hingga pahaku terlipat menempel di dadaku. Kemudian dibenamkannya kembali lidahnya ke liang vaginaku sambil sesekali menyapu bibir kemaluanku dan mengisap kelentitku. Melihat anusku yang merah ranum, lidahnya pun berusaha menjangkaunya. Agar lebih memudahkannya, kuangkat lebih tinggi lipatan bokongku.

Bu Retno ingin agar aku mengubah posisi. Dia berbisik dengan penuh getar birahi. Ungkapannya dalam kata-kata yang sangat "erotis, seronok, jorok, tak senonoh", merupakan ungkapan betapa dorongan birahinya telah didominasi oleh bentuk kenikmatan nafsu birahi hewaniah yang telah sedemikian rupa merendahkan martabat, harga diri serta penampilan kesehariannya yang istri boss besar dan putri ningrat yang cantik dan ayu. Bisikan itu diucapkannya dengan sedemikian gamblangnya walaupun masih terdengar terbata dalam suara yang serak karena gelora birahinya.
"Jeng, nungging, yaahh.., A..ku p.., penasaran dengan lubang tt.., tai Jeng Marini. Aku pengin menciumi sepuas-puasku. Aku ingin mengendus tai Jeng Marini.., lidahku ingin merasakannya. Kk.. kalau Jeng mauu, aku juga mau ma..kan tt.., ta..".
Aku sudah tidak lagi mendengar lanjutannya. Betapa vulgar dan tak senonohnya. Di telingaku, kata-kata Bu Retno menjadi sensasi erotik yang langsung mendongkrak birahiku. Aku sedemikian terhanyut dan meliar mendengar kata-kata yang di keluarkan dari bibir putri ningrat yang cantik dan ayu itu. Aku mengikuti keinginannya. Aku menungging setinggi-tingginya. Dan kini aku benar-benar menjadi obyek Bu Retno untuk menyalurkan naluri dan sifat hewaniahnya. Lidahnya mencuci habis-habisan lubang pembuanganku yang sangat ranum ini. Aku sungguh tenggelam dalam gairah dari kata-kata pujaan seronok Bu Retno tadi. Pada kesempatan berikutnya, kulihat bagaimana dengan sangat histeris, jari-jari tangannya di masukkannya ke liang vaginanya sendiri dan dikocoknya. Rupanya Bu Retno benar-benar sedang tersiksa oleh gejolak birahinya sendiri.

"Enak, Jeng. Enaak..", racau histerisnya.
Kemudian dia berubah menjadi sangat liar. Di gulingkannya tubuhku. Ditelentangkannya aku. Dia kembali menyeruak ke tengah selangkanganku. Kembali disedotnya vaginaku. Kembali digigitnya bibir vagina dan kelentitku. Kedua pahanya menjepit paha kananku. Jempol dan jari-jari kakiku yang berada tepat di bibir vaginanya dia bayangkan seolah penis lelaki. Dia gosok-gosokkannya vaginanya ke jempol jari kakiku. Dan kemudian dimasukkannya ke lubang vaginanya sendiri. Bu Retno mengentot jempol kakiku, benar-benar seperti serigala betina yang kelaparan.
"Enak, Jeng. Enaak sekali Jeng".
Kemudian kulihat tubuhnya mulai meregang seakan dialiri listrik ribuan watt. Tubuhnya mengejang. Pahaku dicakarnya dan kukunya seakan hendak ditanamkannya ke daging pahaku. Saat itu juga aku langsung meraih rambutnya. Kujambak dan kuelus secara berbarengan. Akhirnya Bu Retno memperoleh orgasmenya. Dia berteriak histeris tanpa mempedulikan kemungkinan bahwa suaranya akan terdengar oleh para pembantunya. Nafasnya terus memburu saat kurasakan kedutan-kedutan nonoknya yang beruntun disertai cairan hangat dari lubang vaginanya yang menyirami jari-jari kakiku.
Akhirnya tubuhnya rebah. Dia lepas semua pegangan tangannya dari tubuhku. Dia tergolek kelelahan. Tetapi dari wajahnya nampak senyum penuh kepuasan. Kini ganti aku yang blingsatan. Serbuan histeris Bu Retno telah membuatku terjerat tanpa mampu lagi menghindar dari seretan nafsu birahiku.

Aku melihat Bu Retno telentang, dan kuperhatikan juga bibirnya yang ranum dan seksi itu. Aku merunduk ke wajahnya. Kujilat sesaat bibir itu, kemudian kukulum dengan sepenuh nafsu birahiku. Bu Retno tidak merespons lumatan bibirku. Mungkin saking lelahnya. Tetapi aku justru sangat menikmati kepasifan dan kepasrahannya itu. Kusedot mulutnya yang terus mengalirkan ludah yang tak habis-habisnya dari kelenjar air liurnya. Kemudian dengan leluasa, kuciumi tubuhnya yang sangat wangi alami itu. Kucium dan kujilati ketiaknya yang berbulu lembut hingga kuyup oleh ludahku. Kusedot juga payudaranya yang besar membukit. Seperti layaknya bayi, kuisap puting-putingnya. Kuciumi perutnya yang lembut, kusedot pusarnya. Kuisap pula jembutnya yang samar-samar itu. Kemudian aku menyeruak ke selangkangannya. Kubuka lebar-lebar pahanya untuk kutenggelamkan wajahku ke selangkangannya.

Kutemukan kelentitnya di antara bibir vaginanya. Kelentit yang tumbuh menjepit liang vaginanya itu sedemikian besar dan mengeras oleh tekanan darah yang naik ke urat-uratnya. Bibir vagina dan kelentit itu kukulum dan kuisap demi memuaskan kehausan bibir dan lidahku. Cairan vaginanya yang membasah setelah orgasmenya tadi masih mengalir dari liang nonoknya. Aku tak tahan untuk tak menciuminya. Kubenamkan bibirku hingga kuyup oleh cairannya. Kujilat dan kunikmati rasa sedap dan gurihnya cairan Bu Retno. Aku semakin menggila. Aku ingin menirukan apa yang telah dilakukan Bu Retno kepadaku. Kujepit paha kanannya dengan kedua pahaku. Kumasukkan jari-jari kakinya ke lubang kemaluanku. Kupompakan ke dalamnya. Kubayangkan jari-jari kaki Bu Retno yang seakan penis lelaki. Kubayangkan kontol Basri yang sebesar pentungan itu sedang menembus memekku. Aku menjadi lupa diri.

Sambil terus menjilati nonok berbulunya, pantatku naik turun semakin cepat mengentot jari-jari Bu Retno. Makin cepat. Dan akhirnya datang juga. Rasa kencingku kemudian mendesak dan langsung meluap ke permukaan. Cairan birahiku menyembur-nyembur membasahi kaki Bu Retno. Aku ngos-ngosan hingga tetes terakhir cairanku tumpah. Aku langsung rebah ke samping tubuh Bu Retno.

Beberapa saat kami masih terlena, hingga terdengar ketukan halus di pintu. Serta merta aku menarik seprei sutra ranjang itu untuk menutupi tubuhku. Bu Retno sendiri bangun dengan tenangnya, masih dalam keadaan telanjang berjalan menghampiri pintu. Dia mengintai dari lubangnya. Kemudian pelan-pelan dibukanya pintu. Aku sungguh-sungguh terkejut. Surti.., dia adalah Surtiku. Dia sempat melihatku sekilas sebelum Bu Retno membuatku lagi-lagi terkejut.., dia langsung memeluk dan menciumi leher serta bibir Surti. Sekali lagi aku terkejut, ternyata Surti nampak telah terbiasa.

Aku akhirnya tahu. Daya analisisku dengan cepat menangkap makna apa yang kini sedang terjadi di depan mataku. Semua ini ternyata adalah sebuah konspirasi erotis antara Surti dengan Ibu Retno. Ini bukanlah sebuah kebetulan.
Kehadiran Surti di rumahku adalah awal skenario konspirasi mereka. Surti bertugas melakukan kondisioning. Surti mengkondisikan dan memastikan bahwa aku bisa digauli oleh istri bossnya, tempat dimana dia mengabdi. Aku kemudian dapat dengan jelas melihat "asap dan api"-nya. Ah, dasar serigala-serigala betina.

Kini kulihat Bu Retno dengan sangat tergesa-gesa mulai melucuti pakaian Surti. Dilemparkannya begitu saja pakaian Surti ke lantai. Celana dalam dan BH Surti sengaja ditinggalkannya. Walaupun baru kemarin selama hampir seharian penuh aku menggumuli Surti, tetapi belum bosan-bosannya aku mengagumi indahnya tubuh Surti. Dadanya yang bidang dengan buah dadanya yang sangat besar dan ranum itu sungguh mengundang birahi bagi siapapun yang melihatnya, bahkan untuk sesama wanita sekalipun. Pantatnya yang sintal membukit terhubung dengan pahanya yang sangat kokoh sensual, hingga membuat khayalku terbang jauh ke langit kenikmatan birahi. Dan dengan melihat betisnya itu, aku tak bisa berhenti dari keinginanku untuk terus menjilatinya.

Bu Retno nampak sangat binal. Dia berjongkok dengan sedikit mendongak menghadap celana dalam yang membungkus kemaluan Surti. Kemudian kulihat Bu Retno tampak seperti anak sapi yang menyusu puting induknya. Pasti hidungnya sedang berusaha menghirup sebanyak-banyaknya aromaa celana dalam tersebut. Terdengar desahan dan rintihan dari mulut-mulut mereka. Tangan Surti mengelus rambut Bu Retno. Mereka sedemikian asyiknya, seakan aku tidak hadir di ruangan itu. Adegan yang sekarang kulihat ini merupakan peristiwa pertama bagiku, dimana ada 2 perempuan bercumbu langsung di depan mataku. Aku ingin tahu, bagaimana kelanjutannya nanti. Dan merupakan hal yang sangat erotis bagiku untuk melihat dan mendengar desahan dan rintihan mereka dalam mengarungi lautan nikmat yang sedang melanda mereka saat ini.

Setelah cukup puas, Bu Retno bangkit dan kembali menciumi leher dan melumat mulut Surti. Kemudian pelan-pelan mereka bergeser ke ranjang. Kemudian aku menepi. Saat tiba di tepi ranjang, Surti menjatuhkan diri telentang di ranjang. Dia nampak bersikap pasif untuk melayani Bu Retno selaku dominatornya. Kulihat bagaimana binalnya Bu Retno merangsek selangkangan Surti. Seperti halnya serigala yang lapar, mulut sang putri ayu yang ningrat itu menggeram-geram karena khawatir makanannya di rebut serigala lain. Dan Surti sendiri dengan cepat meraih bantal dan tepian ranjang untuk diremasnya dalam upaya menahan nikmat yang melandanya.

Aku semakin tidak tahan mendengar desahan dan rintihan pilu tapi sekaligus erotis mereka. Kedengarannya mereka sedang tersiksa dan penuh derita. Aku jadi tergoda untuk mendekati Surti. Kuperhatikan wajahnya membalik ke arah "back drop" tempat tidur sambil menyeringai mengeluarkan rintihannya. Lehernya yang jenjang itu, nampak bersih mulus mengundang bibirku. Aku menelan air liurku. Buah dadanya yang bulat, besar dan sangat ranum tergoncang-goncang karena geliat blingsatannya dalam menahan kegatalan nonoknya dalam lumatan Bu Retno. Kulihat tangan Bu Retno menyingkap pinggiran celana dalam Surti dan lidahnya menjilati bibir vagina dan klitorisnya. Begitu nikmat nampaknya. Dan aku sangat merinding melihat ulah Bu Retno ini.

Aku mulai terseret dalam arus gelora birahi mereka. Aku kembali melihat wajah Surti yang tengadah dengan bibirnya yang terus mengeluarkan desahan dan rintihan. Dengan melihat bibir yang menggairahkannya itu, aku terdorong untuk mendekatkan wajahku. Dan kuputuskan untuk ikut 'nimbrung' dengan mereka. Kujemput bibirnya dan segera kulumat.
Surti langsung menerimanya dan merespons lumatanku dengan penuh kehausan. Mungkin dia memang telah menunggunya dari tadi. Aku kini ikut mengerang. Tanganku bertemu dengan tangan Bu Retno yang sama-sama meremas buah dada Surti. Jari-jariku, juga jari-jari Bu Retno memainkan puting-puting payudara Surti.

Kini ada 3 perempuan yang sama-sama mengayuh nafsu birahi di ranjang Bu Retno.
"Ludahi aku Mbak Mar.., ludahi aku.., tolong Mbak Mar.., aku hauss.., tolong..", Surti meracau kehausan birahi.
Bibirku bergeser melumat lehernya yang jenjang itu. Kepalanya yang masih mendongak ke "back drop" ranjang membuatnya lehernya yang jenjang demikian terbuka. Bibir dan lidahku menyisir seluruh lekukan dan lipatan-lipatan leher indah itu. Harum leher Surti yang alami dengan semburat parfumnya terus terbawa hingga tidurku selama ini.
Aku kemudian bergesar ke dadanya. Berebut dengan tangan Bu Retno, aku mencium buah dada Surti dengan penuh perasaan birahiku. Buah dada Surti juga menebarkan aroma alami serta berbaur lembut dengan aroma parfumnya. Aku mengisap-isap setiap milimeter buah dada ranum itu seakan ingin memindahkan sisa keringatnya ke lidahku. Aku kulum puting-putingnya.

Surti terus meracau kehausan birahi. Aku beringsut menuju ketiaknya yang terbuka karena tangannya ke atas dan kepalanya meremasi bantal dan tepian ranjang. Aku sangat ketagihan bau ketiak seperti ini. Semburat bau bawang dari keringatnya bercampur dengan aroma pewangi di ketiaknya. Aku serasa tak ingin pergi dari lembah indah nan sensual milik Surti ini. Bermenit-menit aku asyik masyuk dalam ciuman dan jilatan pada ketiaknya. Kali ini tangan Surti dengan paksa meraih kepalaku untuk dipagutnya. Aku mengikutinya dengan kepasrahan nikmat. Surti dengan penuh kehausan melumat dan mengisap ludahku.

"Mbak Marini, aku sangat haus Mbak.., tolong Mbak..", dia berbisik padaku kemudian mengangakan mulutnya.
Aku tidak tega akan permintaannya yang sedari tadi terus dia rintihkan. Aku mengumpulkan air liurku ke bibirku. Kuludahi mulut Surti yang segera mengenyam-enyamnya dan menelannya. Dia benar-benar kehausan. Beberapa gumpalan air liur dari bibirku kuludahkan ke mulutnya, hingga Surti tenang. Sementara itu rangsekan mulut Bu Retno di kemaluan Surti belum kunjung berhenti juga. Surti menjambak rambut Bu Retno dan menariknya ke mulutnya, kembali dia membisikkan hal yang sama seperti pada permintaannya padaku sebelumnya.

Mungkin Bu Retno sudah terbiasa dengan permintaan Surti ini. Berkali-kali dia mengumpulkan ludah di bibirnya dan kemudian diludahkannya ke mulut Surti. Aku melihat pemandangan yang sungguh luar biasa itu. Tidak tahu dari mana asalnya, tiba-tiba tangan Bu Retno telah menggenggam dildo yang telah siap dimasukkannya ke lubang vagina Surti. Aku dimintanya membantu mengarahkan tongkat kenikmatan itu ke lubangnya. Wow, aku kini melihat sebuah "close up" dari vagina Surti yang telah memberikan kenikmatan baik padaku maupun Bu Retno.

Dengan sedikit jembut di vaginanya, kemaluan Surti sungguh sangat ranum. Bibir-bibirnya yang menggumpal padat saat dilanda birahi, nampak kencang dan getas hingga pasti akan membuat setiap lelaki ingin segera menyetubuhinya. Dan kelentitnya itu, sangat merangsang. Lidahku tak bosan-bosannya mengulum dan melumatnya. Kini tanganku telah siap menusukkan dildo berkepala 2 itu ke kemaluan Surti. Kulekatkan salah ujung kepalanya ke bibir vagina Surti, kemudian kutekan.
Surti menjerit nikmat, "Aacchh, Mbakk.., terusin, Mbaak..".
Dengan berlumuran lendir lengket cairan birahi Surti, dildo di tanganku pelan-pelan amblas ditelan vagina Surti. Kemudian aku mencoba memompakannya. Kulihat mata Surti terpejam-pejam menikmati tusukan dan pompaanku sambil tangannya lebih meremas dan menjambak rambut Bu Retno yang masih terus asyik melumat buah dada Surti. Nampaknya antara Bu Retno dan aku sejalan seperasaan. Bu Retno dan aku ingin agar Surti segera meraih kepuasan birahinya. Dan rasanya hal itu juga sangat diinginkan oleh Surti sendiri.

Saat pompaan dildo di tanganku menembus memeknya, Surti mulai histeris mengangkat-angkat pantatnya menjemput batang nikmat itu.
"Terus Mbak Maar.., cepat lagi, Mbaakk.., teruusshh..", Surti meracau.
Aku mempercepat pompaanku. Seperti layaknya perempuan yang hendak melahirkan, tangan Surti memegang kisi-kisi ranjang di belakang kepalanya dengan wajahnya yang menyeringai menahan kenikmatan gatal birahi di seluruh tubuhnya.
Bu Retno terus secara intensif melumat-lumat buah dada, puting dan mencengkeram ketiak Surti. Sementara pompaanku tak juga mengendor, bahkan semakin cepat.

Dan tak ayal lagi, dengan teriakan tertahan karena takut akan kegaduhan yang ditimbulkannya, kulihat dalam jarak dekat, cairan vagina Surti menyemprot berceceran mengalir keluar terbawa oleh batang tongkat dildo yang keluar masuk kupompakan ke dalam vaginanya. Bu Retno dan aku langsung ikut terseret dalam arus birahi Surti. Kami ikut menyala terbakar. Bu Retno menunjukkan kekuasaanya dalam ruangan sempit kamarnya itu. Direnggutnya dildo dari tanganku. Dicabutnya dari lubang vagina Surti kemudian dikulum-kulumnya. Mulutnya menyedot lendir Surti yang masih menempel di batang nikmat itu. Kemudian disodorkannya kembali mulutnya ke vagina Surti yang sedang kebanjiran cairan birahinya. Dengan penuh kerakusan, Bu Retno menjilat dan menyedot serta meminum seluruh cairan itu.

Aku sebenarnya juga sangat ingin bertindak seperti Bu Retno. Sejak aku memompakan dildo ke kemaluan Surti tadi, aku sudah membayangkan menyedot cairan Surti langsung dari lubangnya. Tetapi, Bu Retno lebih berkuasa. Aku hanya dapat menelan air liurku melihat kerakusannya. Tetapi sementara itu, justru aku merasa mendapat 'kompensasi' saat melihat pantat Bu Retno yang menungging dengan indahnya. Kulihat anusnya yang masih kuncup, dilingkari garis-garis tipis hingga ke titik pusatnya. Dan tak jauh dari itu, tepat di bawahnya, kulihat nonoknya yang merekah tembem di hiasi jembut-jembut tipisnya.

Seperti tertarik medan magnit yang sangat kuat, aku langsung menubruk pantat Bu Retno. Kujilati anal, nonok dan sekelilingnya. Kupuas-puaskan lidah dan bibirku menciumi anal Bu Retno yang wangi itu. Hidungku mengendusi aroma yang khas dari analnya. Rupanya aku tidak dapat berlama-lama menggeluti anal Bu Retno.
"Tolong Jeng.., Jeng Marinii.., tolong.., masukin dildo ke nonokku.., ayoo Jeng.."
Sekali lagi aku tak bisa menolak permintaan nyonya boss besar ini. Rupanya dalam keasyikan menyedot cairan birahi dari vagina Surti itu, nafsu Bu Retno kembali melonjak. Kemudian jilatanku pada anal dan vaginanya bahkan mendongkraknya lebih jauh lagi.

Aku harus puas dengan apa yang sudah kuraih. Kusambut dildo dari tangan Bu Retno. Dengan tetap menungging sambil tetap menjilati cairan vagina Surti, memek Bu Retno kutusuk dengan dildo besar panjang itu. Dia menjerit kecil saat kepala dildo itu berhasil menembus gerbang vaginanya. Kemudian kupompa sedikit demi sedikit, hingga separuh dildo panjang itu terlahap habis ke mulut rahim dalam vagina Bu Retno.
"Ampun nikmatnya Jeng.., nikmat sekali Jeng.., terusshh.."
Kini Bu Retno menghentikan jilatan pada vagina Surti. Dengan kedua tangannya yang bertumpu pada kasur, dia gerakkan maju mundur pantatnya dalam upaya menjemput dildo di tanganku yang memompa vaginanya. Mendengar rintihan haus dan pilu serta erotis dari mulut Bu Retno, Surti yang baru saja meraih orgasmenya bangkit membantu Bu Retno dalam bisikan erotis di telinganya.
"Enak ya, Bu.., seperti kontol Basri ya Buu..", aku lebih terkejut lagi.
Tenyata serigala-serigala betina ini juga telah menikmati besarnya kontol Basri si Satpam itu. Kurang ajar. Tetapi biarlah, terbukti bahwa aku tidak sendirian kini, aku bahkan kini tersenyum. Dan tak urung aku juga mulai kegatalan lagi. Melihat apa yang tengah berlangsung, Bu Retno begitu menghayati dildonya dan membayangkan kontol Basri, nafasku kini memburu. Aku ingin berkesempatan sekali lagi meraih orgasmeku. Kukocok-kocokkan jari-jariku ke lubang kemaluanku hingga mulutku mendesah dan meracau ramai.
"Iya Buu.., kontol Basri itu gedee dan enak Buu..".
Mungkin karena desahan dan racauanku, Bu Retno semakin mempercepat gerakan pantatnya untuk menjemput dildo di tanganku. Dan melihatku yang juga telah ikut terseret dalam nafsu menggebu, Surti segera mengambil alih. Pompaan dildo di kemaluan Bu Retno dipercepatnya hingga Bu Retno menggelepar-gelepar, memegang keras-keras tangan Surti agar lebih mempercepat dan memperdalam tusukan dildonya dan akhirnya Bu Retno kembali mendapatkan orgasmenya, demikian pula aku. Begitu Bu Retno menumpahkan cairannya yang mengalir keluar dari nonoknya, dan begitu dipikirnya tugas dildo dalam vaginanya telah usai, Surti melepasnya keluar.

Dildo yang basah kuyup oleh cairan vagina Bu Retno itu disumpalkannya ke mulutku. Kudapatkan sensasi birahi yang bukan main hebatnya. Kujilati dildo bekas nonok Bu Retno. Cairan birahi yang masih menempel pada batang itu kutelan habis membasahi tenggorokanku. Kemudian oleh Surti, dildo itu dimasukkannya lagi ke nonokku. Dia pompakan ke dalamnya menggantikan kocokan jari-jariku. Kemudian nafsuku mendorongku untuk meraih nonok Bu Retno. Aku menyedot seluruh cairan birahinya. Yang meleleh keluar dan jatuh ke seprei sutra ranjang, kusedot hingga bersih. Dan dengan sensasi birahi yang melandaku dengan hebat, keinginan kencingku kembali mendesak untuk tumpah keluar. Aku menggelinjang mengangkat pantatku menjemput dildo di tangan Surti. Dan di saat yang paling puncak, kutarik wajah Surti. Aku minta 'imbalan' yang sama atas apa yang telah kuberikan padanya.
"Surtii, ludahi mulutku, ayyoo Surtii.."

Ternyata bukan hanya Surti, melainkan Bu Retno juga langsung merunduk ke wajahku. Gumpalan-gumpalan liurnya yang terkumpul di bibirnya diludahkannya ke mulutku, bergantian dengan ludah Surti yang juga terus menghujaniku. Aku merasa sangat tersanjung. Sepertinya mereka berdua memanjakanku. Mereka berdua melayaniku untuk meraih kepuasan nafsu birahiku. Dan akibatnya rasa kencingku serasa meledak, tumpah ruah. Kulihat Bu Retno dan Surti berebut untuk mengisap nonokku. Suara-suara geraman mereka seperti serigala-serigala yang berebut makanan. Serigala-sergala betina yang kelaparan. Dan kini, aku sendiri telah mengalami "metamorphose", telah berubah menjadi salah satu kawanan mereka.

Beberapa saat kemudian kami terlena di kamar tidur Bu Retno yang ber-AC dingin itu. Kami baru terbangun saat pelayan Bu Retno memberi tahu bahwa makan siang sudah terhidang di ruang makan. Kami sepakat untuk mandi sebentar, merapikan pakaian dan bersama-sama turun. Jam telah menunjukkan pukul 12.20 siang. Di meja makan, Bu Retno mengingatkan beberapa "point" materi yang perlu disampaikan dalam pertemuan bersama ibu-ibu pada pukul 4 sore nanti. Semua point itu menjadi catatan Surti selaku sekretaris boss, untuk menjadi perhatiannya. Dan aku ternyata tidak perlu melakukan apa-apa, karena semua masalah sudah dapat diselesaikan oleh pengurus yang lain.

Setelah selesai makan siang, Bu Retno mengisyaratkan pada pelayan yang juga merangkap sebagai kepala rumah tangganya agar tidak menerima telepon sampai dengan pukul 3 sore nanti. Pesannya, kami bertiga harus segera menyelesaikan tugas-tugas penting di kamar Bu Retno. Ah, ternyata belum juga kenyang makan siang para serigala betina ini. Sebelum beranjak kembali ke kamar beliau, Bu Retno memberikanku minuman sehat dalam kemasan botol seperti minuman sehat yang banyak beredar itu.
"Jeng, ini buatan Amerika, minumlah. Aku secara rutin minum ini untuk menjaga staminaku. Aku juga sudah memberikannya pada Surti. Kalau Jeng Marini suka, nanti akan selalu kusediakan buat Jeng".
"Tapi jangan kaget Jeng, kalau nanti sehabis minum ini Jeng Marini merasa ngantuk sekali. Tetapi itu hanya sebentar. Sesudah itu Jeng Marini akan segar kembali, bahkan akan merasa sangat bergairah".
"Dan Jeng, nanti Jeng Marini akan pipis banyak sekali. Itu berarti ginjal Jeng berfungsi dengan baik, mencuci segala kotoran untuk dibuang menjadi air seni yang banyak itu".
Aku percaya saja dengan perkataan Bu Retno. Kuterima pemberian Bu Retno. Kuamati sebentar kemasannya sebelum kuminum habis hingga tetes terakhir. Bu Retno secara konsisten dan konsekuen tetap sedemikian memperhatikanku sebagaimana yang telah terjadi selama ini. Hal-hal yang telah terjadi pada hari ini sama sekali tak mempengaruhinya.

Sementara itu Surti menyenggolku dan bertanya.
"Aku kok nggak dikasih tahu sih, kapan si Satpam itu kontrol rumah Mbak Marini?".
Dia mulai dengan tersenyum dan mengakhirinya dengan terbahak. Bu Retno yang mendengarnya dari seberang meja melepas senyum manisnya. Selesai makan siang, Bu Retno mengajak kami untuk duduk di taman beranda kamarnya di lantai 2. Ternyata taman itu sangat luas dan indah. Dibangun di atas beton di lantai 2, taman itu diisi tanaman yang indah penuh bunga. Masuk ke taman itu serasa berada di pedesaan. Ada air gemericik yang jatuh dari bebatuan, ada kolam ikan mas. Dan di taman itu Bu Retno bisa berjemur matahari dengan telanjang tanpa harus khawatir dilihat orang. Di sekeliling taman dibangun tembok tinggi. Tetapi berkat penutup tanaman rambat yang subur, tembok itu tidak terasa membatasi pandangan.

Kami memilih duduk di bawah payung taman itu. Kepalaku terasa ringan melayang. Aku ingat minuman buatan Amerika tadi. Rupanya efeknya sedang berproses dalam tubuhku. Aku mengantuk sekali dan aku juga merasakan keinginan akan adanya seseorang yang memeluk dan membelaiku. Aku jadi teringat akan semua kenikmatan yang baru saja kualami bersama Bu Retno dan Surti. Aku ingat betapa nikmatnya saat tangan-tangan mereka menjamah buah dadaku. Aku ingat betapa nikmatnya lidah-lidah mereka menjilati ketiakku. Aku ingat betapa nikmatnya saat dildo itu menyodok saraf-saraf peka di vaginaku. Aku juga ingat betapa nikmatnya saat-saat menjelang orgasme. Aku ingat wajah Surti yang menyeringai dilanda kenikmatan birahi yang diperoleh dari jilatan Bu Retno di nonoknya. Aku juga teringat saat aku menjilati anus Bu Retno dan mencium aromanya. Ahh.., aku sedikit limbung.

Sekarang, tiba-tiba aku telah dalam keadaan telanjang bulat. Tetapi aku tidak ingat, sejak kapan aku telanjang. Aku juga tidak ingat siapa yang telah melepas pakaianku. Aku juga tidak ingat, bagaimana bisa aku berada dan telentang di bangku taman yang tipis ini, dengan kedua kakiku yang mengangkang ke kanan dan ke kiri pada dudukan bangku yang tipis itu, terjuntai ke tanah. Yang kini dapat kurasakan hanyalah lumatan-lumatan lembut di bibirku. Aku juga merasakan ada lidah yang sedang menjilati nonokku.

Kurasakan kenikmatan yang tak terkira. Aku merasa seakan terbang jauh. Aku sepertinya terbang tinggi. Kurasakan saraf-sarafku menggelinjang di sekujur tubuhku. Aku merasakan keinginan yang amat sangat akan adanya seseorang yang bersedia menciumi seluruh pori-pori tubuhku. Aku tahu mataku agak berat untuk dibuka. Tetapi aku memang tak ada keinginan untuk membuka mataku. Kenikmatan lumatan di bibir dan jilatan di kemaluanku akan terasa lebih nikmat kurasakan dalam keadaan mataku yang setengah tertutup ini. Aku mendengar suara desahan, kucoba mengingat suara siapa itu. Kemudian aku juga mendengar suara rintihan, aku mencoba mengingat siapa yang merintih itu.

Kini, pelan-pelan kurasakan ada cahaya. Aku mulai ingat. Aku bersama Bu Retno dan Surti pergi ke taman ini. Dimanakah mereka saat ini? Apakah mereka yang kini sedang melumati bibir dan menjilati nonokku? Apakah desahan itu desahan Surti. Dan rintihan itu rintihan Bu Retno? Rasa gatalku memusat ke selangkanganku di mana seseorang tengah asyik menjilat nonokku. Kegatalan itu coba kutepis dengan mengangkat-angkat pantatku. Aku ingin agar jilatan lidah itu lebih merasuk ke dalam lagi. Aku ingin agar jilatan itu menyentuh hingga dinding vaginaku. Kemudian aku juga merasakan tenggorokanku yang sangat kering. Dan aku dilanda rasa haus yang sangat. Aku berusaha menguranginya. Aku coba membalas lumatan lembut di bibirku. Aku berusaha menyedot air liur dari bibir yang tengah melumatku itu.
Kemudian saat seluruh tubuhku akhirnya tak mampu lagi menahan kehausan yang amat sangat tersebut, kucoba meringankannya dengan merintih dan mendesah. Aku mencoba terus merintih dan mendesah.

Kini, aku semakin dapat mengingat. Desahan itu adalah desahan Surti yang sedang melumat bibirku. Dan di bawah sana adalah rintihan Bu Retno yang sedang menjilati kemaluanku. Ah, rupanya mereka sedang berpesta menikmati tubuhku.
Rasa kantuk yang sangat berat itu rupanya hanya gejala awal dari minuman pemberian Bu Retno yang mempengaruhi tubuhku. Kini aku merasakan hal yang lain. Kantukku pelan-pelan menghilang. Kini aku juga ingin berpesta bersama mereka. Kini aku ingin berpesta menjilati nonok Bu Retno dan melumati buah dada Surti. Aku mencoba untuk bangun. Tetapi aku belum bisa. Surti mulai melumat buah dada dan puting payudaraku. Tangannya memeluk dan mengelus-elus pinggulku. Desahannya makin terdengar jelas di telingaku.
"Duh, Mbak Marini, payudaramu sangat nikmat..".
Bu Retno meninggalkan cupang-cupang di sekujur pahaku. Tangannya mengelus bokongku. Rintihannya makin jelas di telingaku,
"Jeng Marini.., aku sudah lama mengimpikan seperti ini.., sudah lama ingin menjilati vaginamu.., sudah lama aku ingin agar kamu pasrah padaku, untuk kujilati.., untuk kulumat.., untuk kukecup seluruh tubuhmu".

Seharusnya aku yang berkata begitu, karena aku juga sudah lama menginginkan saat-saat seperti ini. Kucoba untuk menggerakkan tanganku. Kuraih kepala Bu Retno di selangkanganku. Kutarik rambutnya dan kuremas. Pantatku terus menggelinjang naik turun. Rupanya dengan mengangkang di bangku taman yang tipis dan dengan kakiku yang berjuntai ke tanah membuat lubang nonokku terkuak merekah. Lidah Bu Retno tak perlu bersusah payah lagi untuk menembus ke dalamnya. Sedari tadi Bu Retno belum bergeser dari lubang yang terkuak itu. Dia ingin mengeringkan dengan lidahnya semua cairan dan lendir birahiku yang kurasakan mulai hadir di vaginaku.

Tanganku yang lain kucoba untuk mengelus kepala Surti yang kini tengah berada di atas bukit buah dadaku. Ciuman dan jilatannya pada payudaraku dan puting-putingnya membuat saraf-saraf peka di sekujur tubuhku seakan mendapat giliran terkena aliran stroom ribuan watt. Aku menggelinjang dengan hebat. Aku berontak dari ketidakberdayaanku. Aku kembali memiliki kekuatanku. Aku kembali memiliki keinginan-keinginanku. Aku kembali merasakan sepenuhnya gelegak birahiku. Aku kembali ingin meraih kepuasan orgasmeku. Aku kembali ingin menyetubuhi perempuan-perempuan ini.
Kutolak tubuh Surti dari buah dadaku dan kutarik kembali agar dia mengangkang di atas tubuhku yang masih telentang di bangku tipis ini.

Surti melangkahkan paha kanannya menyeberangi tubuhku. Kini dia berposisi setengah berdiri dengan nonoknya berada tepat dia atas wajahku. Tak ayal lagi aku bergetar menyambutnya. Kubenamkam mulutku ke nonoknya yang terkuak merekah lebar itu dan kusedot isinya. Cairan birahinya kujilati dengan penuh kerakusan. Kini tangan-tangan Surti berganti meraih kepalaku, menariknya agar jilatanku lebih meruyak dalam ke liang vaginanya. Aku dan Surti bersama-sama menjadi histeris. Aku mendesah liar sementara Surti merintih dan mengaduh-aduh tak terkendali. Pantatnya dinaik-turunkan layaknya sedang memperkosa mulutku. Aku meremas dan menghunjamkan kuku-kukuku ke daging pahanya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku agar dapat meraih lebih banyak lendir vagina di selangkangannya. Aku diburu nafsuku. Aku diburu ledakan birahiku. Kenikmatan yang teramat sangat dahsyat.

Sementara itu kegatalanku di bawah sana, di kitorisku menjadi paduan kenikmatan yang dahsyat melandaku. Bu Retno melihat perkembanganku dan Surti hingga ikut terbawa arus. Nafsu birahinya juga ikut mengganas. Dia menyambar dildo dua kepala yang rupanya telah dipersiapkan sebelumnya. Diangkatnya kakiku hingga ke pundaknya. Pantatnya digeserkan ke depan mendekat ke pantatku. Dimasukkannya salah satu kepala dildo itu ke kemaluanku yang langsung melahapnya. Kemudian dia masukkan kepala dildo sisi yang lain ke kemaluannya sendiri. Dalam waktu yang sangat singkat, dia sudah mengayun-ayun dan memompa dildo itu ke kemaluannya dan ke kemaluanku. Sungguh sangat sensasional.

Dua perempuan cantik itu kini sedang menggarap tubuhku. Dia atas bangku taman yang tipis memanjang ini, Surti mengangkang dengan nonoknya yang getas dan membasah dalam lumatan mulutku, sedangkan di belakangnya, Bu Retno menggarapku dengan dildonya. Kini kami bertiga berpacu bersama menapak puncak-puncak kepuasan kebetinaannya. Kini kami bertiga sedang dipacu dan diburu gelombang dahsyat untuk meraih orgasmenya. Kurasa taman alam pedesaan yang penuh bunga itu telah berubah menjadi hutan yang dihuni serigala-sergala betina yang haus dan lapar. Yang lolongannya memenuhi belantaranya hingga ke ujung-ujungnya. Kegaduhan erotis dalam bentuk desahan, rintihan dan racauan liar memenuhi hutan itu.

Rasa seperti ingin kencingku sudah kembali hadir kini. Aku yakin aku sudah berada di ambang orgasmeku. Dan tak ayal lagi gerakan bagian-bagian tubuh sensitifku membuas tak terkendali. Surti memperketat jambakan tangannya pada rambutku. Dan Bu Retno mempercepat ayunan dildonya ke memekku hingga aku tak kuasa lagi membendungnya. Dengan jeritan yang membahana di taman hutan itu, kurasakan cairan orgasmeku muncrat-muncrat. Kubenamkan lebih dalam kukuku ke paha Surti untuk menahan kenikmatan dahsyatku. Kuangkat tinggi-tinggi pantatku untuk menjemput dildo Bu Retno agar dapat lebih meruyak lagi ke dalam vaginaku. Setelah itu segalanya kulepaskan. Aku terjatuh lunglai. Aku merosot ke tanah di taman penuh bunga itu. Aku merasakan kelegaan yang amat sangat setelah melewati badai nafsuku yang sempat melemparkanku terombang-ambing dalam gairah birahi. Nafasku yang tersengal mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Aku merasakan tubuhku dibangunkan dan diangkat ke sofa di taman itu. Aku disenderkan di tempat empuk di sana. Kakiku mereka rentangkan terbuka. Aku dapat melihat dan merasakan bahwa Bu Retno langsung kembali merangsek nonokku. Dia ingin meminum cairan orgasmeku. Sementara kulihat Surti menjilati dildo dua kepala itu. Dia menjilati cairanku dan juga cairan yang mulai membasah dari kemaluan Bu Retno. Surti dan Bu Retno masih belum berhasil meraih orgasmenya. Dan kini tubuhku sepenuhnya menjadi obyek pemuasan birahi mereka. Ada rasa tersanjung yang menyelinap dalam relung hatiku. Bu Retno dan Surti sangat menggilai diriku. Mereka sangat merindukan apapun yang keluar dari tubuhku. Mereka akan melumatnya, meminum dan bahkan memakan apapun yang keluar dari tubuhku. Mereka menatapku dengan nyalang dan dengan penuh kehausan serta kerakusan birahi pada tubuhku.

Aku masih kelelahan akibat orgasmeku tadi. Aku yang kini telah tersadar sepenuhnya mencoba mengingat-ingat, bagaimana caranya hingga aku sempat terbius oleh minuman dari Bu Retno tadi. Rupanya begitu aku terserang kantuk, mereka melucuti pakaianku hingga telanjang bulat. Dan mereka juga melucuti pakaiannya sendiri. Kemudian mereka letakkan tubuhku ke atas bangku tipis panjang itu. Mereka ingin agar seluruh tubuhku terbuka. Tanganku yang jatuh terkulai membuka ketiak dan dadaku. Kakiku yang terjuntai ke tanah membuka selangkanganku dan juga membuat kemaluanku merekah terbuka lebar-lebar. Dengan cara begitu, Surti dan Bu Retno benar-benar dapat menikmati pesona tubuhku secara habis-habisan. Kembali perasaan tersanjung menyelip di dadaku hingga terlontar senyum di bibirku. Aku sangat menikmati kekaguman dan kegilaan mereka pada tubuhku.

Saat ini kulihat Bu Retno memegang dildo yang lain, memasukkannya ke kemaluannya dan mengocok-ngocoknya sambil mulutnya terus melumat kemaluanku. Sementara itu Surti masih menjilati dildo berkepala dua yang baru saja kupakai bersama Bu Retno tadi. Rupanya cairan cintaku masih banyak menempel pada dildo itu. Juga cairan birahi Bu Retno yang mulai mengalir dari vaginanya masih nampak membasah pada ujung kepala sisi yang lain dari dildo itu. Dan erangan dari mulutnya terus meracau karena kocokan dildo yang lain lagi pada kemaluannya. Mereka berdua kulihat sedang bermacu mengejar kepuasan tertingginya. Mereka ingin meraih orgasmenya masing-masing. Dan ternyata tak lama kemudian, secara hampir bersamaan, Surti dan Bu Retno berteriak histeris. Kulihat tangan-tangan mereka dengan sangat cepat mengeluar-masukkan dildo ke vaginanya masing-masing. Akhirnya mereka semua berhasil meraih orgasmenya.

Kemudian hening, yang terdengar hanyalah nafas-nafas kelelahan dari 3 perempuan yang semuanya telanjang bulat di taman indah ini. Dan ketiganya bermandi keringat setelah bekerja keras mengejar kenikmatan nafsu birahinya. Sesuai dengan apa yang dikatakan Bu Retno, kini aku merasa desakan ingin kencing. Aku bangun dari lantai dan bergerak menuju toilet. Baru 2 atau 3 langkah aku beranjak, Bu Retno kembali memanggilku.
"Sebentar Jeng. Mau kencing ya? Sini dulu. Duduk di sini".
Dia melambaikan tangannya dan menunjuk ke sofa agar aku duduk kembali. Kutahan sebentar desakan ingin kencingku, mungkin ada hal penting yang ingin disampaikannya padaku.
"Jeng Marini, kencing saja di sini. Aku pengin lihat nonok Jeng Marini saat mengeluarkan air seninya".
Edan, belum pernah terjadi ada orang yang ingin melihatku saat buang air. Aku sendiri pasti akan malu setengah mati kalau saat sedang melakukannya dilihat orang lain.
"Sini Jeng, nggak apa-apa kok. Ibu jamin deh, nggak usah malu", katanya meyakinkanku hingga aku merasa kesulitan menolak permintaannya.

Mungkin itu merupakan salah satu unsur kepuasannya dalam menikmati apapun yang keluar dari tubuhku, biarlah. Aku menurutinya untuk duduk. Kemudian Bu Retno beranjak sebentar mengambil gelas kristal bening dari meja toilet yang tampaknya telah disediakannya sebelumnya. Kemudian dia berbalik mendekatiku dan membetulkan posisiku. Dia memintaku bersandar ke sofa, dengan kakiku naik melipat ke dada hingga memekku "exposed" tanpa hambatan.
"Udah Jeng, ayo kencing saja, biar aku sama Surti melihat dan menikmati saat Jeng Marini kencing".
Karena sudah sedemikian ngebetnya, tak ada yang mampu mencegahnya lagi, dan kemudian mancurlah air seniku. Cairan bening kekuning-kuningan mancur deras dari kemaluanku.

Ternyata Bu Retno dan Surti bukan sekedar melihatnya. Wajah mereka dengan cepat bergerak ke depan menjemput kencingku dengan mulutnya masing-masing yang menganga. air seniku langsung masuk ke mulut mereka. Ke Surti kemudian berganti ke Bu Retno. Tubuh mereka juga bermandikan air seniku. Dengan gelas kristalnya, Bu Retno juga menampung air seniku yang tercecer. Mereka dengan rakusnya meminum air seniku. Dan aku sungguh merasa heran, air seniku kali ini sedemikian deras dan sedemikian banyaknya mancur keluar, sesuai dengan keterangan Bu Retno tentang 'jamu' Amerika yang kuminum tadi.

Aku melihat sesuatu yang sangat sensasional. Dua perempuan cantik yang sedang berebut meminum air seniku. Mereka demikian menunjukkan gairahnya hingga saling berebut untuk menangkap pancuran air seniku yang berwarna kekuning-kuningan yang baru saja keluar dari nonokku. Aku melihat ekspresi kepuasan pada wajah-wajah mereka. Khususnya pada wajah Bu Retno. Nampaknya seluruh skenario beliau dalam upaya menikmati seluruh tubuhku tak ada yang tak terlaksana. Bu Retno secara khusus menyampaikan terima kasihnya padaku. Dia cium bibirku dengan bibirnya yang masih berbau pesing oleh air seniku sendiri.

Ditunjukkannya gelas kristal yang berisi air seniku. Nampak bening dalam warna yang kekuningan. Seperti segelas bir yang baru keluar dari botolnya. Nampak di permukaannya ada busa-busa yang menepi di dinding gelas kristal itu.
"Jeng, ini adalah minuman termahalku. Ini adalah minuman sehatku. Aku akan berbagi dengan Surti untuk menghabiskannya".
Kemudian dia menenggaknya setengah dan sisanya diserahkan kepada Surti yang juga menenggaknya dengan rakus hingga tetes-tetes terakhirnya. Aku terpesona dengan apa yang baru saja kulihat di depan mataku ini. Gairah erotis menjalari kudukku. Aku jadi haus dan jadi sangat ingin melakukan hal yang sama seperti itu. Aku ingin pada suatu saat nanti, aku berkesempatan meminum air seni Bu Retno dan Surti. Aku memegang puting payudaraku. Kupelintir kecil untuk menyalurkan birahi kecilku yang lewat selintas.

Kurasa 'pesta' ini telah selesai. Jam sudah menunjukkan pukul 3.24 sore. Saatnya menyiapkan diri untuk menyambut tamu ibu-ibu yang akan arisan rutin pada pukul 4 sore ini. Dan kami bersepakat untuk mandi. Di kamar mandi, aku masih membayangkan peristiwa terakhir tadi. Bu Retno dan Surti yang nampak demikian menikmati air seniku. Ah, kapan giliranku bisa melakukannya..?

*****

Beberapa waktu kemudian, Bu Retno dan Surti benar-benar membuktikan padaku bahwa segala isu yang berkaitan dengan penyelewenganku benar-benar berhasil mereka redam. Para serigala teman Mas Adit tak seorangpun yang berani bersikap kurang ajar. Mereka menjadi sangat menghormatiku, kendati aku tahu mereka tetap menyimpan kerinduannya untuk kembali menyetubuhiku.

Sementara itu Mas Adit sendiri akhir-akhir ini telah banyak berubah. Dia ternyata akhirnya mampu memberikan kepuasan di atas ranjang bersamaku. Dia telah membuktikan dirinya sebagai orang yang pintar. Akhirnya dia menyadari bahwa kepuasan seks itu tidak diukur hanya secara fisik semata, karena jelas dia tak akan mampu memenuhi kebutuhan fisik seperti itu. Tetapi sebagai orang yang cerdas dan kreatif, dia telah banyak mengamati bahwa dengan semakin pintar dan majunya seseorang, kekuatannya bukan lagi pada ukuran fisik. Begitu juga dalam hubungan seksual.

Dia sudah sangat memahami apa makna kelembutan, perhatian, pengertian, toleransi, fantasi, kreatifitas dan improvisasi dalam berhubungan seksual. Mas Adit telah memahami bahwa seks adalah seni yang harus di dekati dengan sikap berseni pula. Mulai dari ciuman, rabaan, gigitan, elusan, desahan, rintihan, erangan, dengusan dan bahkan sebaliknya sesekali kata-kata pujian yang seronok, kotor dan jauh dari etika kesopanan sehari-hari, dapat menjadi sarana untuk mencapai kepuasan seksual. Hebat, aku heran, belajar dari mana dia. Bagaimanapun, aku sangat puas dan bahagia dengan perkembangan terakhir ini.

TAMAT





Home
Cerita-XXX
Cerita Stim
Cerita Erotis
Sumber Cerita
Thai Stories


© 2009 - 2014 CeritaKita-X
Cerita mesum dan Artikel seks