watch sexy videos at nza-vids!

Situs Cerita Sex Dewasa




Cerita Gay
Gay HomoSex

FBI

Akhirnya kuputuskan menerima tawaran itu. Setelah aku yakin bahwa ini tidak akan ada hubungan sama sekali dengan sepak terjang dinas rahasia kelas dunia, Federal Beurau Investigation (FBI). Walaupun kutahu, aktifitas yang akan dilakukan, sebenarnya, termasuk dalam klasifikasi confidencial atau rahasia.
Dari penjelasan IF, aku jadi tahu kalau, yang dimaksud dengan FBI adalah kependekan dari Fun By Intimacy. Artinya, mendapat kesenangan melalui hubungan intim. Tidak harus dengan lain jenis. Dengan yang sejenis pun juga oke. Asal saja tahu caranya. Sebab, tujuan akhir dari hubungan intim adalah pelepasan ketegangan seks yang menggebu. Siapa bilang berhubungan seks sejenis tidak bisa mendapatkan kepuasan atau orgasme?
FBI dapat juga diartikan Fasih Berhubungan Intim. Komitmen dari FBI adalah hubungan yang terjadi bukan karena pemaksaan atau mengharap bayaran. Namun dengan suka rela. Hanya karena ingin berpetualang dan mendapat kesenangan birahi semata. Jika setelah itu, ada sejumlah materi yang didapat, itu bukanlah sebagai bentuk bayaran. Namun, lebih merupakan tanda kasih dan apresiasi. Tidak lebih dan tidak kurang. Fun Fun Fun. Everything is just for fun. That's all. Never think about sin or religy. It will make us does not have any choice but leave it.
Cerita Gay http://ceritakita.hexat.com
Apalagi, nanti, aku hanya sekadar menikmati cumbuan dan layanan cinta, yang ujung-ujungnya, toch, hanya sebagai penyaluran hasrat seks semata. Kalau sudah ngebet begini, lelaki dan perempuan tidak ada lagi bedanya. Apalagi, ketika hasrat sudah merasuk sukma dan geliat birahi menginginkan penyelesaian. Bisa dalam bentuk persetubuhan (body contact), saling masturbasi ataupun orogenital intercourse. Ejakulasi adalah pamungkas ritus senggama.
Kapan pelaksanaannya. Aku masih tidak tahu. Karena akan diberitahu kemudian. Namun, aku sudah berpesan pada IF, agar kerahasianku di jaga. Aku tidak ingin orang lain tahu. Kalau aku pernah nerima tawaran "main" dengan sesama lelaki. Malu lagi (Aku juga masih punya sekadar rasa malu untuk mengekspose "penyimpangan" kecenderungan seksual. Terserah orang mau bilang apa tentang aku. Munafik juga boleh).
Menanggapi permintaan yang kuajukan, IF tidak menjawab selain menganggukan kepala seraya menepuk-nepuk pundakku. Bagiku, isyarat itu sudah lebih dari cukup, sebagai ungkapan kesetujuan IF terhadapku.
Aku sendiri, tidak munafik, memang punya dorongan kebutuhan seks yang besar. Apalagi di usiaku yang muda ini. Betapa, sebenarnya, aku juga lelah melakukan perangsangan artifisial dengan onani atau masturbasi yang, sebenarnya, hanya sekadar untuk menyalurkan hasrat seks yang menggebu.
Sementara untuk melakukannya dengan pelacur. Terus terang, aku tidak punya nyali dan uang untuk membayar. Uang saku yang kudapat hanya cukup untuk transpot dan sekadar jajan makan siang di kantin. Lagipula yang akan aku jalani nanti tidak terlalu asing-asing benar buatku. Aku sudah pernah mengalaminya dahulu.
Dan IF berani menawariku untuk FBI juga bukan tanpa alasan. Setelah ia sempat pada suatu ketika memergokiku sedang masturbasi di kamar. Saat itu, sebenarnya, ia hendak bertandang saja. Katanya ia sedang "bete" sehingga kemudian ia singgah ke tempat kost-ku.
"Lho, kenapa ngloco? Sayang kan, membuang-buang peju-mu dan apakah kamu juga tidak capai dengan 'kerja bakti' seperti itu?", Teguran IF sempat membuat wajahku pucat pasi.
Menahan malu. Ketika tanpa setahuku, IF sudah masuk dan berada dalam kamarku yang kebetulan lupa aku kunci.
"Kemari biar kubantu dirimu", lanjut IF seraya menghampiri diriku.
Belum hilang keterkejutanku, IF sudah jongkok dan tangannya meraih batang kemaluanku yang masih menegang.
Tanpa dikomando lagi, mulutnya segera menguliti kepala penisku dan menenggelamkannya dalam lautan kenikmatan. Tubuhku bergetar merasakan gesekan sensasi persetubuhan yang terjadi antara ujung kemaluanku dengan bibir dan lidah IF. Beda sekali dengan sensasi yang kurasa sebelumnya, nikmatnya gesekan antara tanganku dengan batang kemaluan.
Mengimbangi pagutan IF pada batang kemaluanku, jemari tanganku segera menjelajahi lekuk tubuh seraya meremas-remas kedua puting susuku. Sementara kepala IF terus bergerak maju mundur ke arah selangkanganku, mencabut-benamkan batang penisku ke ronga mulutnya yang hangat. Gerakan lidahnya terasa liar menggelitik kepala penisku. Memberikan efek perpaduan rasa senut-senut, linu dan kegelian, yang nikmat.
Aku memejamkan mata menikmati perjalanan mengayuh birahi. Sampai akhirnya, aku sampai ke titik pendakian. Tubuhku menggeletar. Jemari tanganku mengepal dan kakiku terasa kejang. Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Sambil melenguh panjang kupancarkan keluar puncak hasrat kelakianku yang tumpah ruah ke dalam mulut IF. Aku ingat, saat itu, IF sempat terbatuk-batuk. Tersedak oleh batang kemaluanku yang menggelepar memuntahkan lahar asmara.
Asli, aku sama sekali tidak menyangka apabila, IF, ternyata mempunyai kecenderungan yang sama denganku. Senang juga mencumbu sesama lelaki. Padahal, penampilannya sehari-hari, sama sekali tidak mengesankan demikian. Biasa saja, seperti stereotype kaum lelaki pada umumnya. Jantan dan sangat maskulin. Sampai akhirnya terjadi peristiwa di atas. Barangkali, inilah, yang kumaksud dengan kemunafikan. Diakui atau tidak, agaknya memang ada penganut aliran kemunafikan seperti ini di dalam masyarakat kita.
Aku juga ingat, pengalaman pertamakali melakukan orogenital intercourse/fellatio/nyepong/ngenyot atau mengelomoti kemaluan lelaki. Saat itu, aku masih di kelas 1 SMA. Ketika sedang melakukan perkemahan dalam rangka inisiasi. Korbannya, batang kemaluan Hari, kakak kelasku. Usai bernyanyi-nyanyi dalam acara api unggun, kami segera masuk ke dalam tenda. Tidur saling berhimpitan. Isi tenda penuh. Aku kebagian tempat untuk tidur di dekat pintu ke luar. Di sampingku ada Hari.
Aku belum pernah berkemah, atau tidur jauh dari orang tua. Sehingga aku jadi sulit tidur. Saat teman-teman yang lain sudah mendengkur, aku masih belum dapat memicingkan mata. Telingaku masih dapat membedakan suara dengkur teman-teman yang saling bersahutan.
Malam semakin larut. Dingin pun datang menelusup. Mataku tetap tidak dapat terpejam. Aku gelisah menoleh ke kiri dan ke kanan. Terlihat semua teman sudah terlelap. Tidur. Saat berpaling pandang ke arah Hari, yang tidur miring, tak sengaja dikeremangan cahaya malam, ekor mataku menangkap sesuatu menyembul dari balik celana gombrang batik yang dikenakannya.
Diamati dari kontur dan tekstur yang ditimbulkannya, aku yakin benar saat itu Hari sedang tidak memakai celana dalam. Terlihat bayangan kepala dan batang kemaluannya tercetak besar bagai gambar timbul. Pada saat yang sama, entah mengapa tiba-tiba dadaku menjadi berdegup keras. Ada rasa aneh mendesir dan menyelinap membelenggu diri. Gabungan dari aneka rasa keinginan untuk melihat, menyentuh, mengusap, mencium, dan mengulum. Berbaur menjadi satu.
Karena tidak tahan lagi menahan hasrat dan godaan (the desire and temptation) akhirnya, kuberanikan diri untuk perlahan mengusapnya.
"Oh.. my God", suaraku serasa tersekat dalam kerongkongan yang mulai terasa kering.
Aku merasa bagai tersengat arus listrik tegangan tinggi. Ada sensasi aneh kurasakan ketika ujung jemariku menyentuh sesuatu yang masih tersembunyi itu. Kulirik kelopak mata Hari, yang ternyata masih tetap terpejam. Bunyi hembusan nafasnya juga masih terdengar teratur. Artinya, dia tidak tahu dengan yang baru saja kulakukan.
Aku semakin berani. Setelah menghirup nafas panjang, dengan gerak perlahan kubuka tali pengikat celananya yang terjulur ke luar. Agar mudah bergerak, aku sedikit beringsut ke arah bawah. Akhirnya, aku berhasil membuka keseluruhan tali simpul pengikat celana gombrongnya.
Kembali aku mengatur helaan nafasku yang mulai terasa sesak. Sesekali aku menoleh ke kiri dan kanan, memastikan keadaan aman dan terkendali. Terlihat olehku semua masih tetap terlelap. Perlahan jemariku menyelinap dan merayap ke balik celana itu. Indra perabaku menyentuh sesuatu yang sudah tidak asing lagi buatku. Timbunan helai-helai rambut yang bergelombang dan terasa agak kasar.
Aku penasaran untuk melihat lebih jelas sesuatu yang masih tersembunyi. Lalu kusibakan tepi celana yang sudah tak terikat lagi itu. Amboi, terlihat pemandangan yang teramat indah di dalamnya. Kemaluan Hari seolah menyembul dari rerimbunan rambut kemaluan yang ikal dan lebat itu, menjulur ke bawah bagai belalai gajah. Aku menelan ludah. Menekan dengus nafasku yang mulai terasa memburu. Badanku mulai terasa panas terbakar.
Dengan badan gemetar dan degup jantung yang bertalu-talu, perlahan aku membaringkan tubuh lagi dalam posisi miring setengah meringkuk. Letak kepala kuusahakan tepat berada di depan pangkal pahanya. Badanku semakin menggeletar menahan beragam hasrat dan keinginan. Setelah meyakinkan diri bahwa semua akan berjalan dengan baik, aman dan kondusif, aku segera mendorong wajahku ke arah kemaluannya. Hem.. hidungku mengendus semerbak wangi aroma kejantanan menyebar dari pusat selangkangan itu. Kupejamkan mata seraya menghirup dalam-dalam aroma khas yang menggairahkan.
Perlahan jemariku mulai bergerak menyibak dan menyisiri helai-demi helai bulu kemaluan Hari yang tumbuh lebat itu. Terasa ditanganku permukaannya seperti bergerigi. Dibanding dengan jembut yang kumiliki, tekstur jembut milik Hari lebih lebat dan kasar. Namun, bagiku, hal ini malah semakin membangkitkan gairah.
Kugesek-gesekan wajahku di kerimbunan jembut Hari. Ada sensasi kegelian yang kurasa. Kunikmati lagi wangi kelakian yang menyebar dari selangkangan itu.Semakin kuamati dari jarak dekat, batang kemaluan Hari semakin menampakkan bentuk yang mempesona. Menjulur panjang, kokoh, dan besar, dengan gurat-gurat urat menonjol. Kontras dengan permukaan kepala penis yang halus karena disunat dengan bentuknya yang agak bulat lonjong.
Tanpa kusadari, bagai ular lidahku telah menjulur keluar, menjilati-jilat (licking) ujung penis Hari. Tidak lama kemudian, mulutku pun semakin berani menganga lebar. Tidak kalah gesitnya mengulum dan menguliti habis kepala dan batang kemaluan itu.

Akhirnya terasa olehku, batang kemaluan Hari mulai meregang dan berubah menjadi semakin besar dan panjang. Dari semula tergantung lemah menjuntai menjadi tegak kokoh bersalur urat. Pada saat yang sama sayup-sayup telingaku menangkap bunyi lenguhan dan desahan keluar dari bibir Hari. Dilatarbelakangi desah suara Hari, suara dengkur teman-teman dan bunyi jengkerik di kejauhan, aku semakin bersemangat memajumundurkan wajahku ke arah selangkangan nya, seraya tanganku bergantian meremas-remas bulu pubicnya dan mengelus scrotum-nya. Terkadang ujung jariku meluncur ke tepi asshole-nya. Bercengkerama dengan helai pubic yang tumbuh terserak disekitarnya.
Mulutku mulai penuh sesak oleh batang penisnya yang terasa semakin besar, panjang dan mengembang. Sesekali aku merasa seperti tersedak ketika ujung kepala penisnya menyentuh pintu tenggorakanku. Akhirnya aku seperti mendapat sambutan ketika kurasakan tubuh Hari bergerak-gerak. Ia mulai memutargoyangkan pinggulnya kearahku, seraya tangannya mengelus dan meremas-remas rambut kepalaku. Membuat koreografi senggama seirama dengan bunyi orkestrasi desah dan lenguhan kenikmatan yang keluar dari bibir Hari.
Puncak keterkejutanku ketika aku merasakan tubuh Hari tiba-tiba mengejang dengan sebelah kakinya merangkul erat pundakku. Batang kemaluannya terasa meronta dan menggelepar-gelepar di ronga mulutku. Hingga kemudian kurasakan ada sesesuatu terpancar deras menerobos masuk ke dalam kerongkongan. Terasa gurih, sedikit asin dan beraroma wangi daun pandan. Terus tanpa henti aku hisap hingga tandas tiada bersisa.
Setelah itu, berangsur kurasakan rangkulan kaki Hari mulai melemah. Demikian pula dengan batang dan kepala penisnya yang mulai melentur di rongga mulutku. Perlahan aku keluarkan penis itu. Meski ukurannya mengecil namun masih menampakan keindahan dan keseksiannya. Aku mendongak ke arahnya. Ternyata mata Hari masih terpejam.
Perlahan aku pindahkan sebelah kakinya yang semula menindih tubuhku. Dengan hati-hati, aku mengikat kembali tali simpul celananya. Setelah itu aku meluruskan kembali tubuhku, yang tadi agak kutekuk, setengah meringkuk.
Ku toleh lagi Hari. Ia masih mendengkur dan terpejam. Kulihat ada gurat senyum singgah di bibirnya. Kulihat juga teman-taman yang lain. Sama saja. Mereka semua masih terlelap. Di luar tenda suara jangkerik masih juga terdengar bersahutan dengan suara dengkur teman-teman. Aku memejamkan mata. Tidur.
*****
Dibantu oleh IF, aku mengencangkan seatbelt. Aku sangat canggung. Karena inilah saatmula aku bepergian naik pesawat terbang. Awalnya, IF hanya memintaku mengantarkannya ke airport. Dia mendapat tugas kantornya ke Bali. Aku juga tahu kalau IF sering melakukan perjalanan dinas ke daerah. Tidak seperti biasanya pergi sendiri, kali ini, entah ada angin apa tiba-tiba saja ia memintaku mengantarkannya.
Aku tidak mempersoalkan lebih jauh. Aku tidak keberatan untuk mengantarnya. Toch, aku juga sedang tidak ada kesibukan. Setelah mandi dan berpakaian. Kami segera berangkat ke bandara. Turun dari bis Damri yang membawa kami ke bandara IF memintaku menanti di kursi tunggu. Sementara ia menuju ke chek in counter. Jujur saja, pertamakali pula aku masuk ke dalam airport. Sehingga aku tidak tahu sama sekali kalau menjelang suatu penerbangan ada prosedur yang dinamakan chek in sebelum akhirnya boarding dan kemudian take off.
"Nah, sebentar kan nunggunya?", kata IF seraya mengacungkan kartu boarding-nya ke arahku.
"Kita ngobrol di dalam saja ya? Aku bete duduk sendirian" lanjut IF kemudian.
"Terserah. Buatku menunggu di d luar atau di dalam sama saja kok".
Aku sama sekali tidak mengira kalau ini merupakan awal dari pengalamanku naik pesawat terbang. Aku hanya mengekor IF yang berjalan mendahuluiku. Di pintu masuk kulihat ia berbicara kepada petugas security seraya menunjukan lembar kertas boarding yang dipegangnya. IF meletakkan handbag-nya di atas ban berjalan yang menuju ke kotak X ray. Kemudian berjalan menuju pintu metal detector. Aku mengikuti saja apa yang dilakukan IF, Berjalan melalui pintu yang sama.
"IF, nanti aku keluarnya bagaimana dong? Kok aku harus ikut masuk?", aku bertanya kepada IF.
Aku cemas. Pasalnya, suasana airport sungguh asing buatku.
"Ngapain lagi takut. Udah deh, gampang kok. Kamu tidak buta huruf kan? Baca tulisan-tulisan itu. Pulang lewat pintu kita masuk tadi" Jawab IF seraya menunjuk tulisan pada papan informasi.
Kemudian ia menggamit lenganku. Menenangkan diriku.
Sampai di sini aku masih tidak menaruh kecurigaan terhadap IF bahwa, ternyata, aku akan di ajak bepergian naik pesawat terbang. Sebab ia tidak pernah menceritakan rencana ini sebelumnya. Aku hanya mengira setelah IF naik ke pesawat maka aku keluar ruangan tunggu dan pulang. Selesai. Sama halnya seperti ketika mengantar pakde dan bude pergi naik kereta api atau bis kota. Aku baru sadar bahwa ini bukan main-main atau bercanda ketika IF tiba-tiba memintaku mengikutinya untuk boarding seraya menunjukan kartu boarding atas namaku, menyusul pengumuman yang diberikan oleh ground staff airline.
Aku kaget. Betapa tidak. Aku tidak punya persiapan untuk pergi jauh. Apalagi ikut bersamanya ke Bali. Naik pesawat lagi. Aku samasekali tidak membawa bekal apapun kecuali pakaian yang melekat ditubuhku dan sedikit uang serta kartu pengenal di dompet. Bahkan pamit kepada orangtuaku pun tidak. Bali dan naik pesawat adalah sesuatu yang asing bagiku.
"Gila kau IF, aku kan tidak membawa bekal apapun. Pakaian ganti, uang, serta belum pamit kepada keluargaku", kataku sambil bersungut-sungut.
"Forgive me please. Nanti setelah sampai Denpasar kau telpon mami. Katakan saja, kau tidak langsung pulang tapi main ke tempat teman. Nanti malam telpon lagi, bilang kalau hujan deras. Jadi tidak bisa pulang. Diminta bermalam, dan besok pulang, ok? Gitu aja kok repot", jawab IF.
"Mengenai pakaian ganti dan lain-lain, aku sudah mempersiapkannya untukmu", lanjutnya kemudian.
Perasaan panik, galau, dan senang berbaur jadi satu. Belum sampai aku mengeluarkan pernyataan kesetujuanku, IF terus saja menarik lenganku berjalan ke arah lorong garbarata yang menghubungkan ruang tunggu dengan perut pesawat. Tanpa punya pilihan lain, akhirnya aku berjalan membuntutinya menuju ke pesawat Boeing 737-400.
Di depan pintu masuk pesawat cabin crew berdiri menyambut penumpang. Make a greeting and small chat with passegers. Aku menebarkan pandangan ke arah barisan kursi yang berjajar rapi. Di boarding pass aku tadi sekilas melihat kalau nomor kursinya 13 A dan 13 B. Semoga saja bukan angka sial.
*****
"..cabin crew.., take off position..", suara dari captain pilot itu menyadarkanku bahwa beberapa saat lagi pesawat akan segera melesat ke udara. Getar dan raungan deru mesin pesawat menembus gendang telingaku. Aku mencengkeram erat paha IF sambil ekor mataku melirik ke luar jendela. Sampai kemudian terasa pesawat sudah melepaskan pijakannya di darat dan sekarang mengudara.
Terbang yang pertamakali memberikan kenangan yang campur aduk. Aku sungguh takut ketika pesawat mengalami turbulance. Aku mencoba mengingat-ingat petunjuk keselamatan penerbangan yang tadi diperagakan cabin crew menjelang lepas landas, namun semua ingatanku lenyap.
Aku hanya berdoa dan berdoa seraya sebelah tanganku mencengkeram erat paha IF. Andai terjadi sesuatu ialah penyebabnya. Dengan cemas kulirik IF. Ia malah tersenyum. Aku menyumpah-nyumpah dalam hati.
"Awas ya, ngerjain aku. Tunggu pembalasanku"
Meskipun IF mencoba membujukku untuk melihat kota Denpasar dari ketinggian menjelang pendaratan aku tidak menghiraukannya. Aku masih takut.
"Penumpang yang terhomat, selamat datang di bandara Ngurah Rai, Bali. Saat ini waktu menunjukan tepat pukul 08.15..", suara pramugari meyakinkanku bahwa penerbangan memang telah berakhir.
Aku menghela nafas panjang. Lega. Kutoleh IF. Ia masih tersenyum. Dengan sekuat tenaga kutonjok lengannya.
"Auw..", IF berteriak seraya meringis.
Membuat penumpang lain menoleh ke arah kami. Sadar dengan peristiwa embarrassing tadi kami berdua tersenyum bersama seolah mengatakan kepada mereka semua there is nothing happened.
*****
"Nah, ini Budi yang pernah kuceritakan padamu", kata IF memperkenalkan seseorang yang datang ke kamar hotel tempat kami menginap di Bali.
"Sementara aku pergi, Budi akan menemanimu, ok?"
"Hai, apa kabar?", Budi tersenyum seraya menjabat tanganku.
Aku hampir lupa membalas tegur sapanya. Aku terpesona oleh ketampanan wajahnya dan bentuk tubuhnya yang proposional. Budi rupanya cukup mengerti dengan situasi yang dihadapinya. Ia langsung duduk tanpa menanti lagi jawabanku atas tegursapanya itu.
"IF sudah menceritakan tentang rencana kehadiranmu ini", Budi membuka pembicaraan sambil beringsut ke arahku.
"Bagaimana penerbangannya tadi? Aman-aman aja kan?" Budi melanjutkan pembicaraannya.
"Ya, namun aku agak cemas tadi. Apalagi, sejujurnya, ini adalah penerbangan yang pertama kalinya buatku. Untungnya aku tidak punya phobia terhadap ketinggian. Jika ya, mungkin saja aku masih pingsan atau bisa jadi lebih dari itu. Brengsek benar IF, ngajak pergi tanpa bilang-bilang", rentetan kalimat itu tiba-tiba saja meluncur deras dari mulutku. Seolah aku hendak mengadukan IF kepada Budi.
"Sstt.., sudahlah jangan marah pada IF, tapi marahlah padaku. Sebab akulah yang meminta IF agar merahasiakan hal ini kepadamu."
Pada saat itu aku langsung tahu, mungkin, inilah rencana FBI yang dikatakan IF tempo hari. Mempertemukanku dengan seseorang yang sangat menginginkan petualangan asmara sejenis. Dari penjelasan IF dahulu, aku tahu kalau Budi ingin merasakan blow job/fellatio/nyepong/ngenyot batang kemaluanku merasakan pula bagaimana rasanya di perlakukan sama olehku. Selama ini, ia hanya punya pengalaman dengan IF saja, dan tidak dengan yang lain.
Kenapa harus dengan aku dan tidak dengan yang lain? Belakangan aku baru tahu kalau IF ingin sharing pengalaman bersama Budi. Untungnya, Budi masih termasuk dalam tipe idealku, sehingga aku tidak cukup punya alasan untuk menolak atau complain terhadap IF. Aku malah bersyukur akan mendapat pengalaman main dengan Budi.
Dari bathroom kudengar Budi memanggil namaku. Aku bergegas menghampiri nya. Ketika pintu terbuka, terlihat Budi hanya tinggal mengenakan G strings merek Homme yang ketat melekat di pinggangya. Seksi sekali penampakannya. Terlihat juga helai bulu pubicnya tersembul dari sela-sela pahanya. Tidak muat lagi tertampung dalam secarik kain kecil penutup kemaluan.
"Mandi bareng, yuk?", kata Budi sambil mematikan kran air panas yang mengisi bath tub.
"Ehm, boleh", sahutku sambil beranjak masuk ke dalam. Baru beberapa langkah aku berjalan, dengan tiba-tiba Budi telah berbalik arah menyergapku.
Aku hampir jatuh karena terkejut dan, terus terang, aku sungguh kaget, dengan serangan yang mendadak itu. Namun dengan refleks, Budi menarik tubuhku sehingga aku terengkuh dalam pelukannya.

Aku senang dengan cara Budi menatapku. Sorot matanya mengobarkan gelora asmara yang menggebu. Ketika itu wajahnya terlihat sangat "Mupeng" atau "muka pengen". Pengaruhnya sangat dahsyat sehingga membuatku tak kuasa berpaling dari pandangannya dan membuatku ingin berbuat lebih jauh. Tanpa ragu segera kupagut bongkah bibir Budi yang merekah yang segera dibalasnya dengan juluran lidah yang menyapu langit-langit mulutku. Kutangkap ujung lidahnya dan kuhisap serta kukulum dengan penuh kelembutan.
Tangan Budi melingkar di pundakku. Dengus dan kecipak suara pagutan bibir saling bersahutan. Aku menelusuri leher dan belakang telinga Budi, membuatnya menggelinjang dan terengah. Tangan Budi pun tak kurang akal bergerilya di sekujur tubuhku, seraya mencoba melepas pakaian dan celana yang masih melekat di tubuhku. Ada rasa kegelian ketika belaian jemarinya singgah di lekuk tubuhku.
Bagai serigala lapar tangannya menyelinap mencoba melepas ikat pinggang yang kukenakan. Akhirnya, ikatan itupun terlepas, setelah kurasakan tangan Budi menggamit batang kemaluanku yang sudah membengkak. Aku menghentikan cumbuan itu. Melepas kemeja dan celana panjang yang masih melekat ditubuh. Tidak beberapa lama aku sudah naked atau bugil atau telanjang bulat. Kulihat Budi tertegun menyaksikan batang kemaluanku yang sudah menegang. Kepala penisku, dengan warna merah keunguan mengkilat, menyembul keluar sempurna dari kulit kulup kemaluanku yang tidak disunat.
Aku merasa kegelian ketika Budi menggesek-gesekan ujung kemaluanku ke rongga hidungnya. Kumisnya menyentuh leher penisku. Tangannya mencoba menarik kulit kulupku agar menutup kepala penisku. Tapi tidak bisa lagi. Sebab aku sudah dalam puncak ereksi. Budi tertawa. Aku cuma tersenyum menyaksikan sikapnya yang bagaikan anak kecil mendapatkan mainan baru. Jemari Budi mengurai pubicku dan kemudian membenamkan wajahnya dikerimbunan pubic itu. Terasa olehku, tangan Budi meraba dan meremas bongkah pantatku yang gempal.
Aku membalik badan. Dengan setengah membungkuk kusodorkan bongkah pantatku ke arahnya. Kurasakan bulu kumis Budi digesek-gesekan ke kulit pantatku. Jemarinya terasa mencoba menguak asshole ku yang masih tersembunyi. Aku bergerak sedikit mengangkang agar Budi mudah mencapai sesuatu yang ia cari. Tidak lama aku sudah merasakan hangatnya ujung lidahnya bermain di seputar rectumku. Aku melenguh nikmat. Begitu pula ketika kumisnya digesek-gesekan di assholeku. Aku mendesah dan semakin resah. Aku membalikkan tubuh lagi lagi. Kupagut kembali bibir Budi. Kucari-cari lidahnya yang tadi liar menggelitik rectum. Kuhisap dengan kuat lidah itu hingga membuat Budi tersengal. Kulirik ke bawah, terlihat kepala penis Budi telah menyembul dari dalam G string yang masih dipakainya. Dengan sekali sentakan Aku berhasil mengeluarkan batang kemaluan dan scrotum Budi.
Celana sudah merosot ke bawah. Namun masih belum terlepas. Akhirnya dengan beberapa gerakan Budi berhasil melepaskan celana tersebut. Sehingga kini leluasa bergerak. Budi kini bugil pula. Sama seperti diriku yang juga sudah bugil. Tak ada sehelai benangpun yang melekat. Kupandang lekat mata Budi. Ada pendar keinginan persetubuhan yang memancar. Ia tersenyum ke arahku. Ada dekik yang timbul karena senyumnya itu. Membuat makin manis dan menawan.
Kudorong tubuhnya ke arah dinding dan kuangkat sebelah tangannya ke atas. Terlihat deretan hitam lebat bulu ketiaknya tersibak dari pangkal lengannya. Perlahan kusorongkan hidungku mengendus aroma sensualnya. Aku merasa suka dengan apa yang dimiliki Budi, soft dan alami. Tidak membuatku puyeng karena bau tubuhnya yang keras yang campur aduk dengan wewangian massal. Kusapu bawah lengannya itu dengan ujung lidahku yang basah. Membuatnya menggelinjang kegelian. Kutelusuri lehernya yang jenjang sampai berakhir di keranuman bongkah bibirnya. Kami saling pagut lagi, yang menimbulkan suara decak dan kecipak.
Budi memintaku menungging lagi. Dan segera kurasakan kembali lidahnya bergerilya di muara pelepasanku. Aku menggigit bibirku sendiri, menahan sensasi kenikmatan yang kurasa mengaliri sekujur tubuku. Kemudian juga kurasakan jemari tangan Budi membelai batang kemaluanku yang memang sudah membengkak. Kulihat ia ingin melakukan blow job namun seperti ragu.
"Sudah kucuci bersih kok, dijamin gak ada smegma-nya". Ujarku sambil tertawa.
Aku memakluminya, karena pada batang kemaluan yang tidak disunat, umumnya, jika tidak sering dibersihkan, selalu menyisakan timbunan putih smegma berbau tak sedap. Membilas ujung kulup saja tidak cukup. Sebab endapan air seni dapat menggumpal bersatu dengan kotoran lain, sehingga menimbulkan aroma yang tidak enak. Jauh dari kesan merangsang. Bisa jadi malah akan membuat seseorang menjadi merasa mual.
Karena itu, aku selalu mencuci tidak hanya kulit kulupku, tapi juga kepala penisku. Dengan cara menarik kebelakang ujung kulit kulup. Sampai kepalanya tersembul keluar. Selanjutnya membilas kepala dan lingkar leher penis yang biasa dijadikan tempat smegma berkumpul. Memang agak repot. Tapi aku tidak punya pilihan demi untuk menjaga sanitasi kemaluanku sendiri.
Belum selesai aku tertawa, Budi sudah melumat habis penisku. Tawaku segera berganti dengan erangan dan desahan nikmat. Aku melihat Budi bersemangat sekali melahap kemaluanku. Sesekali dipadanginya lagi kemaluanku. Ia seperti keheranan menyaksikan kemaluan yang tidak disunat.
Sambil melahap batang kemaluanku aku merasakan jemari Budi merayap di sela-sela bongkah pantatku. Aku segera merentangkan kaki agar Budi mudah menggapai yang dicari.Aku mulai merasa ujung jari Budi menggelitik lingkar rectumku. Tentu saja, memberikan gairah rangsang yang berbeda.
Aku juga melihat Budi memasukan ujung jarinya ke mulutnya. Ia membasahi jari tersebut dan kemudian memasukkan jari itu ke lubang duburku. Aku menggelinjang kegelian ketika jemarinya bergoyang samba di dalam tubuhku. Budi terenyum manis padaku. Kupegang pundak Budi dan kukecup ujung bibirnya. Budi membuka mulutnya seraya menjulurkan lidahnya yang segera kusambut dengan juluran lidahku. Lidah kami saling berbelit. Tangan kami saling meremas.
Pagutanku merambah turun ke bawah. Sampai ke batas pusar dan terus bermain hingga kemudian singgah di pangkal kemaluannya yang telah menegang itu.Kuamati batang kemaluan Budi yang berukuran 15/4 tegak menyeruak dari kelebatan pubicnya yang legam. Lumayan. Ada titik precum di ujung penisnya. Kujilat. Terasa asin dan gurih.
Segera kubenamkan wajahku di selangkangannya seraya mengulum habis batang kemaluan Budi. Dari mulut Budi hanya terdengar erangan dan desahan nafas yang memburu. Kurasakan jemari tangan Budi membelai kepala dan pundakku. Menambah gairahku memberi blow job untuk Budi. Sampai akhirnya, Budi menekan kepalaku dalam-dalam sehingga aku sempat tersedak oleh bongkah kepala kemaluannya yang menggelepar memuntahkan air kehidupan. Gurih, wangi daun pandan, serta sedikit ada campuran rasa manis dan asin, memenuhi rongga mulutku. Budi tersenyum. Terlihat bulir-bulir peluh di keningnya. Aku mengambil tissue dan kuusap dengan lembut.
"Terima kasih, Pras", kata Budi
Kemaluanku masih tegang seperti tadi. Penisku menyeruak dari kulit kulup. Merah mengkilat dengan lubang ureter yang seperti nganga. Budi bersimpuh. Jemarinya mengelus batang kemaluan dan bongkah buah zakarku. Ujung lidah Budi mengelitik lubang yang ada di ujung penisku. Aku menggeliat menahan sensasi rasa kegelian yang nikmat.
Kehangatan yang kudamba tiba saat Budi mulai menimbultenggelam kan batang kemaluanku ke dalam rongga mulutnya. Lidahnya terasa liar menelanjangi kemaluanku. Sepertinya aku tidak punya waktu lagi untuk bernafas dan bicara. Aku hanya mampu melenguh, mendesah, dan menggelinjang. Mencoba meredam bunyi kecipak blowjob dari bibir Budi. Tapi tak bisa. Malah paduan suara itu bagaikan dendang lagu asmara.
Sementara kurasakan jemari Budi berkejaran seperti mengobarkan titik-titik sensasi dalam tubuhku. Aku seperti terpanggang dalam gejolak panasnya api cinta. Kodorong Budi ke arah depan sehingga batang kemaluanku terlepas dari pagutannya. Kuajak Budi pindah tempat. Karena di kamar mandi itu aku tidak merasa nyaman. Dengan tetap berciuman kami berjalan ke arah tempat tidur. Bagaikan pasangan Adam dan Adam (bukan Eva) kami berasyik masuk memadu cinta.
Di atas ranjang, kami bergelut melakukan body contact, saling menghimpit dan menggesekan batang kemaluan yang menegang. Ada geletar sensasi dan bunyi gemerisik ketika pubic kami saling bercengkerama menjalin asmara sejenis.
Kurasakan kemaluan Budi sudah menegang kembali. Ternyata benar juga, hipotesaku, apabila birahi telah membara, penuntasannya tidak harus dengan gender yang berbeda. Dengan sesama jenispun ternyata oke juga.
Mengayuh bahtera syahwat menuju perhentian. Kugapai tube KY vaginal lubricant dari atas meja toilet. Aku tekan untuk mengeluarkan isinya. Dan segera kuoleskan merata ke kepala dan batang kemaluan Budi. Selebihnya ke permukaan rectumku. Aku merunduk dan membiarkan bongkah pantatku menghadap ke atas (doggy style). Dengan cara ini penetrasi penis bisa lebih mudah dan dalam. Dan benar, Tanpa kesulitan Budi sudah berhasil menjelajah relung tubuhku yang paling dalam. KY mempermudah goyang ngebor Budi. Sambil mencabutbenamkan kemaluannya di tubuhku, kudengar Budi meracau.
Aku juga tak kalah heboh bergoyang seperti permintaannya. Apalagi ketika kurasakan lidah Budi menjelajah punggungku. Sensasinya menjadi semakin luar biasa. Sampai kemudian tiba-tiba Budi mencengkeram erat pundakku. Dan kurasakan di dalam tubuhku ada sesuatu tersembur deras seperti pancaran air dari selang brandwir (pemadam kebakaran). Budi lunglai dengan peluh bersimbah disekujur tubuhnya.
Budi berbaring terlentang. Tersenyum. Aku menghampiri dan menggigit lembut putingnya. Budi menggelinjang. Tangannya mencoba mengapai kemaluanku. Segera kusodorkan ke mulutnya dan ia segera melumatnya. Tapi dengan posisi ini aku merasa lelah. Aku merubah posisi dengan berbaring. Budi bangkit dan kemudian membungkuk mengelamoti kemaluanku. Tidak berapa lama aku merasa harus sampai pada suatu titik perhentian.
Bagai kapal oleng tubuhku menggeletar memuntahkan cairan sperma di mulut Budi. Ia menjilatiya hingga tandas. Tiada bersisa. Budi kemudian memelukku. Kudengar bisikan nya di telingaku.
"Terima kasih, ya. IF benar, kau memang hebat"
Dengan masih tidak berbusana kami tidur saling berpelukan. Aku ingat film teletubbies. Tinky winky dan Po Berpelukan!
"Ting-tong".
Terdengar suara bel pintu. Aku beringsut berdiri dan meraih kemeja gombrong di kursi. Sambil memakainya aku menuju ke lubang intip, melihat siapa yang datang. Oh, ternyata IF. Sehingga aku tidak perlu tergesa-gesa memakai celana. Hanya dengan memakai kemeja gombrong yang dapat menutupi kemaluanku yang menjuntai, aku membukakan IF pintu. IF tersenyum menggodaku.
"Bagaimana, beres kan?", katanya sambil memicingkan sebelah mata.
"Nanti malam kita three some-an ya", lanjutnya kemudian.
"Siplah..", teriak Budi dari balik selimut.
"Jadi ini yang kau maksud dengan FBI", kataku kepada IF.
"Iya. Kenapa? Kau menyesal?"
Dengan pura-pura berwajah masam, marah dan bersungut-sungut aku mendekati IF. Dan secara tiba-tiba aku mendaratkan kecupan lembut di bibirnya.
"Dasar lu!", IF memekik dan kemudian kami semua tertawa terbahak-bahak.
*****
Aku menghela nafas lega. Akhirnya selesai juga cerita ini. Dan aku harus segera menghubungi sahabat baruku, Darma. Kawannya, seorang sutradara muda ibukota, membuka casting untuk pemeran cerita barunya. Kabarnya, dia sudah hampir putus asa mencari pemain yang bersedia melakukan adegan cinta sejenis. Siapa tahu, aku bisa terpilih, apabila mengikuti casting-nya.

TAMAT
1 : 1 : 17221




Home
Cerita-XXX
Cerita Stim
Cerita Erotis
Sumber Cerita
Thai Stories


© 2009 - 2014 CeritaKita-X
Cerita mesum dan Artikel seks